بسم الله الرحمن الرحيم
Shalat Ketika Safar (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan
tentang shalat ketika safar, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tempat memulai mengqashar shalat
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa mengqashar shalat
disyariatkan sejak berpisah (badan) dengan kota tempat tinggalnya dan keluar
dari daerahnya. Inilah syaratnya, dan dia tidak menyempurnakan shalatnya sampai
ia memasuki awal rumah di daerahnya itu.
Ibnul Mundzir berkata, “Aku tidak mengetahui bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam mengqashar dalam salah satu safarnya melainkan
setelah keluar dari Madinah.”
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Aku shalat Zhuhur bersama Nabi
shallallahu alaihi wa sallam di Madinah
empat rakaat dan di Dzulhulaifah dua rakaat.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits)
Namun sebagian kaum salaf berpendapat, bahwa barang siapa berniat
safar, maka ia boleh mengqashar meskipun masih di rumahnya, wallahu a’lam.
Kapankah seorang musafir menyempurnakan shalat yang ia qashar?
Seorang musafir boleh mengqashar shalatnya selama sebagai musafir.
Jika ia bermukim karena suatu keperluan yang ia tunggu penyelesainnya, maka ia
qashar shalatnya karena ia tetap dipandang musafir meskipun telah bermukim
bertahun-tahun.
Namun jika ia berniat mukim di sana dalam waktu tertentu, maka
menurut pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim adalah bahwa mukim tidaklah
mengeluarkan seseorang dari statusnya sebagai musafir baik lama atau sebentar
selama ia tidak berniat menjadikan tempat yang ia tempati itu sebagai tempat
tinggalnya (menjadi penduduknya).
Dalam masalah ini para ulama memiliki banyak pandangan yang
diringkas oleh Ibnul Qayyim di bawah ini, namun ia kuatkan pendapatnya.
Ibnul Qayyim menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari dengan mengqashar shalat dan
tidak bersabda kepada umatnya ‘tidak boleh mengqashar shalat jika mukimnya
lebih dari itu’, akan tetapi telah disepakati bahwa mukimnya Beliau selama
waktu tadi.
Mukim ketika safar ini tidak mengeluarkan seseorang dari hukum
safar baik lama maupun sebentar jika ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai
penduduknya.
Kaum salaf (generasi terdahulu) maupun khalaf (generasi kemudian)
berbeda dalam masalah ini dengan perbedaan yang cukup banyak.
Dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bermukim pada salah satu safarnya
selama sembilan belas hari melakukan shalat dua rakaat. Oleh karena itu, ketika
kami mukim selama sembilan belas hari, maka kami shalat dua rakaat, dan jika
lebih dari itu, maka kami sempurnakan.” [i]
Menurut zhahir pendapat Imam Ahmad, bahwa yang dimaksud Ibnu Abbas
(dalam pernyataan di atas) adalah lamanya mukim Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam di Mekkah pada saat penaklukannya, karena ia menyatakan bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mukim di Mekah selama delapan belas
hari; sebab Beliau hendak melanjutkan ke Hunain dan di sana tidaklah bermaksud
untuk mukim. Inilah mukimnya Beliau sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma.
Namun yang lain berpendapat, bahwa maksud Ibnu Abbas di atas
adalah mukimnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Tabuk sebagaimana
yang dikatakan Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma, “Nabi shallallahu alaihi
wa sallam mukim di Tabuk selama dua puluh hari dan terus mengqashar shalat.”
(Hr. Ahmad dalam Musnadnya). Wallahu a’lam.
Al Miswar bin Makhramah berkata, “Kami mukim bersama Sa’ad di
sebagian daerah Syam selama empat puluh hari, ketika itu Sa’ad mengqashar
shalat sedangkan kami menyempurnakannya.”
Nafi berkata, “Ibnu Umar bermukim di Adzerbaijan selama enam
bulan, ia melakukan shalat selama dua rakaat, ketika itu ia tertahan oleh salju
untuk memasukinya.”
Hafsh bin Ubaidillah berkata, “Anas bin Malik tinggal di Syam
selama dua tahun, ia melakukan shalat seperti shalat musafir.”
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam pernah mukim di Ramahurmuz selama tujuh bulan dan mereka
mengqashar shalat.”
Al Hasan berkata, “Aku bermukim bersama Abdurrahman bin Samurah di
Kabul selama dua tahun, ia mengqashar shalat dan tidak menjamak.”
Ibrahim berkata, “Mereka (para sahabat) bermukim di Ray selama
setahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun.”
Inilah praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
sahabatnya sebagaimana yang engkau perhatikan, dan inilah yang benar. Adapun
pendapat sebagian ulama, di antaranya yang disampaikan oleh Imam Ahmad, yaitu
jika berniat mukim lebih dari empat hari, maka ia sempurnakan, dan jika berniat
mukim kurang dari itu, maka ia mengqashar shalat, lalu ia membawa
riwayat-riwayat yang ada, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
para sahabatnya tidak berniat mukim sama sekali, bahkan dalam diri mereka
berniat, “Sekarang atau besok kita akan pergi,” maka pernyataan ini perlu
ditinjau kembali, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat
menaklukkan Mekah yang keadaannya sudah dimaklumi, dan bermukim di sana untuk
menetapkan dasar-dasar Islam serta merobohkan dasar-dasar syirik serta
mempersiapkan segala sesuatu bagi umat bangsa Arab di sekelilingnya, dan sudah
diketahui secara pasti bahwa hal ini membutuhkan tinggal beberapa hari; tidak
cukup hanya sehari atau dua hari saja. Demikian pula mukimnya Beliau di Tabuk
bermaksud menunggu kedatangan musuh, dan juga sudah maklum bahwa jarak antara
Beliau dengan musuh adalah beberapa marhalah[ii]
yang ditempuh dalam beberapa hari, dimana Beliau tahu bahwa hal itu tidak cukup
hanya empat hari saja. Demikian pula bermukimnya Umar di Adzerbaijan selama
enam bulan dengan melaksanakan shalat secara qashar disebabkan ada salju. Sudah
maklum pula bahwa salju tidaklah akan mencair dalam waktu empat hari yang
membuat jalan terbuka. Demikian juga mukimnya Anas di Syam selama dua tahun
sambil mengqashar shalat, mukimnya para sahabat di Ramahurmuz selama tujuh
bulan dengan mengqashar shalat. Ini semua jelas sekali, bahwa pengepungan dan
jihad tidak mungkin selesai dalam waktu empat hari.
Kawan-kawan Imam Ahmad berkata, “Jika bermukim untuk jihad melawan
musuh, atau dipenjara oleh pihak penguasa, atau karena sakit, maka boleh
mengqashar; baik bermukim untuk keperluan itu yang menurut perkiraan akan
berjalan lama atau sebentar. Inilah yang benar (menurut Ibnul Qayyim), akan
tetapi sayangnya mereka membuat syarat yang tidak ada dalilnya baik dari Al
Qur’an maupun As Sunnah, demikian pula dari ijma maupun praktek sahabat. Mereka
mengatakan, bahwa syaratnya selesai keperluannya dalam waktu yang tidak
memutuskan hukum safar, yaitu kurang dari empat hari.
Ibnul Qayyim melanjutkan kata-katanya, “Dari manakah syarat yang
kalian buat ini, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bermukim
lebih dari empat hari, Beliau tetap mengqashar shalat, seperti ketika di Mekah
dan Tabuk, Beliau tidak bersabda apa-apa dan tidak menerangkan kepada mereka
bahwa Beliau tidak berniat mukim lebih dari empat hari, sedangkan Beliau tahu
bahwa perbuatan Beliau akan menjadi panutan bagi umatnya, dimana mereka akan
mengikuti Beliau dengan mengqashar shalat dalam waktu mukimnya. Namun ternyata
Beliau tidak bersabda apa-apa walaupun sepatah atau dua patah kata, Beliau
tidak mengatakan ‘jangan mengqashar shalat jika bermukim lebih dari empat hari,
padahal penjelasan tentang ini sangat penting sekali. Demikian pula para
sahabat setelahnya mengikuti Beliau dan tidak berkata apa-apa kepada orang yang
ikut shalat bersamanya.
Imam Malik dan Syafi’i berkata, “Jika berniat mukim lebih dari
empat hari, maka ia menyempurnakan, dan jika kurang, maka mengqashar shalat.”
Abu Hanifah berkata, “Jika berniat mukim selama lima bekas hari,
maka ia menyempurnakan, dan jika berniat mukim kurang dari itu, maka ia
mengqashar shalat.” Ini juga merupakan madzhab Al Laits bin Sa’ad, dan telah
diriwayatkan demikian dari tiga orang sahabat, yaitu Umar, anaknya, dan Ibnu
Abbas.
Sa’id bin Al Musayyib berkata, “Jika engkau bermukim empat hari,
maka shalatlah empat rakaat.” Dari beliau juga ada pendapat yang sama dengan
pendapat Abu Hanifah.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Jika bermukim
selama sepuluh hari, maka ia sempurnakan.” Ada juga riwayat demikian dari Ibnu
Abbas.
Al Hasan berkata, “Tetap mengqashar selama belum kembali ke tempat
semula.”
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Tetap mengqashar selama belum
menaruh bekal dan wadahnya.”
Adapun para imam yang empat rahimahumullah sepakat, bahwa apabila
seseorang bermukim karena suatu keperluan yang harus ia selesaikan, dimana ia mengatakan
‘hari ini (atau besok) ia akan pulang’ maka ia tetap mengqashar shalat
selamanya, hanyasaja Imam Syafi’i berdasarkan salah satu pendapatnya
mengatakan, bahwa orang ini tetap mengqashar sampai tujuh atau delapan belas
hari, dan tidak lagi mengqashar setelahnya.
Ibnul Mundzir dalam salah satu penyelidikannya berkata, “Para Ahli
Ilmu sepakat, bahwa seorang musafir selama tidak berniat mukim boleh mengqashar
shalat meskipun berlalu beberapa tahun.”
Intinya, menurut menurut Ibnul Qayyim bahwa, mukim tidaklah
mengeluarkan seseorang dari statusnya sebagai musafir baik lama atau sebentar
selama ia tidak berniat menjadikan tempat yang ia tempati itu sebagai tempat
tinggalnya (menjadi penduduknya).
Wallahu a’lam.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli
Fiqh, KSA), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazairi), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Menurut Syaikh Abdul Azhim bin Badawi, bahwa
jika seorang musafir berniat mukim, maka setelah berlalu 19 hari, ia
sempurnakan shalatnya, ia berdalil dengan hadits ini, wallahu a’lam
(Lihat Al Wajiz hal. 145).
[ii] Lihat endnote sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar