بسم
الله الرحمن الرحيم
Waktu-Waktu Yang Dilarang Melakukan Shalat
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan
waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat. Semoga Allah menjadikan penulisan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Waktu-waktu
yang dilarang melakukan shalat
Telah ada hadits-hadits
yang melarang melakukan shalat pada waktu-waktu ini, yaitu: (1) setelah
shalat Subuh sampai terbit matahari, (2) ketika matahari baru terbit
sampai setinggi satu tombak, (3) ketika matahari berada di tengah langit
sampai condong ke barat, (4) setelah shalat Ashar sampai tenggelam matahari,
dan (5) ketika matahari mau tenggelam hingga tenggelam. Hal ini
berdasarkan hadits-hadits berikut:
لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ،
وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat
setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam, dan tidak ada shalat setelah
shalat Fajar sampai matahari terbit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amr bin ‘Anbasah
radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Nabi Allah, ajarkanlah kepadaku pengetahuan yang Allah ajarkan
kepadamu yang tidak aku ketahui! Beritahukanlah kepadaku tentang shalat!”
Maka Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ
قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ
الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ،
ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ، فَإِذَا
أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى
تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ،
فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ
“Lakukanlah
shalat Subuh kemudian berhentilah (tidak melakukan shalat) sampai matahari
terbit dan naik. Hal itu, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan[i]. Pada saat itu orang-orang
kafir sujud kepadanya. Selanjutnya, lakukanlah shalat! Karena shalat itu
disaksikan dan dihadiri (para malaikat) sampai tiba bayangan hanya pada tombak
(tidak ada bayangan sama sekali di bumi karena posisi matahari berada di tengah
langit). Ketika itu, tahanlah dari melakukan shalat, karena pada saat itu
neraka Jahannam sedang dinyalakan. Saat bayangan telah muncul (tanda waktu
Zhuhur), maka shalatlah, karena shalat itu disaksikan dan dihadiri para
malaikat sampai kamu shalat Ashar. Selanjutnya berhentilah dari melakukan
shalat sampai matahari tenggelam, karena ia tenggelam antara dua tanduk setan
dan pada saat itu orang-orang kafir sujud kepadanya.” (HR. Ahmad dan Muslim.
Dalam riwayat Abu Dawud dari hadits Amr bin Anbasah dengan lafaz “وَتَرْتَفِعُ قِيسَ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ” (artinya: dan matahari naik setinggi
satu atau dua tombak)).
Uqbah bin Amir
radhiyallahu ‘anhu berkata,
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ
مَوْتَانَا: «حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ
يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ
الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ»
“Ada tiga waktu
yang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang kami melakukan shalat
pada waktu itu atau menguburkan orang-orang yang mati di antara kami ketika
itu, yaitu: (1) ketika matahari baru terbit sampai naik, (2) ketika matahari
berada di tengah-tengah hingga bergeser, dan (3) ketika matahari mau tenggelam
hingga tenggelam.” (HR. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari)
Faedah:
Menurut
perkiraan, bahwa jarak antara terbitnya matahari hingga setinggi satu tombak
kurang lebih 15-20 menit sehingga setelahnya boleh dilakukan shalat syuruq
(setelah matahari terbit yang merupakan awal waktu Dhuha).
Jarak antara
matahari berada di tengah-tengah hingga bergeser ke barat kurang lebih 5 menit,
sedangkan jarak antara matahari mau tenggelam hingga tenggelam kurang lebih
15-20 menit. Wallahu a’lam.
Pendapat
para fuqaha (Ahli Fiqh) tentang shalat setelah shalat Subuh dan setelah shalat
Ashar
Jumhur ulama
berpendapat bolehnya mengqadha shalat (fardhu) yang terlewat setelah shalat
Subuh dan Ashar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa
yang lupa menjalankan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun melakukan
shalat sunah (setelah shalat Subuh atau Ashar), maka telah dimakruhkan oleh
sejumlah sahabat, di antaranya Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah,
dan Ibnu Umar. Bahkan Umar memukul orang yang melakukan shalat sunah dua rakaat
setelah shalat Ashar di hadapan para sahabat tanpa ada seorang pun dari mereka
yang mengingkari sebagaimana Khalid bin Al Walid juga melakukan hal yang sama.
Pendapat yang menyatakan makruhnya juga dipegang oleh Tabi’in, di antaranya Al
Hasan dan Sa’id bin Al Musayyib. Sedangkan dari kalangan imam madzhab yang
memakruhkannya adalah Abu Hanifah dan Malik.
Namun Syafi’i
berpendapat bolehnya melakukan shalat sunah (setelah shalat Subuh atau Ashar)
jika shalat sunah tersebut memiliki sebab seperti shalat Tahiyyatul Masjid
dan shalat sunah wudhu. Beliau berdalih dengan shalat sunah (rawatib) Zhuhur
yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat
Ashar.
Menurut penyusun
Fiqhussunnah, bahwa pendapat Syafi’i merupakan pendapat yang lebih dekat
kepada kebenaran.
Adapun ulama
madzhab Hanbali, maka mereka berpendapat haramnya melakukan shalat sunah
setelah shalat Subuh atau Ashar meskipun mempunyai sebab selain dua rakaat
thawaf. Hal ini berdasarkan hadits Jubair bin Muth’im, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا
طَافَ بِهَذَا البَيْتِ، وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ
نَهَارٍ»
“Wahai Bani Abdu
Manaf! Janganlah kalian menghalangi seseorang berthawaf di rumah ini dan
melakukan shalat pada waktu kapan saja baik malam maupun siang.” (HR. Para pemilik
kitab Sunan, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi)
Pendapat
para fuqaha (Ahli Fiqh) tentang shalat ketika matahari baru terbit, ketika
matahari mau tenggelam, dan ketika matahari berada di tengah langit
Ulama madzhab
Hanafi berpendapat tidak sahnya shalat secara mutlak pada waktu-waktu tersebut
baik shalat fardhu atau wajib maupun sunah, baik sifatnya qadha maupun adaa’
(bukan qadha). Namun mereka mengecualikan untuk (shalat) Ashar dan shalat
Jenazah, jika ternyata bertepatan pada waktu-waktu tersebut, maka boleh
dilakukan tanpa makruh, demikian pula sujud tilawah; jika dibacakan
ayat-ayatnya pada waktu-waktu tersebut, dipersilahkan melakukan sujud.
Adapun Abu Yusuf
mengecualikan (membolehkan) melakukan shalat sunah pada hari Jum’at meskipun matahari
berada di tengah langit. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i berpendapat, makruhnya
shalat sunah yang tidak memiliki sebab pada waktu-waktu tersebut. Sedangkan
shalat fardhu secara mutlak, shalat sunah yang memiliki sebab, shalat sunah
ketika matahari berada di tengah langit pada hari Jum’at, shalat sunah di tanah
haram Mekkah. Ini semua mubah tanpa makruh.
Adapun ulama
madzhab Maliki, maka mereka berpendapat haramnya shalat sunah ketika matahari
terbit dan tenggelam meskipun mempunyai sebab, demikian pula shalat sunah yang
dinadzarkan, sujud tilawah, shalat jenazah kecuali jika dikhawatirkan
jenazahnya sudah berubah maka boleh. Dan mereka membolehkan shalat yang fardhu
‘ain baik yang adaa’ (bukan qadha) maupun qadha’ pada dua waktu
itu, sebagaimana mereka membolehkan shalat secara mutlak baik fardhu maupun
sunah ketika matahari berada di tengah langit.
Al Baji dalam Syarh
Muwaththa berkata, “Dalam Al Mabsuth disebutkan, dari Ibnu Wahb,
bahwa Malik pernah ditanya tentang shalat di tengah hari, maka ia menjawab,
“Saya mendapatkan orang-orang melakukan shalat pada hari Jum’at di tengah hari.
Memang ada hadits-hadits yang melarang shalat ketika itu (matahari di tengah
langit), namun aku tidak melarangnya karena aku melihat orang-orang (para
sahabat) melakukannya, namun aku tidak menyukainya karena adanya larangan.”
Adapun ulama
madzhab Hanbali, maka mereka berpendapat tidak sahnya shalat sunah secara
mutlak pada waktu yang tiga tersebut baik ada sebabnya maupun tidak, baik di
Mekkah maupun di luar Mekkah, baik pada hari Jum’at maupun pada hari selainnya
selain Tahiyyatul Masjid pada hari Jum’at. Mereka membolehkannya tanpa
memakruhkannya baik ketika matahari di tengah-tengah maupun ketika khatib
sedang berkhutbah, namun menurut mereka haram melakukan shalat Jenazah pada
waktu-waktu itu kecuali jika dikhawatirkan jasadnya berubah, maka boleh tanpa
makruh. Mereka juga membolehkan mengqadha shalat yang terlewat, shalat yang
dinadzarkan, dua rakaat thawaf meskipun sunah pada tiga waktu ini.
Penyusun Fiqhussunnah
berkata, “Kami sebutan pendapat para imam di sini karena kuatnya dalil mereka
masing-masing.” Wallahu a’lam.
Shalat
sunah setelah terbit fajar dan sebelum ditunaikan shalat Subuh
Dari Yasar maula
Ibnu Umar, ia berkata, “Ibnu Umar pernah melihatku shalat setelah terbit fajar,
maka ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
keluar menemui kami ketika kami melakukan shalat di waktu ini, lalu Beliau
bersabda, “Hendaknya yang hadir menyampaikan yang tidak hadir, yaitu tidak ada
shalat setelah (tiba) Subuh selain dua rakaat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits ini
meskipun dhaif namun memiliki jalur-jalur yang satu sama lain saling
menguatkan, sehingga bisa dipakai hujjah tentang makruhnya melakukan shalat
sunah setelah terbit fajar melebihi dua rakaat. Demikianlah yang dinyatakan
Syaukani.
Al Hasan,
Syafi’i, dan Ibnu Hazm berpendapat bolehnya melakukan shalat sunah secara
mutlak tanpa makruh sama sekali. Namun Malik membatasi hanya bagi orang yang
terlewatkan shalat malam karena udzur, lalu ia menyebutkan alasannya, yaitu
sampai berita kepadanya, bahwa Abdullah bin Abbas, Al Qasim bin Muhammad,
Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah melakukan shaat witir setelah terbit fajar, dan
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku tidak peduli untuk tetap shalat witir
meskipun shalat Subuh telah ditegakkan.”
Dari Yahya bin
Sa’id ia berkata, “Ubadah bin Ash Shamit pernah mengimami suatu kaum, lalu
suatu hari ia keluar untuk shalat Subuh, kemudian muazin melakukan iqamat
shalat Subuh, lalu Ubadah menyuruhnya berhenti sampai ia melakukan shalat
witir, kemudian ia shalat Subuh mengimami mereka.”
Dari Sa’id bin
Jubair, bahwa Ibnu Abbas pernah tidur lalu bangun, kemudian ia berkata kepada
pembantunya, “Lihatlah apa yang dilakukan orang-orang,” ketika itu matanya
telah buta, lalu pembantunya pergi kemudian kembali dan berkata, “Orang-orang
telah selesai shalat Subuh,” maka Ibnu Abbas bangun lalu berwitir kemudian
melakukan shalat Subuh.
Melakukan
shalat sunah ketika iqamat telah dikumandangkan
Ketika iqamat
telah ditegakkan, maka makruh hukumnya menyibukkan diri dengan shalat sunah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
«إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ
إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ»
“Apabila iqamat
sudah dikumandangkan, maka tidak ada lagi shalat selain shalat fardhu.” (HR.
Ahmad, Muslim, dan para pemilik kitab Sunan)
Dari Abdullah
bin Sirjis, ia berkata, “Ada seorang yang masuk ke masjid sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Subuh, lalu ia shalat dulu dua
rakaat di pojok masjid kemudian masuk shalat bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan
salam, maka Beliau bersabda, “Wahai fulan! Shalat (Subuh) mana yang kamu
anggap? Shalatmu ketika sendiri atau shalatmu ketika bersama kami?” (HR.
Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Pengingkaran
yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa menyuruh
orang itu mengulangi shalatnya menunjukkan sahnya shalat tersebut meskipun
makruh. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku pernah shalat, namun muazin sudah
mulai iqamat, maka Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarikku dan bersabda,
“Apakah kamu shalat Subuh empat rakaat?” (HR. Baihaqi, Thabrani, Abu Dawud Ath
Thayalisi, Abu Ya’la, dan Hakim ia berkata, “Hadits tersebut sesuai syarat
Bukhari dan Muslim.”)
Dari Abu Musa Al
Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melihat seorang shalat (sunah) dua rakaat Subuh ketika muazin sudah
iqamat, maka Beliau memegang pundaknya dan bersabda, “Bukankah shalat ini
sebelum dilakukan ini (iqamat)?” (HR. Thabrani, Al Iraqi berkata, “Isnadnya
jayyid.”)
Abu Bakr Al
Jazairiy berkata, “Tidak boleh memulai melakukan shalat sunah ketika shalat
fardhu telah diiqamatkan. Jika ternyata sudah iqamat, namun ia sedang melakukan
shalat sunah, maka hendaknya ia putuskan jika rakaatnya belum sampai bangun
dari ruku. Jika sudah, maka ia sempurnakan secara ringan.” (Minhajul Muslim
hal. 185)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, wa akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil
’alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhussunnah (S. Sabiq), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al
Jaza’iriy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Imam Nawawi
berkata, “Setan mendekatkan kepalanya kepada matahari pada waktu-waktu itu agar
orang-orang kafir yang bersujud kepada matahari seakan seperti bersujud
kepadanya dalam gambaran. Ketika itulah, setan dan para pengikutnya tampak
mempunyai kekuatan dan mampu mengelabui orang-orang yang shalat dalam
shalatnya, maka dimakruhkan shalat pada saat ini untuk menjaga shalat itu
sebagaimana dimakruhkan shalat di tempat-tempat yang ditempati setan.”
0 komentar:
Posting Komentar