بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf Dalam Memelihara Hak Sesama Mereka
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang kaum salaf dalam memelihara hak orang lain, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Menjaga Hak
Sesama
Al Laits bin
Sa’ad dan ulama lainnya berkata, “Suatu ketika ada seorang yang menulis surat
kepada Ibnu Umar yang isinya, “Tuliskan untukku ilmu seluruhnya,” maka Ibnu
Umar menjawab surat itu dengan menulis, “Ilmu itu banyak, akan tetapi jika
engkau mampu menghadap Allah dalam keadaan punggungmu bebas dari darah manusia
(tidak pernah membunuh), perutmu kosong dari harta milik mereka, lisanmu bersih
dari menodai kehormatan mereka, dan senantiasa memegang jamaah mereka, maka
lakukanlah.” (Siyar A’lamin Nubala 3/222)
Al Waqidi berkata,
“Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Sabrah, dari Abdul Majid bin
Suhail, dari Auf bin Harits, ia berkata, “Aku mendengar Aisyah radhiyallahu
anha berkata, “Ummu Habibah pernah mengundangku saat ia akan meninggal dunia,
ia pun berkata, “Sudah maklum antara kita sering terjadi masalah sebagaimana
yang terjadi antara sesama istri yang dimadu, semoga Allah mengampuniku dan
mengampuni dirimu.” Aku (Aisyah) berkata, “Semoga Allah mengampuni semua dosamu
dan menghapus seluruhnya,” Ia melanjutkan kata-katanya, “Engkau telah membuat
diriku bergembira, semoga Allah membuat dirimu bergembira,” kemudian ia
memanggil Ummu Salamah dan mengatakan hal yang sama.” (Siyar A’lamin Nubala
2/223)
Dari Umar bin Dzar, ia
berkata, “Telah menceritakan kepadaku Atha bin Abi Rabah, ia berkata, “Telah
menceritakan kepadaku Fathimah istri Umar bin Abdul Aziz, bahwa dirinya pernah
menemui Umar bin Abdul Aziz yang ketika itu sedang berada di tempat shalatnya,
tangannya berada di pipinya sambil meneteskan air mata, lalu aku berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, apakah terjadi sesuatu?” Ia menjawab, “Wahai Fathimah,
sesungguhnya aku diberi tugas memimpin umat Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam, maka aku teringat dengan orang miskin yang kelaparan, orang sakit yang
terlantar, orang yang kekurangan pakaian yang kesusahan, orang yang terzalimi yang
ditindas, orang-orang perantauan yang kehabisan bekal, orang-orang jompo,
orang-orang yang menanggung banyak tanggungan di belahan penjuru dunia. aku yakin,
bahwa Tuhanku akan bertanya kepadaku tentang mereka, dan aku akan berhadapan dengan
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam di belakang mereka, aku pun takut
kalau aku tidak memiliki alasan kuat di hadapan Beliau, aku kasihan terhadap
diriku, maka aku pun menangis.” (Siyar A’lamin Nubala 5/131-132)
Sufyan bin Husain berkata, "Suatu ketika aku menceritakan keburukan
seseorang di hadapan Iyas bin Muawiyah, lalu ia memperhatikan wajahku dan berkata,
"Apakah
engkau pernah berperang melawan Romawi?" "Tidak," jawabku.
Ia bertanya lagi, "Apakah engkau pernah berperang
melawan Sind, India, dan Turki?”
Aku menjawab, "Belum pernah.”
Ia pun berkata, "Mengapa orang-orang Romawi,
Sind, India, dan Turki selamat dari celaanmu, namun saudaramu yang muslim tidak
selamat (dari celaanmu?!” Sufyan berkata, "Setelah itu aku tidak
mengulangi perbuatan itu.” (Al Bidayah wan Nihayah (13/121))
Dari Musa bin Uqbah ia berkata, “Saat Iyadh bin Ghanam
diangkat sebagai gubernur, sanak saudaranya datang untuk menyambung tali
silaturrahim, maka Musa menemui mereka dengan wajah berseri-seri, memberi
mereka tempat dan memuliakan mereka. Mereka tinggal beberapa hari, lalu
berbicara kepadanya tentang hubungan mereka dengannya dan menyampaikan tentang kesulitan
yang mereka hadapi dengan maksud menyambung tali silaturrahim dengannya, lalu
Musa memberikan kepada masing-masing mereka sepuluh dinar, sedangkan mereka ada
lima orang, tetapi sanak saudaranya itu malah menolaknya, marah kepadanya, dan
mencelanya (karena sedikitnya uang yang mereka terima).” Musa pun berkata, “Wahai
keponakan-keponakanku, demi Allah, aku tidak mengingkari hubungan kekerabatan
kalian denganku, hak yang kalian miliki, dan jauhnya perjalan kalian. Akan tetapi
demi Allah, yang aku berikan kepada kalian adalah hasil dari aku menjual
budakku dan menjual barang yang menjadi keperluanku, maka maafkanlah aku.”
Mereka menjawab, “Demi Allah, Dia tidak akan memaafkanmu, karena engkau sebagai
gubernur Syam dan engkau hanya memberikan kepada kami sekedar ongkos perjalanan
pulang saja?” Beliau balik bertanya, “Apakah kalian menginginkan aku mencuri
harta Allah? Demi Allah, diriku digeregaji lebih kusukai daripada aku
berkhianat (korupsi) terhadap harta meskipun kecil atau menggunakan bukan pada
tempatnya.” Mereka pun berkata, “Baiklah, untuk hal yang engkau miliki sendiri
kami bisa memakluminya. Tetapi berilah kami pekerjaan agar kami dapat melakukan
pekerjaan kepadamu sebagaimana yang lain, dan kami memperoleh manfaat seperti
yang mereka terima. Di samping itu, engkau juga tahu keadaan kami ini dan kami
tidak akan mempaui batas dari jatah yang engkau berikan kepada kami.” Musa bin
Uqbah berkata, “Demi Allah, aku benar-benar mengetahui keutamaan dan kebaikan
kalian, akan tetapi bagaimana jika sampai berita ini ke telinga Umar bahwa
dirinya telah mengangkat beberapa orang kaumnya, akhirnya mereka mencela diriku,”
mereka menjawab, “Abu Ubaidah pernah mengangkatmu, sedangkan engkau dengannya
ada hubungan kerabat, lalu Umar mengabulkannya. Oleh karena itu, jika Engkau
mengangkat kami, tentu Umar akan menyetujuinya,” Musa bin Uqbah balik berkata, “Sesungguhnya
aku di hadapan Umar tidak seperti Abu Ubaidah.” Maka mereka pun pergi sambil
mencela Musa.” (Shifatush Shifwah 1/669-670)
Sulaiman Al Ahnaf menceritakan, bahwa Al Ahnaf pernah
berkata, “Ada tiga hal dalam diriku yang tidaklah aku sebut melainkan agar
dijadikan pelajaran, yaitu (1) aku tidaklah mendatangi pintu penguasa sampai
aku dipanggil, (2) aku tidak akan ikut campur dalam urusan dua pihak yang
bertengkar sampai keduanya menghadirkanku (sebagai penengah) di antara mereka
berdua, dan (3) aku hanya menyebut kebaikan orang yang bangkit dari majlisku. (Siyar
A’lamin Nubala 4/92)
Sulaiman At Taimiy juga berkata, “Apabila ada seorang
yang bertikai denganku, maka aku akan lakukan kepadanya salah satu dari tiga
macam tindakan ini; (1) jika dia berada di atasku, maka aku menghormati
kedudukannya, (2) jika ternyata di bawahku, maka aku sampaikan kedudukanku, dan
jika sejajar denganku, maka aku berbuat baik kepadanya.”
Ia juga berkata, “Aku bukanlah orang yang santun, aku
hanya berusaha untuk santun.” (Siyar A’lamin Nubala 4/92)
Al Ashma’I berkata, “Dari Mu’tamir bin Hayyan, dari
Hisyam bin Uqbah saudara Dzur Rummah, ia berkata, “Aku pernah bersama Al Ahnaf
bin Qais yang ketika itu sedang mendatangi suatu kaum untuk menyelesaikan kasus
pembunuhan. Beliau pun berbicara dengan mereka, dan berkata, “Silahkan kalian
tuntut!” Mereka berkata, “Kami menuntut dua diyat.” Al Ahnaf berkata, “Itu
adalah tuntutan kalian.” Ketika mereka terdiam, maka Al Ahnaf berkata, “Aku
akan mempertimbangkan tuntutan kalian. Dengarlah, sesungguhnya yang Allah
tetapkan satu diyat, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga menetapkan satu
diyat, kemudian bangsa Arab memberlakukan satu diyat antara sesama mereka. Sekarang
kalian menuntut, aku khawatir kalau kalian dituntut, lalu mereka tidak ridha
selain seperti yang kalian inginkan.” Mereka pun akhirnya berkata, “Kalau
begitu, kembalikan saja kepada satu diyat.” (Siyar A’lamin Nubala 4/93).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah
versi 3.45, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul
Aziz Nashir Al Julail dan Bahauddin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah versi
3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar