Fiqih Zakat (4)

بسم الله الرحمن الرحيم
نتيجة بحث الصور عن خذ من أموالهم صدقة تطهرهم بها
Fiqih Zakat (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang fiqih zakat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Zakat pada harta anak kecil dan orang gila
Bagi wali anak kecil dan wali orang gila harus mengeluarkan zakat dari harta keduanya ketika telah mencapai nishab (ukuran wajib zakat).
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Abdullah bin Amr secara marfu, “Barang siapa yang mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia mengembangkannya dengan berdagang dan tidak membiarkannya hingga dimakan zakat.” (Hr. Tirmidzi. Ia berkata, “Dalam isnadnya terdapat pembicaraan, karena Al Mutsanna bin Ash Shabbah didhaifkan dalam hal hadits.” Syaikh Al Albani juga mendhaifkan hadits ini).
Al Hafizh berkata, “Hadits ini memiliki syahid (penguat dari jalan lain) yang mursal menurut Syafi’i, ia juga menguatkannya dengan keumuman hadits-hadits shahih yang mewajibkan zakat secara mutlak.”
Bahkan Aisyah radhiyallahu anha mengeluarkan zakat harta anak-anak yatim yang berada dalam asuhannya.
Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih terhadap masalah ini. Banyak sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berpendapat bahwa harta anak yatim terkena zakat, di antaranya adalah Umar, Ali, Aisyah, dan Ibnu Umar. Pendapat ini dipegang pula oleh Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.”
Namun sebagian ulama berpendapat, bahwa harta anak yatim tidak kena zakat, inilah yang dipegang oleh Sufyan dan Ibnul Mubarak.
Orang yang memiliki utang
Barang siapa yang yang memiliki harta yang terkena zakat, sedangkan ia memiliki utang yang harus ia bayar, maka dibayarkan utang dari harta itu, sedangkan sisanya dikeluarkan zakatnya jika ternyata mencapai nishab. Tetapi jika ternyata tidak mencapai nishab (setelah dikurangi untuk membayar utang), maka tidak kena zakat, karena dalam kondisi ini ia tergolong fakir, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Tidak ada zakat kecuali ketika keadaannya kaya.” (Hr. Ahmad dan dinyatakan isnadnya shahih sesuai syarat Muslim oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah, dan diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad))
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menerangkan tentang zakat, bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir.
Utang tersebut juga mencakup utang kepada Allah atau kepada hamba, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
“Utang kepada Allah lebih berhak dibayarkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Orang yang meninggal dunia sedangkan ia mempunyai kewajiban zakat
Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai kewajiban zakat, maka zakat itu wajib dikeluarkan dari harta(peninggalan)nya. Ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. Bahkan pengeluaran zakat ini didahulukan daripada orang-orang yang memiliki piutang kepadanya, wasiat, dan ahli waris. Hal itu, karena Allah Ta’ala berfirman terkait warisan,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Setelah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar utangnya.” (Qs. An Nisaa’: 12)
Zakat adalah utang kepada Allah yang harus dibayar.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa ada seorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya ibuku wafat sedangkan dia punya tanggungan puasa sebulan, maka apakah aku boleh mengqadhanya?” Beliau bersabda,
فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
“Utang kepada Allah lebih berhak dibayarkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Niat menunaikan zakat
Zakat adalah ibadah, untuk sahnya disyaratkan niat, yaitu dengan berniatnya orang yang berzakat dalam hati ketika menunaikannya karena mencari keridhaan Allah, mencari pahala dari-Nya, dan meyakini bahwa zakat tersebut adalah wajib baginya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Qs. Al Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan.” (Hr. Bukhari)
Imam Malik dan Syafi’i mensyaratkan adanya niat ketika hendak membayarkan zakat. Menurut Abu Hanifah, bahwa niat itu wajib ketika membayarkan zakat atau pada saat menyelesaikannya. Namun Imam Ahmad membolehkan mendahulukan niat atas pembayaran zakat ketika jaraknya dekat.
Membayarkan zakat pada waktu wajibnya
Wajib mengeluarkan zakat segera ketika telah tiba waktunya, dan haram  menundanya dari waktu wajib kecuali jika tidak memungkinkan membayarnya di waktu itu, maka tidak mengapa sampai ia sempat membayarnya.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad dan Bukhari dari Uqbah bin Harits ia berkata, “Aku pernah shalat Ashar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Beliau selesai salam, maka Beliau bangun segera dan masuk menemui salah seorang istrinya, lalu keluar lagi dan Beliau melihat manusia penasaran dengan sikap Beliau itu, maka Beliau bersabda, “Aku teringat ketika shalat sepotong emas yang ada pada sisi kami. Aku tidak suka benda itu ada pada sisi kami sampai sore atau malam, sehingga aku perintahkan untuk segera dibagikan.”
Ibnul Baththal berkata, “Dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa kebaikan itu sepatutnya untuk disegerakan, karena terkadang musibah datang dan adanya penghalang, sedangkan seseorang tidak aman dari kematian, di samping menunda-nunda juga sebagai sikap tidak terpuji.”
Mempercepat Pembayaran
Boleh mempercepat pembayaran zakat sebelum waktunya. Termasuk juga membayarnya sebelum satu haul atau dua haul sebelumnya.
Dari Az Zuhri, bahwa ia memandang tidak mengapa menyegerakan membayar zakat setahun sebelumnya.
Imam Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang seseorang yang mengeluarkan zakat untuk tiga tahun ke depan, ia menjawab, “Sah.”
Imam Syaukani berkata, “Inilah pendapat Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah. Demikian pula Al Hadiy dan Al Qasim. Al Mu’ayyid billah berkata, “Itu lebih utama.”
Akan tetapi menurut Imam Malik, Rabi’ah, Sufyan Ats Tsauri, Dawud, Abu Ubaid bin Al Harits, dan An Nashir dari kalangan Ahlul Bait, bahwa tidak bisa menyegerakan zakat sampai tiba waktu haulnya. Mereka berdalih dengan beberapa hadits yang di sana mengkaitkan kewajiban zakat dengan haul sebagaimana yang telah disebutkan.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab terjadinya perbedaan ini adalah apakah zakat tersebut sebagai ibadah atau hak yang harus diberikan kepada kaum fakir miskin? Mereka yang menganggap sebagai ibadah dan menyamakan dengan shalat, maka tidak membolehkan mengeluarkan zakat sebelum tiba waktunya, sedangkan mereka yang menyamakan dengan hak yang wajib yang ada waktunya -- membolehkan mengeluarkan sebelum tiba waktunya layaknya bentuk amal sukarela.
Imam Syafi’i berdalih dengan hadits Ali radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerima zakat Abbas sebelum tiba waktunya.”
(Hr. Baihaqi, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
Doa untuk orang yang membayar zakat
Dianjurkan mendoakan orang yang membayar zakat saat diambil zakat darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman bagi jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. At Taubah: 103)
Dari Abdullah bin Abi Aufa, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan sedekah (zakat), Beliau berdoa,
«اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ»
“Ya Allah, berilah rahmat kepada mereka.”
Suatu ketika ayahku datang membawa zakat, maka Beliau berdoa,
«اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى»
“Ya Allah, berilah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Nasa’i meriwayatkan dari Wail bin Hujr ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda terhadap seseorang yang mengeluarkan unta yang bagus dalam zakat,
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي إِبِلِهِ
“Ya Allah, berilah keberkahan pada dirinya dan pada untanya.” (Dinyatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani)
Dan boleh dengan doa selain itu, misalnya doa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i rahimahullah. Ia berkata, “Sunnahnya bagi imam ketika mengambil zakat mendoakan orang yang mengeluarkan zakat dengan berkata,
آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ
“Semoga Allah memberi pahala terhadap harta yang engkau berikan, dan semoga Dia memberkahi hartamu yang masih tersisa.”
Hukum mendoakannya adalah sunah, meskipun ada di antara ulama madzhab Syafi’i yang mengatakan wajib.
Ibnu Hajar berkata, “Hal itu, karena jika wajib tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkannya kepada para pemungut zakat, di samping itu semua yang diterima oleh imam baik berupa kaffarat, hutang, dan lain sebagainya tidak harus ada doa di dalamnya. Demikian pula dalam hal zakat.”
Penyusun Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah berkata, “Dianjurkan bagi yang memberikan (zakat) untuk mengucapkan,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلاَ تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا
“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai sesuatu yang menguntungkan dan jangan Engkau jadikan sebagai sesuatu yang merugikan.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah juz 15/95).
Akan tetapi hadits yang dijadikan sandaran dalam Sunan Ibnu Majah yang berbunyi, “Jika kalian menyerahkan zakat, maka jangan kalian lupakan pahalanya. Maka dari itu, ucapkanlah Allahummaj’al’haa maghnaman...dst.” (seperti pada doa di atas),” adalah hadits yang maudhu (palsu) sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Al Albani. Dalam sanadnya terdapat Al Walid bin Muslim Ad Dimasyqi seorang mudallis dan telah melakukan ‘an’anah (menyebut ‘dari’ dalam sanadnya). Di samping itu, Al Bakhtari telah disepakati tentang kedhaifannya.
Menurut Imam Nawawi, dianjurkan bagi orang yang membayar zakat, sedekah, nadzar, atau kaffarat mengucapkan doa,
رَبَّنا تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيْمُ
“Wahai Rabb kami, terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa doa itu yang dipanjatkan oleh Ibrahim, Ismail alaihimash shalatu was salam, serta istri Imran. (Al Adzkar hal. 187)
Kesimpulan:
Dianjurkan mendoakan orang yang membayar zakat untuk menentramkan hati mereka, dan doanya bisa seperti doa-doa yang telah disebutkan di atas, wallahu a’lam.   
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger