Fiqih Zakat (6)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫زكاة التجارة‬‎
Fiqih Zakat (6)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih zakat yang kami banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh As Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Zakat Maskawin
Menurut Abu Hanifah bahwa maskawin wanita tidak ada zakatnya kecuali jika ia telah menerimanya. Hal itu, karena maskawin merupakan pengganti atau imbalan dari selain harta, sehingga tidak wajib padanya zakat sebelum menerimanya seperti halnya utang kitabah (utang yang menjadi beban seorang budak yang harus ia bayar kepada tuannya agar ia merdeka).
Disyaratkan setelah menerimanya bahwa maskawin itu sudah mencapai nishab dan berlalu haul padanya, kecuali jika si wanita yang berhak menerima maskawin itu memiliki nishab harta lainnya selain mahar, maka ketika ia telah menerimanya dari maskawin itu, ia gabungkan dengan harta yang telah mencapai nishab itu dan mengeluarkan zakat mengikuti haulnya.
Menurut Imam Syafi’i, bahwa seorang wanita berkewajiban mengeluarkan zakat maskawin ketika berlalu haul  dan wajib mengeluarkan dari semua hartanya (yang kena zakat) di akhir haul meskipun belum dukhul (berduaan dengannya). Kewajiban zakat ini tidak terpengaruh dengan kemungkinan gugurnya maskawin karena fasakh (pembatalan nikah) yang disebabkan murtad atau lainnya atau gugur separuhnya karena talak.
Menurut ulama madzhab Hanbali, bahwa maskawin yang berada dalam tanggungan (belum diterima) seperti utang yang menjadi hak wanita. Hukumnya seperti utang. Oleh karena itu, apabila orang yang berkewajiban membayarkan maskawin itu kaya, maka wajib zakat padanya saat telah diterima untuk waktu yang telah terlewati, tetapi jika ditanggung oleh orang yang susah atau mengingkari, maka menurut Al Kharqi tetap wajib zakat padanya. Dan tidak ada bedanya antara sebelum dukhul maupun setelahnya.
Apabila gugur separuhnya karena talak sebelum dukhul dan si wanita mengambil separuhnya, maka ia berkewajiban zakat pada maskawin yang telah diterimanya tidak pada maskawin yang tidak diterimanya.
Demikian pula ketika semua maskawin gugur sebelum diterima karena pembatalan nikah dari pihak si wanita, maka si wanita tidak berkewajiban mengeluarkan zakatnya.
Zakat Upah Rumah Yang Disewakan (Dikontrakkan)
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa orang yang menyewakan sesuatu tidak berhak mendapatkan upah karena adanya akad, bahkan ia berhak setelah habisnya masa persewaan. Atas dasar ini, maka barang siapa yang menyewakan rumah, maka tidak wajib zakat pada upah atau hasil sewaannya sampai ia menerima dan berlalu haul padanya serta telah mencapai nishab.
Ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa orang yang menyewakan sesuatu berhak mendapatkan upah sejak diadakan akad sewa. Oleh karena itu, barang siapa yang menyewakan rumahnya, maka wajib zakat pada upahnya ketika telah mencapai nishab dan berlalu haul padanya. Hal itu karena orang yang menyewakan berhak bertindak terhadap upah itu dengan berbagai tindakan. Keadaan persewaan meskipun siap dibatalkan tidak menghalangi wajibnya zakat seperti halnya maskawin sebelum dukhul, dan ketika ia telah menerima upah sewa, maka ia keluarkan zakatnya. Jika masih bersifat utang maka seperti zakat pada utang baik pembayarannya segera atau lambat, yakni ia keluarkan zakatnya saat menerimanya untuk masa yang telah berlalu sejak dimulai akad baik telah berlalu satu haul atau lebih.
Dalam kitab Al Majmu karya Imam Nawawi disebutkan, bahwa apabila seseorang menyewakan rumahnya atau selainnya dengan bayaran kontan dan ia telah menerimanya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya tanpa adanya khilaf di kalangan ulama.”
Zakat Perniagaan
Jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para Ahli Fiqih setelahnya berpendapat wajibnya zakat pada barang-barang dagangan. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dari Samurah bin Jundab ia berkata, “Amma ba’du, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami siapkan untuk dijual-belikan.” (Namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Adh Dha’ifah no. 1178)
Daruquthni dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan, bahwa unta ada zakatnya, kambing ada zakatnya, sapi ada zakatnya, pakaian (yang dijual-belikan) ada zakatnya.” (Namun hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 827)
Imam Syafi’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dalam Al Umm dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Tidak ada pada barang-barang zakatnya kecuali yang dipersiapkan untuk didagangkan.”
Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Ubaid, Daruquthni, Baihaqi, dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abu Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata, “Aku menjual kulit dan tempat anak panah, lalu Umar bin Khathtahb radhiyallahu anhu lewat kepadaku dan berkata, “Tunaikanlah zakat hartamu!” Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ini sekedar kulit.” Ia berkata, “Nilailah, lalu keluarkan zakatnya.”
Dalam Al Mugnni disebutkan, bahwa kisah tersebut adalah kisah yang masyhur dan tidak diingkari sehingga menjadi ijma.
Ulama madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa tidak ada zakat perniagaan.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab perbedaan mereka adalah terkait perselisihan mereka tentang mewajibkan zakat berdasarkan qiyas. Demikian pula perbedaan mereka dalam penshahihkan hadits Samurah dan hadits Abu Dzar.”
Adapun qiyas yang dipegang jumhur adalah karena harta perdagangan adalah harta yang maksudnya untuk dikembangkan, sehingga ia serupa dengan tiga jenis harta yang terkena zakat yang telah disepakati ulama –yaitu harta pertanian, ternak, emas dan perak.”
Dalam kitab Al Manar disebutkan, bahwa jumhbur ulama umat ini berpendapat wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan, namun tidak ada nash yang qath’i (pasti) dari Al Qur’an maupun Sunnah tentang kewajibannya selain berdasarkan riwayat-riwayat dimana yang satu menguatkan yang lainnya di samping pemahaman-pemahaman yang bersandar kepada nash-nash, yakni bahwa barang-barang dagangan yang biasa dimaksud untuk meraih keuntungan seperti mata uang, tidak ada perbedaan dengan dirham dan dinar yang menjadi harga atau pembayarannya selain keadaan nishabnya yang mencakup alat pembayaran yaitu uang dan barang yang dihargai yaitu barang. Jika zakat tidak wajib pada perdagangan, tentu semua orang kaya atau mayoritas mereka akan melakukan perniagaan pada uang-uang mereka dan berusaha agar uangnya yang sudah sampai nishab tidak memenuhi syarat haul (karena dirubah menjadi barang sehingga mereka dapat lolos dari zakat), sehingga kewajiban zakat tidak mengena kepada uang mereka.”
Alasan utama yang logis mengenai masalah wajibnya zakat perniagaan adalah karena Allah Ta’ala mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya untuk membantu orang-orang fakir atau yang semisal dengan mereka serta untuk memenuhi kemaslahatan umum, memberikan faedah untuk kaum fakir-miskin dan lainnya, membantu mereka yang mendapatkan musibah di samping untuk menutup jalan ke arah kerusakan ketika harta menumpuk dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala terkait pembagian harta Fai’,
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu.” (Qs. Al Hasyr: 7)
Maka apakah masih diterima secara akal jika melihat kepada maqashidh syar’iyyah (tujuan syariat) tadi, bahwa para pedagang lolos dari kewajiban zakat yang boleh jadi kekayaan umat terbesar ada pada mereka?”
Syarat Barang Perdagangan
Penyusun kitab Al Mughni menyatakan, “Harta tidaklah menjadi harta perdagangan kecuali dengan dua syarat:
Pertama, barang itu dimilikinya dengan tindakannya seperti dengan jual-beli, pernikahan, khulu, menerima hibah, wasiat, ghanimah, usaha-usaha yang halal. Hal itu karena sesuatu yang tidak dizakati ketika menjadi miliknya, juga tidak wajib dizakati dengan sekedar niat seperti ibadah puasa. Tidak ada bedanya, baik ia memilikinya dengan adanya ganti atau tidak, karena ia memilikinya dengan tindakannya seperti halnya harta warisan.
Kedua, ketika memilikinya ia berniat untuk memperdagangkannya. Jika ia tidak meniatkan demikian saat memilikinya, maka tidak menjadi barang perniagaan meskipun ia meniatkan setelahnya.
Jika seseorang memilikinya dengan cara mewarisi dan bermaksud untuk diperdagangkan, maka tidak menjadi barang perniagaan (yang dikenai zakat) karena hukum asal harta warisan adalah untuk dimiliki (pribadi) bukan untuk diperdagangkan, sedangkan untuk perdagangan adalah hal yang baru datang, maka tidak bisa menjadi barang dagangan (yang kena zakat) hanya sekedar niat, sebagaimana kalau seseorang berniat safar, maka belum berlaku hukum safar tanpa adanya praktek, sehingga jika seseorang membeli barang untuk didagangkan tetapi niatnya untuk pribadi, maka barang-barang itu menjadi barang-barang pribadi dan gugurlah zakat daripadanya.
Bagaimanakah Mengeluarkan Zakat Perdagangan?
Barang siapa yang memiliki barang dagangan yang telah mencapai nishab dan telah berlalu haul baginya, maka ia menilainya di akhir tahun dan ia keluarkan zakatnya 1/40 dari nilai(jumlah keseluruhan)nya.
Demikianlah yang dilakukan oleh seorang pedagang dalam harta dagangannya setiap tahun, dan tidak dimulai haul sampai harta dagangan miliknya itu mencapai nishab[1].  Oleh karena itu, apabila seseorang memiliki harta yang nilainya di bawah nishab, lalu berlalu beberapa bulan dan dalam keadaan seperti itu, kemudian nilai atau harganya naik sehingga mencapai nishab atau ia menjual dengan bayaran yang seharga nishab, atau di sela-sela setahun itu ia memiliki harta dagangan lainnya atau bayaran yang menjadikannya mencapai nishab, maka ketika itu dihitunglah awal haulnya sedangkan sebelumnya tidak dihitung. Ini adalah pendapat Tsauri, ulama madzhab Hanafiyyah, Syafi’i, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.
Lalu apabila  berkurang nishab di sela-sela haul namun sempurna di kedua penghujungnya (awal dan akhir), maka menurut Imam Abu Hanifah haulnya tidak terputus, karena persyaratan bahwa nishab harus terpenuhi dalam seluruh haulnya  sangat sulit.
Adapun menurut ulama madzhab Hanbali, bahwa jika terjadi kekurangan di sela-sela haul lalu bertambah lagi mencapai nishab, maka dimulai haulnya ketika telah bertambah mencapai nishab itu, karena menjadi terputus haulnya saat berkurang dari nishab di sela-sela haul.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[1] Imam Malik berpendapat, bahwa haul (zakat perdagangan) bisa dimulai meskipun belum mencapai nishab, dimana jika akhir tahun telah mencapai nishab, maka ia keluarkan zakatnya.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger