بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (53)
Tentang
Orang-Orang Yang Mengingkari Takdir
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At
Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab: Tentang Orang-Orang
Yang Mengingkari Takdir
Ibnu Umar radhiyallahu
anhuma berkata, “Demi Allah yang nyawa Ibnu Umar di Tangan-Nya, kalau sekiranya
salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu ia
menginfakkannya di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia
mau beriman kepada qadar (takdir).” Selanjutnya Ibnu Umar berdalih dengan sabda
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah,
para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman
kepada qadar yang baik maupun yang buruk.” (Hr. Muslim)
Penjelasan:
Atsar (riwayat dari
sahabat) di atas disebutkan dalam Shahih Muslim no. 8, Abu Dawud no.
4696, Tirmidzi no. 2613, dan Ibnu Majah no. 63.
Penyusun (Syaikh M. At
Tamimi) memasukkan masalah ini ‘beriman kepada takdir’ dalam kitab Tauhidnya
karena tauhid tidak sempurna kecuali dengan menetapkan adanya takdir Allah Azza
wa Jalla dan beriman kepadanya.
Penyusun menyebutkan
ancaman mengingkari takdir untuk menerangkan akan wajibnya beriman kepada
takdir.
Dalam atsar di atas
diterangkan, bahwa Ibnu Umar mendapatkan berita tentang orang-orang yang
mengingkari takdir, maka Beliau menerangkan bahwa akidah ini akan merusak
imannya karena telah mengingkari salah satu ushul(dasar)nya, lalu beliau
berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang rukun iman yang
enam yang semuanya wajib diimani.
Kesimpulan:
1. Mengingkari
takdir merupakan kekufuran.
2. Amal saleh tidak
diterima kecuali dari orang beriman. Dan seseorang tidak dikatakan beriman
sampai beriman kepada takdir.
3. Pentingnya
berdalih dengan Al Qur’an dan As Sunnah
**********
Dari Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu anhu, bahwa ia
pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan
manisnya iman sampai engkau mengetahui bahwa apa saja yang ditakdirkan akan
menimpamu, maka tidak akan meleset darimu, dan apa saja yang ditakdirkan tidak
menimpamu, maka tidak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
"إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ
الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ:اكْتُبْ، فَقَالَ: رَبِّ، وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ
مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ"
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan
adalah qalam (pena), lalu Dia berfirman kepadanya, “Catatlah!” Pena berkata,
“Ya rabbi, apa yang aku catat?” Allah berfirman, “Catatlah takdir segala
sesuatu sampai tibanya hari Kiamat.”
Ubadah melanjutkan, “Wahai anakku, aku juga mendengar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Barang siapa yang meninggal dunia tidak di atas
keyakinan ini, maka dia bukan termasuk golongaku.”
Dalam riwayat Ahmad disebutkan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ:اكْتُبْ ، فَجَرَى فِي
تِلْكَ السَّاعَةِ ِبمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan
adalah qalam (pena), maka Dia berfirman kepadanya, “Catatlah!” maka dicatatlah
semua yang akan terjadi sampai hari Kiamat.”
Dalam riwayat Ibnu Wahb disebutkan, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ؛ أَحْرَقَهُ اللهُ بِالنَّارِ
“Barang siapa yang tidak beriman kepada qadar
(takdir), maka Allah akan membakarnya dengan api neraka.”
Penjelasan:
Hadits Ubadah bin Ash
Shamit diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 2100 dan Abu Dawud no. 4700, dishahihkan
oleh Al Albani dalam Zhilalul Jannah no. 103.
Riwayat Ahmad di atas
disebutkan dalam Musnad Ahmad no. 22705 dan dishahihkan oleh Pentahqiq Musnad
Ahmad cet. Ar Risalah.
Adapun hadits Ibnu Wahb
disebutkan oleh Ibnu Wahb dalam kitab Al Qadar hal. 121 dan dinyatakan hasan
lighairih oleh Dr. Abdul Aziz Al Utsaim dalam tahqiqnya terhadap kitab Al
Qadar.
Anak Ubadah bin Ash
Shamit bernama Al Walid bin Ubadah, ia lahir di zaman Nabi shallallahu alaihi
wa sallam dan termasuk tabi’in senior, wafat setelah tahun 70 H.
Ibnu Wahb bernama
Abdullah bin Wahb bin Muslim Al Mishri. Beliau sseorang yang tsiqah dan ahli
fiqih, lahir pada tahun 125 H dan wafat pada tahun 197 H. Beliau membagi
waktunya dalam setahun, sepertiganya untuk ribath (menjaga perbatasan dalam
jihad fi sabilillah), sepertiga untuk mengajarkan ilmu, dan sepertiga lagi
untuk berhaji. Imam Malik menyebutnya sebagai mufti penduduk Mesir.
Riwayat di atas
menerangkan, bahwa Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu anhu berpesan kepada
anaknya bernama Al Walid agar beriman kepada takdir yang baik maupun yang
buruk, demikian pula menerangkan buah dan hasilnya yang baik ketika beriman
kepada takdir baik di dunia maupun di akhirat, serta menerangkan akibat buruk
ketika ingkar kepada takdir baik di dunia maupun di akhirat. Ubadah juga
berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menetapkan bahwa
bagian dari iman juga adalah beriman kepada takdir. Oleh karena itu, tidak ada
sesuatu yang terjadi di alam semesta sampai hari Kiamat melainkan dengan qadha
dan qadar Allah Azza wa Jalla.
Dalam riwayat-riwayat
tersebut terdapat perintah beriman kepada takdir, peringatan dari
mengingkarinya, dan menerangkan akibat mengingkari takdir.
Kesimpulan:
1. Wajibnya beriman
kepada takdir.
2. Ancaman keras
terhadap sikap mengingkari takdir.
3. Menetapkan
adanya qalam (pena) dan pencatatan segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari
Kiamat.
**********
Dalam kitab Musnad
dan Sunan dari Ibnud Dailami disebutkan, “Aku datang kepada Ubay bin
Ka’ab dan berkata, “Dalam diriku ada sesuatu yang mengganjal terkait dengan
takdir, maka sampaikanlah kepadaku suatu hadits yang semoga Allah menghilangkan
hal itu dari hatiku.” Ubay bin Ka’ab berkata, “Jika engkau menginfakkan emas
sebesar gunung Uhud, maka Allah tidak akan menerimanya sampai engkau mau
beriman kepada takdir, serta mengetahui bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan
menimpamu maka tidak akan meleset, sedangkan yang ditakdirkan tidak akan
menimpamu, maka tidak akan menimpamu. jika engkau meninggal dunia tidak di atas
keyakinan ini, maka engkau termasuk penghuni neraka.”
Ibnud Dailami berkata,
“Aku pun mendatangi Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, dan Zaid bin
Tsabit, ternyata mereka menyampaikan hadits yang sama dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Hakim dalam Shahihnya)
Penjelasan:
Hadits di atas
disebutkan oleh Abu Dawud no. 4699, Ibnu Majah no. 77, Ahmad dalam Al Musnad
5/182, 183, 185, 189, dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Azh Zham’an no.
1817. Hadits di atas dishahihkan oleh Al Albani.
Ibnud Dailami dalam
hadits di atas bernama Abdullah bin Fairuz Ad Dailami, seorang yang tsiqah dan
termasuk tabi’in senior, adapun ayahnya Fairuz adalah seorang yang berhasil
membunuh nabi palsu bernama Al Aswad Al Insiy.
Dalam hadits di atas,
Abdullah bin Fairuz menyatakan akan keganjalan dalam hatinya terkait masalah
qadar, ia khawatir jika sampai mengingkarinya, maka ia pun mendatangi Ahli Ilmu
dari kalangan para sahabat radhiyallahu anhum dengan harapan hilangnya keraguan
ini. Demikianlah yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, yakni bertanya kepada
para ulama untuk menyingkirkan syubhat dan keganjalan dalam hatinya sebagaimana
firman Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada
Ahli Ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)
Kemudian para sahabat
itu berfatwa menyatakan kewajiban beriman kepada takdir, dan bahwa
mengingkarinya dapat menjadikan pelakunya sebagai Ahli Neraka.
Kesimpulan:
1. Ancaman keras
bagi orang yang mengingkari takdir.
2. Bertanya kepada
Ahli Ilmu dalam urusan yang mengganjal di hati atau masalah syubhat.
3. Kewajiban Ahli
Ilmu adalah memberikan jawaban dan menyingkirkan syubhat, serta menyebarkan
ilmu ke tengah-tengah umat.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa
shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al
Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Tahqiq At Tajrid fi
Syarh Kitab At Tauhid (Abdul Hadiy Al Bakri, takhrij Abu Usamah Hasan Al
‘Awaji), Maktabah Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar