بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf Dalam Memuliakan Al Qur’anul Karim
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam memuliakan Al Qur’anul Karim yang kami ambil dari kitab Aina
Nahnu Min Akhlaqis Salaf dan kitab lainnya, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam memuliakan Al Qur’anul Karim
Dari Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda kepadaku, “Bacalah (khatamkanlah) Al Qur’an dalam sebulan.” Aku
berkata, “Saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Bacalah Al Qur’an dalam
dua puluh hari.” Aku berkata, “Saya mampu lebih dari itu.” Beliau pun bersabda,
“Bacalah Al Qur’an dalam tujuh hari dan jangan lebih dari itu.” [i]
Adz Dzahabiy
berkata mengomentari hadits di atas, “Ada riwayat shahih juga yang menyebutkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkan jumlah harinya hingga
tiga hari dan melarangnya mengkhatamkan kurang dari tiga hari.”[ii] Sabda tersebut Beliau
sampaikan untuk Al Qur’an yang telah turun. Kemudian setelah itu, sabda Beliau
(mengkhatam tiga hari) untuk sisa Al Qur’an yang turun setelahnya. Sehingga,
waktu paling singkat untuk mengkhatamkan Al Qur’an yang dilarang adalah kurang
dari tiga hari dan seterusnya. Tidak mungkin seorang yang mengkhatamkan Al
Qur’an kurang dari itu (3 hari) dapat mentadabburi. Tetapi, jika ia membaca
secara tartil dalam sepekan dan merutinkan hal itu, tentu sebagai amalan yang
utama, karena agama ini mudah.”
Adz Dzahabiy juga
berkata, “Demi Allah, membaca sepertujuh Al Qur’an secara tartil dalam tahajjud
Qiyamullail sambil menjaga shalat sunah rawatib, shalat Dhuha, Tahiyyatul
masjid, membaca dzikr-dzikr yang riwayatnya shahih, membaca doa sebelum tidur
dan ketika bangun tidur, membaca dzikr setelah shalat fardhu dan di waktu
sahur, melihat ilmu yang bermanfaat dan menyibukkan diri dengannya seraya
melakukan semua itu ikhlas karena Allah, juga beramar ma’ruf, membimbing orang
yang bodoh dan memahamkannya, mencegah orang yang fasik dari melakukan
kefasikannya, dan semisalnya, juga melakukan shalat fardhu berjamaah dengan
khusyu’, thuma’ninah, pasrah, dan dengan penuh keimanan, serta mengerjakan
kewajiban, menjauhi dosa-dosa besar, banyak berdoa dan beristighfar,
bersedekah, menyambung tali silaturrahim, bertawadhu, dan melakukan semua itu
dengan ikhlas; semua itu merupakan kegiatan yang agung dan besar, sekaligus
perbuatan calon-calon As-habul yamin (golongan kanan yang dihisab dengan hisab
yang mudah) dan perbuatan para wali Allah yang bertakwa, karena semua ini
adalah amalan yang disyariatkan. Jika seorang hamba disibukkan dengan
mengkhatamkan A Qur’an sehari penuh dalam setiap hari, maka ia telah
menyelisihi agama Islam yang hanif dan mudah ini, ia juga tidak bisa melakukan
sebagian besar ibadah-ibadah yang kami sebutkan serta tidak dapat mentadabburi
apa yang ia baca. Sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ahli ibadah
dan mulia ini setelah lanjut usia berkata, “Wahai kiranya, aku menerima
keringanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [iii] (Siyar A’lamin Nubala 3/84).
Dari Musayyib bin
Rafi’, Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, “Sepatutnya bagi penghapal Al Qur’an
menghidupkan malamnya ketika manusia sedang tidur, berpuasa di siang harinya
ketika manusia berbuka, bersedih ketika manusia bergembira, menangis ketika
manusia tertawa, diam ketika manusia berbicara tidak karuan, bersikap khusyu
ketika manusia bersikap angkuh. Demikian pula hendaknya penghapal Al Qur’an
suka menangis, bersedih, santun, bijak, dan banyak diam. Tidak pantas baginya
bersikap kasar, lalai, suka teriak-teriak, dan marah-marah.” (Shifatush
Shofwah 1/413)
Syu’bah dan Hisyam
menceritakan dari Qatadah, dari Yunus bin Jubair, ia berkata, “Kami pernah
mengantarkan Jundub, lalu aku berkata kepadanya, “Berilah kami nasihat!” Ia pun
berkata, “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan aku
nasihatkan kepada kalian untuk tetap membaca Al Qur’an (dan mempelajarinya),
karena ia merupakan cahaya di malam yang gelap dan petunjuk di siang hari.
Amalkanlah ajarannya dengan segala konsekwensinya berat dan lelah. Jika datang
cobaan, maka korbankanlah hartamu; bukan agamamu. Dan jika cobaan semakin
bertambah, maka korbankanlah harta dan jiwamu; bukan agamamu. Karena orang yang
rapuh adalah orang yang rapuh agamanya, dan orang yang terampas adalah orang
yang terampas agamanya. Ketahuilah, tidak ada lagi kemiskinan setelah masuk
surga dan tidak ada lagi kekayaan setelah masuk neraka.” (Siyar A’lamin
Nubala 3/174).
Dari Hammad bin
Najih, dari Abu Imran Al Jauniy, dari Jundub, ia berkata, “Dahulu kami adalah
remaja yang sedang menginjak usia baligh di zaman Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, kami pelajari keimanan sebelum mempelajari Al Qur’an, lalu kami
mempelajari Al Qur’an sehingga bertambahlah iman kami.” (Siyar A’lamin
Nubala 3/175).
Dari Hammad bin
Zaid, dari Atha bin As Sa’ib, bahwa Abu Abdirrahman berkata, “Kami mempelajari
Al Qur’an dari orang-orang yang menyatakan, bahwa mereka ketika mempelajari
sepuluh ayat daripadanya tidak menambahkan sepuluh ayat lagi sampai mereka
mengetahui isinya. Oleh karena itu, kami mempelajari Al Qur’an sambil
mengamalkannya, dan nanti Al Qur’an akan dipelajari oleh orang-orang setelah kami
seperti orang yang sedang meminum air, dimana ayat-ayatnya tidak melewati
tenggorokan mereka (dibaca saja namun tidak diamalkan),” (Siyar A’lamin
Nubala 4/269).
Disebutkan dalam
sejarah, bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang sering
menangis; ia tidak kuasa menahan air matanya saat membaca Al Qur’an. Demikian
pula Umar bin Khaththab, saat ia mengimami manusia pada shalat Subuh atau Isya,
lalu ia membaca surah Yusuf, maka ia pun menangis hingga air matanya mengalir
ke tulang selangkanya.
Disebutkan pula dalam
sejarah, bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dibunuh saat ia sedang
membaca Al Qur’an, sehingga darahnya menetes pada ayat yang berbunyi “Fasa
yakfiikahumullah...dst (QS. Al Baqarah: 137).”
Seorang tabi’in
bernama Affan berkata, “Aku telah melihat orang yang lebih rajin beribadah
dibanding Hammad bin Salamah, akan tetapi aku belum pernah melihat orang yang
lebih rutin dalam kebaikan, membaca Al Qur’an, dan beramal saleh karena Allah
Ta’ala dibanding Beliau.”
Saudari Imam Malik
bin Anas pernah ditanya, “Apa kesibukan Malik bin Anas di rumahnya?” Saudarinya
menjawab, “Memperhatikan Mushaf Al Qur’an dan membaca isinya.”
Dari Ishaq bin
Ibrahim ia berkata, “Bacaan Al Fudhail itu begitu syahdu, menarik, lembut, dan
perlahan seakan-akan ia mengajak bicara kepada seseorang, dan ketika ia sampai
pada ayat yang menyebutkan surga, maka ia mengulang-ulangnya.” (Shifatush
Shofwah 2/238).
Saat Abu Bakar bin
Iyasy akan meninggal dunia, maka saudarinya menangis, lalu Abu Bakar bertanya
kepadanya, "Apa yang membuatmu menangis? Sesungguhnya aku telah
mengkhatamkan di pojok sana 18.000 kali khatam."
Lihat pula
perhatian para ulama terhadap Al Quran dalam kitab Ma'rifatu Al Qurra Al
Kibar karya Imam Adz Dzahabi 1/30, 53, 67, dan 138)
Imam Syafi'i
rahimahullah berkata, "Jika engkau menginginkan kebaikan dan kesalehan
untuk hatimu, anakmu, saudaramu, atau siapa saja yang engkau inginkan
kesalehannya, maka titiplah ia di taman-taman Al Quran dan bergaul dengan para
penghapal Al Quran, niscaya Allah akan memperbaiki keadaannya dengan izin-Nya,
baik ia menghendakinya maupun tidak." (Hilyatul Auliya karya Abu Nu'aim
9/123)
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Al
Julail dan Bahauddin Aqil), At Tibyan fii Adab hamalatil Qur’an (Imam
Nawawi), http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=104390&full=1,
dll.
0 komentar:
Posting Komentar