بسم الله الرحمن الرحيم
Shalat Ketika Safar (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang shalat ketika safar, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Di antara bukti
kemudahan syariat Islam adalah dengan diberikan berbagai macam keringan pada
saat safar, seperti berbuka ketika puasa, boleh menyapu bagian atas khuff
(sepatu) ketika berwudhu selama tiga hari-tiga malam tanpa perlu melepasnya,
dan adanya syariat qashar (mengurangi jumlah rakaat) untuk shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat.
Mengqashar Shalat
Mengqashar shalat atau
mengurangi jumlahnya dari empat menjadi dua ketika safar disebutkan dalam Al
Qur’an dan As Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisaa: 101)
Firman-Nya ‘jika kamu
takut diserang orang-orang kafir’ bukan menjadi syarat. Hal ini berdasarkan
hadits Ya’la bin Umayyah, bahwa dirinya pernah bertanya kepada Umar bin
Khaththab, “Beritahukan kepadaku tentang mengqashar shalat yang dilakukan
manusia padahal Allah Azza wa Jalla berfirman, “jika kamu takut diserang
orang-orang kafir,” sedangkan rasa takut telah hilang sekarang?” Umar
menjawab, “Aku juga heran sebagaimana engkau heran, lalu aku sampaikan hal itu
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
« صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا
صَدَقَتَهُ »
"Ia
adalah sedekah yang Allah berikan kepada kamu, maka terimalah sedekah
itu." (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Munib Al Jurasyi bahwa Ibnu Umar
pernah ditanya tentang ayat di atas (Qs. An Nisaa: 101), “Sekarang kita berada
dalam keamanan dan tidak merasa takut, namun mengapa engkau mengqashar shalat?”
Ibnu Umar menjawab dengan firman Alah Ta’ala,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzab: 21)
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Shalat (pertama kali)
diwajibkan dua rakaat-dua rakaat ketika hadhar (mukim) dan safar, lalu dua
rakaat itu ditetapkan untuk shalat safar dan ditambah (dua rakaat lagi) untuk
shalat hadhar.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hukum Mengqashar Shalat
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat dengan mengerjakan dua
rakaat dari sejak keluar bersafar sampai kembali ke Madinah, dan tidak ada
riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Beliau mengerjakan shalat empat rakaat
(ketika safar), dan tidak ada seorang pun imam yang berbeda pendapat dalam hal
ini meskipun mereka berbeda pendapat tentang hukum qashar. Yang berpendapat
wajib qashar adalah Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Jabir, dan
ini merupakan madzhab ulama Hanafi.”[i]
Ulama madzhab Maliki berpendapat, bahwa qashar adalah sunnah
mu’akkadah yang lebih ditekankah daripada shalat berjamaah. Jika seorang
musafir tidak menemukan musafir yang lain untuk shalat bersamanya, maka ia
shalat sendiri dengan qashar, dan makruh baginya bermakmum dengan orang yang
mukim.
Namun pernyataan ulama madzhab Maliki ini bahwa bagi musafir
makruh bermakmum kepada orang yang mukim adalah keliru, bahkan menyelisihi
Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan riwayat Musa bin Salamah,
ia berkata, “Kami bersama Ibnu Abbas di Mekah, lalu aku bertanya, “Kami ketika
bersama kalian mengerjakan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah
masing-masing dan melakukan shalat, maka kami kerjakan shalat dua rakaat?” Ibnu
Abbas berkata, “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam).” (Hr. Ahmad dengan sanad sahih, dan diriwayatkan oleh Muslim, Abu
Awanah, dan lainnya secara ringkas, lihat Irwa’ul Ghalil, 571).
Menurut madzhab Hanbali, qashar hukumnya jaiz (boleh), dan itu
lebih utama daripada menyempurnakan empat rakaat. Demikian pula menurut ulama
madzhab Syafi’i, bahwa hal itu boleh apabila telah mencapai jarak safar.
Jarak Boleh Mengqashar Shalat
Jika kita perhatikan ayat tentang safar (Qs. An Nisa: 101), maka
kita dapat mengetahui bahwa setiap perjalanan yang disebut secara bahasa
sebagai safar (bepergian) baik jauh atau dekat, maka boleh mengqashar shalat,
menjama, dan berbuka puasa, dan tidak ada dalam hadits batas jauh atau dekatnya
bepergian itu.
Ibnul Mundzir dan ulama lainnya menukil lebih dari dua puluh
pendapat tentang masalah ini, dan di sini akan disebutkan yang paling kuatnya
insya Allah:
Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya
bin Yazid ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar
shalat, maka Anas berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika keluar
sejauh tiga mil atau tiga farsakh melakukan shalat dengan jumlah dua rakaat.”
Al Hafizh berkata, “Inilah hadits yang paling shahih dan paling
tegas menerangkan hal tersebut.”
Keragu-raguan menyebutkan antara mil atau farsakh telah hilang
oleh hadits Abu Sa’id Al Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
apabila keluar sejauh satu farsakh (tiga mil), maka Beliau mengqashar shalat.
(Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, dan disebutkan oleh Al Hafizh dalam At
Talkhis, dan ia membenarkannya dengan pernyataan diamnya) [ii].
Sudah maklum bahwa 1 farsakh adalah tiga mil, sehingga hadits Abu
Sa’id menghilangkan keraguan yang ada dalam hadits Anas dan menjelaskan bahwa
minimal jarak safar yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengqashar
shalat adalah tiga mil atau 1 farsakh (5.040 m), karena 1 mil = 1.680 m.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa jarak minimal qashar adalah 1 mil
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih dari
Ibnu Umar, dan inilah yang dipegang oleh Ibnu Hazm. Ia juga mengatakan tentang
tidak berlaku qashar jika kurang dari satu mil, bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam ketika keluar ke Baqi untuk menguburkan orang-orang yang meninggal
dunia dan keluar ke tanah lapang untuk buang hajat tidak pernah mengqashar
shalatnya.
Adapun pendapat sebagian ahli fiqih bahwa syarat qashar itu harus
safar yang jauh, dimana jarak minimalnya menurut sebagian mereka adalah dua
marhalah[iii]
atau tiga marhalah, maka dibantah oleh Abul Qasim Al Kharqi. Disebutkan dalam
Al Mughni, “Penyusun berkata, “Aku tidak menemukan hujjah terhadap pendapat
yang dipegang oleh para imam. Hal itu, karena pendapat para sahabat saling
bertentangan dan berbeda sehingga tidak menjadi hujjah ketika adanya perbedaan.
Dan telah ada riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang menyelisihi hujjah
yang dipakai oleh kawan-kawan kami. Kalau pun tidak ada perberdaaan dari kedua
sahabat itu, maka pendapat mereka tidak menjadi hujjah ketika berhadapan dengan
sabda dan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Jika pendapat meraka tidak kuat, maka kembali kepada ukuran yang
mereka tentukan juga tertolak karena dua hal:
Pertama, karena menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
telah kami sebutkan riwayatnya dan karena zhahir (yang tampak) Al Qur’an yang
tidak menunjukan demikian. Hal itu karena, zhahir Al Qur’an menunjukkan
bolehnya qashar bagi orang yang mengadakan perjalanan di muka bumi sebagaimana
firman Allah Ta’ala, “Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (Qs. An Nisaa: 101)
Syarat ketika khauf (suasana takut) sudah hilang karena hadits
yang telah disebutkan dari Ya’la bin Umayyah, sehingga zhahir (yang tampak dari)
ayat berlaku untuk semua perjalanan di muka bumi. Sedangkan sabda Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, bahwa musafir boleh mengusap khuff selama tiga
hari, maka hadits ini untuk menerangkan waktu masa mengusap sehingga tidak bisa
dipakai hujjah di sini, di samping bisa saja jarak yang pendek ditempuh dalam
waktu tiga hari, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga menamai safar
(jika kurang dari itu), Beliau bersabda,
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
melakukan safar dalam waktu sehari kecuali disertai mahram.” (Hr. Muslim)
Kedua, menentukan jarak minimal dasarnya adalah tauqifiyyah (menunggu
dalil), sehingga tidak bisa menjadikannya sebagai pegangan namun didasari
pendapat semata dan tidak memiliki dasar terhadapnya, serta tidak ada
pembanding untuk diqiyaskan dengannya. Oleh karenanya, hujjah yang kuat ada
pada pendapat mereka yang mengatakan bolehnya setiap musafir mengqashar
shalat kecuali ada ijma yang membatalkannya.
Menurut Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy, memang Nabi shallallahu
alaihi wa sallam tidak menentukan jarak boleh mengqashar shalat, akan tetapi
mayoritas sahabat, tabi’in, dan para imam memperhatikan jarak dimana Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam mengqashar shalat, dan mereka mendapatinya kurang
lebih 4 barid atau 48 mil (80,640 km/80 km lebih), lihat Minhajul Muslim hal. 189.
Jika seorang berpegang dengan pendapat ini untuk kehati-hatian, maka tidak
mengapa.
Bolehnya mengqashar shalat dalam safar ini berlaku baik bagi yang
menaiki hewan kendaraan, mobil, pesawat, kereta, dan lainnya, serta berlaku
pula baik safar yang isinya ketaatan maupun selain itu.
Apabila pekerjaan seseorang selalu safar seperti nahkoda dan
kondektur kereta api, maka diperbolehkan mengqashar shalat dan berbuka, karena
ia sebagai musafir hakiki. Namun menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairiy, apabila
seorang nahkoda tidak turun dari kapalnya sepanjang tahun, dan kapal itu
seakan-akan sebagai tempat tinggalnya, maka tidak disunahkan mengqashar shalat,
bahkan hendaknya ia menyempurnakan, karena ia sama saja menjadikan kapal
sebagai tempat tinggalnya, (lihat Minhajul Muslim hal. 189).
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli
Fiqh, KSA), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakar Al Jazairi), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Ulama madzhab
Hanafi berpendapat, bahwa musafir yang tidak mengqashar shalat yang empat rakaat,
lalu pada rakaat kedua ia duduk setelah tasyahhud, maka sah shalatnya namun
makruh karena menunda salam, sedangkan dua rakaat yang selanjutnya adalah
sunah, dan jika ia tidak duduk pada rakaat kedua, maka tidak sah shalat
fardhunya.
[ii] Namun diamnya tidak berarti shahih sebagaimana diterangkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah karena dalam sanadnya
terdapat Abu Harun Al ‘Abdi yang menurut Al Hafizh dalam At Taqrib
‘seorang yang matruk (ditinggalkan), dan sebagian ulama menyatakan sebagai
pendusta’, bahkan Imam Syaukani meragukan tentang keshahihannya.
[iii] 1 marhalah = 2
barid. 1 barid = 4 farsakh. 1 farsakh = 3 mil. 1 mil = 1.680 m. Dengan demikian
2 marhalah = 80,640 km (80 km lebih).
0 komentar:
Posting Komentar