بسم الله الرحمن الرحيم
Shalat Khauf (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang
shalat khauf (saat situasi mencekam), semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Cara Shalat Khauf
5. Kedua kelompok
sama-sama shalat bersama imam
Kedua kelompok sama-sama
shalat bersama imam, lalu kelompok pertama berdiri menghadap musuh, dan
kelompok kedua shalat bersama imam satu rakaat, lalu mereka (kelompok kedua)
pergi dan berdiri menghadap musuh, kemudian kelompok pertama datang dan shalat untuk
diri mereka masing-masing satu rakaat, sedangkan imam tetap berdiri, kemudian
imam shalat dengan mereka rakaat kedua, lalu kelompok kedua yang menghadap
musuh datang kemudian mereka shalat masing-masing satu rakaat, sedangkan imam
dan kelompok yang bersamanya duduk, lalu imam mengucapkan salam dan mereka pun
mengucapkan salam.
Dari Abu Hurairah ia
berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
shalat khauf pada peperangan di Nejed, Beliau berdiri shalat Ashar dan ikut
shalat bersama Beliau sekelompok sahabat, sedangkan sekelompok lagi menghadap
musuh, ketika itu punggung mereka menghadap kiblat, maka Beliau bertakbir, dan
mereka (kelompok yang bersama Beliau dan kelompok yang menghadap musuh) ikut
bertakbir, lalu Beliau menyelesaikan satu rakaat bersama kelompok yang bersama
Beliau, kemudian Beliau sujud dan ikut sujud pula kelompok yang bersama Beliau,
sedangkan kelompok yang lain tetap berdiri menghadap musuh, lalu Beliau bangun
dan ikut bangun pula kelompok yang bersama Beliau, kemudian kelompok ini pergi
menghadap musuh, sedangkan kelompok yang sebelumnya menghadap musuh datang
kemudian ruku dan sujud, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
tetap berdiri, kemudian kelompok ini bangun, lalu Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam memimpin mereka ruku dan sujud, kemudian kelompok yang menghadap
musuh datang dan melakukan ruku dan sujud, sedangkan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam duduk, demikian pula kelompok yang bersama Beliau, kemudian
Beliau mengucapkan salam dan mereka pun ikut salam, sehingga Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam mengerjakan dua rakaat, dan kedua kelompok itu juga
mengerjakan dua rakaat.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al
Albani)
6. Setiap kelompok
membatasi diri satu rakaat bersama imam, sehingga imam memperoleh dua rakaat,
dan masing-masing kelompok mendapatkan satu rakaat
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma,
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَّى بِذِي قَرَدٍ، وَصَفَّ النَّاسُ خَلْفَهُ صَفَّيْنِ، صَفًّا خَلْفَهُ وَصَفًّا
مُوَازِيَ الْعَدُوِّ، فَصَلَّى بِالَّذِينَ خَلْفَهُ رَكْعَةً، ثُمَّ انْصَرَفَ هَؤُلَاءِ
إِلَى مَكَانِ هَؤُلَاءِ، وَجَاءَ أُولَئِكَ فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَةً وَلَمْ يَقْضُوا»
“Bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pernah shalat di Dzi Qird, lalu para sahabat membagi dua
kelompok di belakang Beliau; kelompok yang pertama di belakang Beliau,
sedangkan kelompok yang satu lagi menghadap musuh, lalu kelompok yang bersama
Beliau mengerjakan shalat satu rakaat, kemudian kelompok ini pergi menggantikan
kelompok yang lain, kemudian kelompok yang lain itu datang dan Beliau shalat
dengannya satu rakaat dan tidak menambah lagi.” (Hr. Nasa’i dan Ibnu Hibban,
dan ia menshahihkannya).
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Allah mewajibkan shalat kepada Nabi kalian
shallallahu alaihi wa sallam ketika hadhar (mukim) empat rakaat, ketika safar
dua rakaat, dan ketika khauf satu rakaat.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud)
Dari Tsa’labah bin
Zahdam ia berkata, “Kami pernah bersama Sa’id bin Ash di Thabristan, ia pun
berkata, “Siapakah di antara kalian yang pernah shalat khauf bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam?” Hudzaifah berkata,
أَنَا، فَصَلَّى بِهَؤُلَاءِ
رَكْعَةً، وَبِهَؤُلَاءِ رَكْعَةً، وَلَمْ يَقْضُوا
“Saya. Ketika itu Beliau
shalat dengan kelompok yang satu hanya satu rakaat, dan kelompok yang kedua
hanya satu rakaat, dan mereka tidak menambah lagi.” (Hr. Abu Dawud dan Nasa’I, dishahkan oleh Al
Albani)
Cara shalat khauf untuk
Maghrib
Shalat Maghrib tidak
berlaku qashar, dan tidak ada hadits-hadits yang menyebutkan shalat khauf untuk
shalat Maghrib. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang cara
pelaksanaannya. Menurut ulama madzhab Hanafi dan Maliki, bahwa imam shalat
dengan kelompok pertama dua rakaat, dan shalat dengan kelompok kedua satu
rakaat. Imam Syafi’i dan Ahmad membolehkan imam shalat dengan kelompok pertama
satu rakaat, dan dengan kelompok kedua dua rakaat berdasarkan riwayat dari Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa ia pernah melakukan demikian.
Shalat ketika keadaan
semakin mencekam
Apabaila suasana semakin
mencekam dan perang berkecamuk, maka masing-masing melakukan shalat semampunya
baik sambil berjalan maupun berkendaraan; baik menghadap kiblat maupun tidak,
dan ia berisyarat ketika ruku dan sujud semampunya, dan menjadikan sujud lebih
rendah daripada rukunya, dan gugur baginya sebagian rukun ketika tidak sanggup
dikerjakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا
أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ
تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Jika kamu dalam keadaan
takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian
apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs. Al Baqarah: 239)
Ibnu Umar berkata, “Nabi
shallallahu alaihi wa sallam menguraikan shalat khauf, Beliau bersabda, “Jika
khauf (suasana mencekam) lebih dahsyat lagi, maka shalatlah sambil berjalan dan
berkendaraan.”
Dalam Shahih Bukhari
lafaznya,
فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ
أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ، صَلَّوْا رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ أَوْ رُكْبَانًا،
مُسْتَقْبِلِي القِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
“Jika khauf lebih
dahsyat lagi, maka kerjakanlah shalat baik sambil berjalan maupun berkendaraan;
baik menghadap kiblat maupun membelakanginya.”
Dalam riwayat Muslim
disebutkan,
«فَإِذَا كَانَ خَوْفٌ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَصَلِّ
رَاكِبًا، أَوْ قَائِمًا تُومِئُ إِيمَاءً»
“Jika khaufnya lebih
dahsyat lagi, maka shalatlah sambil berkendaraan atau berdiri sambil
berisyarat.”
Shalat orang yang
mengejar dan orang yang dikejar
Siapa saja yang mengejar
musuh dan khawatir musuh itu lepas, maka ia bisa shalat sambil berisyarat
meskipun berjalan ke arah selain kiblat.
Orang yang dikejar juga
seperti orang yang mengejar dalam hal ini. Termasuk pula dalam hal ini orang
yang dicegah musuh dari melakukan ruku dan sujud atau mengkhawatirkan dirinya,
keluarganya, atau hartanya dari bahaya musuh, pencuri, atau hewan buas; ia bisa
shalat sambil isyarat dan menghadap ke arah yang ia tuju.
Imam Al Iraqi berkata,
“Cara shalat seperti itu juga boleh bagi orang yang lari dari bahaya banjir
atau kebakaran jika ia tidak menemukan tempat menyelamatkan diri. Demikian pula
orang yang berhutang dan kesulitan membayar jika tidak sanggup membuktikan
kesulitannya lalu ia melarikan diri yang jika ditangkap, tentu ia akan
dipenjarakan dan pernyataannya tidak dibenarkan. Atau ia harus diqishas dan
ingin dimaafkan, dan bisa redam marahnya jika ia menghilang darinya.”
Dari Abdullah bin Unais
ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutusku menemui
Khalid bin Sufyan Al Hudzalliy, ketika itu ia menuju Arafah. Beliau bersabda,
“Pergi dan bunuhlah dia!” Lalu aku melihatnya sedangkan waktu shalat Ashar sudah
tiba, aku khawatir antaraku dengannya ada hal-hal yang dapat menunda shalat,
maka aku berjalan ke arahnya dan melakukan shalat sambil berisyarat, dan ketika
aku telah berada dekat dengannya, dia bertanya, “Siapa engkau?” Aku menjawab,
“Seorang dari bangsa Arab. Sampai berita kepadaku bahwa engkau telah
mengumpulkan harta untuk menghadapi orang ini, sehingga aku datang untuk itu.”
Ia berkata, “Aku memang benar mempersiapkan untuk itu.” Maka aku berjalan
sejenak bersamanya sehingga ketika ada kesempatan, maka aku tebas dirinya
hingga tewas.” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan isnadnya oleh Al Hafizh
Ibnu Hajar) [i]
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al
Jazairi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Menurut
Syaikh Al Albani, penghasanan hadits ini perlu diteliti kembali karena melalui
riwayat putera Abdullah bin Unais, dan tidak disebutkan nama puteranya itu, dan
Abdullah ini memiliki beberapa anak, yang di antaranya ada yang tsiqah dan ada
yang tidak. Imam Al Mundziri menyebutkan, bahwa puteranya bernama Abdullah bin
Abdullah bin Unais. Jika demikian, berarti ia termasuk yang majhul, lihat Dha’if
Abi Dawud no. 232.
0 komentar:
Posting Komentar