Mengenal Ilmu Ushul Fiqih (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫أصول الفقه‬‎
Mengenal Ilmu Ushul Fiqih (2)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan singkat tentang Ushul Fiqih merujuk kepada risalah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah yang berjudul Risalah Lathifah fi Ushulil Fiqh, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Prinsip Pokok Yang Dibutuhkan Oleh Seorang Ahli Fiqh

Asal perintah yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah menunjukkan wajib, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada sunah atau mubah.
Asal dalam larangan menunjukkan haram, kecuali ada dalil yang memalingkan menjadi makruh.
Asal pada perkataan itu menunjukkan hakikatnya, tidak bisa berubah ke majaz –jika kita berpendapat begitu (adanya majaz)- kecuali jika tidak bisa dibawa kepada hakikat.
Hakikat itu terbagi menjadi tiga; syar’iyyah (syara’), lughawiyyah (bahasa) dan ‘urfiyyah (kebiasaan yang berlaku).
Þ      Jika syara’ yang menghukumi sendiri, maka harus dikembalikan kepada batasan syara’.
Þ      Jika sesuatu dihukumi, namun tidak diberikan batasan karena tercukupi dengan maknanya secara lughawiy (bahasa), maka wajib dikembalikan kepada bahasa.
Þ      Dan sesuatu yang tidak memiliki batasan dalam syara’ maupun lughah (bahasa), maka dikembalikan kepada ‘uruf/kebiasaan yang berlaku.
Dan syara’ telah menegaskan untuk mengembalikan masalah-masalah kepada uruf yang berlaku, seperti amar ma’ruf, mu’asyarah (bergaul) bil ma’ruf dsb.
Maka jagalah baik-baik dasar-dasar ini, karena seorang ahli fiqh harus merujuk kepadanya dalam setiap tindakan fiqhnya.
Kembali Kepada Nash Wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah)
Nash-nash Al Qur’an itu bisa berupa:
Þ      ‘Aam (umum), yaitu lafaz yang mencakup ke masing-masing jenis, macam maupun satuan yang banyak, inilah nash yang paling banyak. Ada pula yang Khaash (khusus), yaitu lafaz yang menunjukkan kepada masing-masing jenis, macam ataupun satuan[i].
Jika tidak ada pertentangan antara yang ‘Aam dengan yang Khaash, maka dikerjakanlah masing-masingnya. Dan jika diperkirakan terjadi pertentanagan, maka yang ‘Aam dikhususkan oleh yang Khaash.
Þ      Muthlaq tanpa terikat. Dan ada juga Muqayyad yang terikat dengan sifat atau ikatan lain yang memang dipandang[ii]. Oleh karena itu, yang muthlak bisa dibawa kepada yang muqayyad.
Þ      Ada juga yang Mujmal dan ada juga yang mubayyan[iii].
Sesuatu yang disebutkan oleh syara’ secara ijmal/global di satu tempat, maka di tempat lain dijelaskan dan diterangkan (mubayyan), oleh karena itu wajib merujuk kepada penjelasan syari’at.
Sering sekali hukum-hukum dalam Al Qur’an disebutkan secara ijmal dan dijelaskan oleh As Sunnah, maka dalam hal ini kita wajib merujuk kepada penjelasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Beliau-lah yang menerangkan hukum dari Allah.
Þ      Yang sama pula dengan hal di atas adalah Muhkam (sudah diterangkan tafsirnya sehingga tidak ada peluang ditakwil) dan Mutasyaabih.
Maka kita wajib mengembalikan yang mutasyaabih (belum jelas) kepada yang muhkamnya.
Þ      Ada juga yang menjadi Nasikh (penghapus) dan ada juga yang Mansukh (dihapus).
Yang mansukh dalam Al Qur’an itu sangat sedikit.
Kapan saja bisa dijama’ antara keduanya, atau dibawa masing-masingnya kepada suatu keadaan, maka wajib dilakukan.
Dan tidak bisa beralih kepada naskh (penghapusan) kecuali ada nash dari syara’, atau terjadinya pertentangan antara dua nash yang shahih yang tidak mungkin dibawa kepada makna yang sesuai, maka ketika ini yang datang setelahnya menaskh (menghapus) yang datang sebelumnya.
Jika kesulitan mengetahui mana yang datang setelahnya dan mana yang datang sebelumnya, maka kita kembali kepada tarjih yang lain.
Oleh karena itu, apabila sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perbuatannya berbeda, maka kita dahulukan sabdanya. Karena sabdanya itu perintah dan larangan bagi umatnya, dan bisa juga kita anggap perbuatan yang Beliau lakukan itu kekhususan Beliau. Oleh karena itu, kekhususan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dibangun atas dasar ini.
Demikian juga apabila Beliau melakukan sesuatu dengan tujuan ibadah, namun Beliau tidak memerintahkannya (dengan sabdanya), maka yang benar hal itu menunjukkan sunah. Jika Beliau melakukannya karena sebagai kebiasan, maka yang demikian menunjukkan mubahnya[iv].
Setiap yang disetujui/didiamkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berupa perkataan dan perbuatan, maka kita menghukumi mubah atau selain itu sesuai yang Beliau setujui.
Ijma’ dan Qiyas Yang Shahih
Adapun Ijma’, maksudnya kesepakatan para ulama mujtahidin (ahli ijtihad) terhadap suatu peristiwa. Jika telah ditetapkan ijma’ mereka, maka wajib merujuk kepada ijma’ mereka, tidak boleh menyelisihinya. Dan sudah pasti ijma’ ini bersandar kepada dilalah (kandungan) Al Qur’an dan As Sunnah.
Sedangkan Qiyas yang shahih, maksudnya menghubungkan sesuatu yang diqiaskan (far’) dengan asalnya karena ada kesamaan ‘illat[v].
Oleh karenanya, jika syara’ telah menyebutkan suatu masalah disertai dengan sifatnya atau para ulama menyimpulkan bahwa disyari’atkannya perkara itu karena sifat ini atau itu, lalu ternyata ditemukan sifat itu pada hal lainnya yang tidak disebutkan oleh syara’ secara tegas tanpa adanya perbedaan antara masalah itu dengan yang disebutkan nashnya, maka wajib dihubungkan ke dalam bagian hukumnya. Hal itu karena syara’ itu bijaksana, tidaklah membedakan antara hal yang sama sifatnya dan tidaklah menggabungkan masalah yang berlainan.
Dan qiyas yang shahih ini adalah timbangan yang Allah turunkan, mengandung keadilan, dan dengannya pula diketahui sebuah keadilan.
Perlu diketahui, bahwa beralih kepada qiyas hanyalah karena tidak disebutkan oleh syara’, ia adalah dasar hukum yang bisa merujuk kepadanya ketika memang yang lainnya tidak bisa. Qiyas itu menguatkan nash, oleh karenanya semua masalah yang disebutkan nashnya sesuai dengan qiyas dan tidak menyelisihinya.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Penerjemah: Marwan bin Musa
Maraji’: Risalah Lathifah Fi Ushulil Fiqh (Abdurrahman As Sa’diy), dll.


[i] Contoh lafaz yang ‘Aam adalah pada ayat “Diharamkan atas kamu bangkai dan darah”, maka pada asalnya bangkai itu ‘Aam dan darah pun ‘Aam. Akan tetapi, karena ada hadits yang menjelaskan halalnya bangkai ikan dan belalang, maka yang ‘Aam tadi dikhususkan. Dan karena darah yang masih tertinggal di daging itu juga tidak diharamkan, maka yang ‘Aam tadi juga dikhususkan. Ini disebut ‘Aam makhsush (‘Aaam yang dikhususkan)-pent.
[ii] Lafaz ‘Aam yang tidak disertakan batas-batasnya dinamakan muthlak, seperti ayat yang menerangkan kaffarat Zhihar, yaitu perintah memerdekakan budak. Dan jika ada keterangan bahwa hamba tersebut harus yang mukmin tidak boleh yang kafir, maka ini namanya muqayyad (terikat dengan batasan itu). Contoh lain jika seorang dokter melarang makan nasi dengan tidak menentukan batas banyak atau sedikitnya, maka ini namanya muthlak. Tetapi, jika diterangkan berapa banyak yang tidak boleh dimakan, maka ini namanya muqayyad -pent.
[iii] Lafaz ‘Aam yang tidak disebutkan cara mengerjakannya dinamakan mujmal, misalnya pada ayat, “Dirikanlah shalat….” Dan jika disertakan dengan cara-caranya, maka hal itu dinamakan Mubayyan, yang artinya “diterangkan” -pent.
[iv] Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terbagi ke dalam beberapa bagian:
Pertama, perbuatan yang disebutkan oleh dalil, bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti bolehnya Beliau menikahi sembilan istri, lihat juga Qs. Al Ahzab: 50.
Pada dasarnya perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk diikuti, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya untuk Beliau.
Kedua, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai penjelasan terhadap suatu syariat, seperti praktek Beliau dalam haji, maka hukumnya seperti dihukuminya syariat itu.
Ketiga, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena sebagai tabiat dan kebiasaan, seperti menaiki unta, maka hukumnya mubah. Termasuk pula ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam memakai cincin dari perak, Beliau memakainya untuk stempel surat-suratnya, dimana ketika itu para penguasa tidak mau membaca surat tanpa stempel, maka Beliau kemudian memakainya. Maka ini juga hukumnya mubah, dimana Beliau memakainya karena suatu sebab.
Keempat, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Dalam hal ini ada khilaf di kalangan ulama. Ada yang berpendapat, bahwa hal itu menunjukkkan wajib, karena kita diperintahkan mengikuti Beliau (lihat Qs. Al A’raaf: 158). Ada pula yang menunjukkan sunah, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalahkan sahabat yang meninggalkannya, maka hal ini sepertinya lebih kuat menunjukkan  sunah, wallahu a’lam,
Pada dasarnya, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dibawa kepada ibadah dan tidak sebagai adat kebiasaan kecuali dengan dalil, seperti ketika ada nukilan bahwa sebelum Nabi shallallahu alaihi wa sallam orang-orang melakukannya, maka hal ini menunjukkan bahwa hal itu menunjukkan sebagai adat kebiasaan bukan sebagai ibadah, seperti memakai sorban, dimana Beliau melihat manusia sebelumnya telah mengenakan sorban, maka Beliau pun memakainya, maka hal ini adalah adat kebiasaan.
[v] Yakni sebab. Contoh: dilarangnya jual beli ketika azan Jumat ‘illat (sebabnya/karena) dapat menghalangi bersegera menuju shalat. Oleh karena itu jika perbuatan lain pun sama seperti itu, yakni menghalangi bersegera menuju shalat seperti bergadai, menyewa atau menikah di waktu ini menghalangi bersegera menuju shalat, maka dilarang pula perbuatan tersebut, diqiaskan dengan jual beli.
Contoh lain: Dilarang meminum-minuman keras ‘illatnya karena dapat memabukkan. Maka kalau ada minuman atau makanan yang sama dapat memabukkan, maka minuman tersebut haram seperti narkoba.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger