بسم
الله الرحمن الرحيم
Belajar Mudah Ilmu Tauhid (12)
(Thiyarah, Tanjim, dan Istisqa’ bil Anwa)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang Thiyarah, Tanjim, dan
Istisqa’ bil Anwa’ yang kami terjemahkan dari kitab At Tauhid Al
Muyassar karya Syaikh Abdullah bin Ahmad Al Huwail; semoga Allah menjadikan
penerjemahan kitab tersebut ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
KAJIAN TENTANG THIYARAH
Ta’rif (definisi) Thiyarah
Thiyarah secara bahasa diambil dari
kata tathayyur yang artinya merasa optimis atau pesimis terhadap
sesuatu. Adapun secara istilah, thiyarah/tathayyur adalah merasa sial
karena sesuatu yang dilihatnya atau sesuatu yang didengarnya atau sesuatu yang
diketahuinya.
Hukum Tathayyur
Tathayyur dapat menafikan tauhid.
Hal ini dipandang dari dua sisi, yaitu:
1. Orang yang
bertathayyur memutuskan tawakkalnya kepada Allah dan bergantung kepada selain
Allah.
2. Sikap Tathayyur
merupakan bentuk bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya, bahkan
hanya sekedar bayangan dan khayalan.
Dalil terlarangnya Tathayyur
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ
عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (QS.
Al A’raaf: 131)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ عَدْوَى وَلاَ
طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular sendiri,
tidak ada kesialan, tidak ada burung hantu yang membawa sial, dan tidak ada
bulan Shafar yang membawa sial.” (Muttafaq ‘alaih)
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyarah itu syirk.” (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi)
Keadaan orang yang bertathayyur
Pelaku Tathayyur tidak lepas dari
dua keadaan, yaitu: (1) Dia tertahan dari melanjutkan keinginannya, mengikuti
thiyarahnya itu, dan tidak jadi berbuat. Ini merupakan bentuk tathayyur yang
paling parah. (2) Dia lanjutkan keinginannya, akan tetapi dalam hatinya ada
perasaan cemas, gelisah, dan rasa kekhawatiran tertimpa tathayyurnya itu. Ini
termasuk tathayyur, namun lebih ringan daripada yang pertama.
Kedua hal ini mengurangi tauhid
seseorang dan merugikan seorang hamba.
Obat agar tidak tertimpa perasaan thiyarah
dalam hatinya
Yaitu seseorang berkata,
اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي
بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ
“Ya Allah, tidak ada yang dapat
mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang dapat menolak
keburukan selain Engkau, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dengan
pertolongan-Mu.” (HR. Abu Dawud)
اللهُمَّ لَا خَيْرَ
إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan selain
kebaikan-Mu, dan tidak ada kesialan kecuali yang Engkau tetapkan, dan tidak ada
Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al
Albani)
Kemudian ia melakukan hal-hal
berikut,
1. Mengetahui
bahaya thiyarah.
2. Melawan
jiwanya.
3. Beriman
kepada qadha Allah dan qadar-Nya.
4. Bersangka
baik kepada Allah.
5. Meminta
pilihan kepada Allah.
Batasan thiyarah yang terlarang
Beliau bersabda,
إِنَّمَا الطِّيَرَةُ مَا
أَمْضَاكَ، أَوْ رَدَّكَ
“Thiyarah itu adalah sesuatu yang
membuatmu melanjutkan keinginan atau menolaknya.” (HR. Ahmad, (namun hadits ini
dinyatakan isnadnya dha’if oleh pentahqiq Musnad Ahmad-pent)).
Al Fa’lul Hasan (Optimis atau merasa
bernasib baik)
Maksudnya adalah kalimat yang baik
yang didengar seseorang, lalu ia merasa senang terhadapnya. Contoh: seseorang
ingin safar, lalu ia mendengar seseorang berkata, “Wahai orang yang selamat,”
maka ia merasa senang dengan kalimat tersebut.
Hal ini hukumnya boleh. Dalilnya
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ
“Dan
aku senang dengan fa’l (merasa bernasib baik dengan sesuatu).” (Muttafaq
‘alaih)
Perbedaan antara Thiyarah dan Fa’l
Thiyarah adalah bentuk bersangka buruk
kepada Allah dan mengalihkan salah satu hak-Nya kepada selain-Nya, serta
bergantungnya hati kepada makhluk yang tidak bisa memberikan manfaat dan
menimpakan bahaya.
Adapun Fa’l, maka ia
merupakan bentuk bersangka baik kepada Allah, dan tidak menolak keinginan.
KAJIAN TENTANG TANJIM
Ta’rif (definisi) Tanjim
Tanjim secara bahasa adalah bentuk masdar
(kata kerja yang dibendakan) dari kata najjama yang artinya mempelajari
ilmu nujum atau meyakini adanya pengaruh pada bintang.
Macam-macam ilmu nujum
Ilmu nujum terbagi dua, yaitu:
1. Ilmu Ahkam
dan Ta’tsir (terkait dengan hukum dan pengaruh)
2. Ilmu Asbab
dan Taisir (terkait dengan sebab dan perjalanan bintang)
Ilmu Ahkam dan Ta’tsir terbagi tiga, yaitu:
Pertama, meyakini bahwa bintang-bintang sebagai
pelaku dan dapat memberikan pengaruh –yakni yang menciptakan berbagai kejadian
di muka bumi dan menciptakan berbagai keburukan-. Ini adalah syirk akbar.
Kedua, menjadikannya sebagai sebab untuk
mengaku mengetahui yang gaib. Hal ini termasuk kufur akbar.
Ketiga, meyakini bahwa bintang merupakan
sebab terjadinya kebaikan dan keburukan, namun yang melakukan adalah Allah. Ini
juga haram dan termasuk syirk asghar (kecil).
Ilmu Asbab dan Taisir terbagi dua, yaitu:
Pertama, menjadikan perjalanan bintang
untuk maslahat agama. Hal ini diharapkan sekali. Contoh: memanfaatkan
bintang-bintang untuk mengetahui arah kiblat.
Kedua,
memanfaatkan bintang untuk maslahat agama. Hal ini terbagi dua: (1)
memanfaatkannya sebagai petunjuk arah. Hal ini adalah boleh. (2)
memanfaatkannya untuk mengetahui musim-musim. Hal ini menurut pendapat yang
shahih adalah tidak makruh.
Faedah:
Hikmah penciptaan bintang
Hikmah diciptakannya bintang ada
tiga, yaitu:
1. Penghias
langit.
2. Pelempar
setan-setan.
3. Tanda
penunjuk arah.
KAJIAN TENTANG ISTISQA’ BIL ANWA’
Maksud Istisqa’ bil Anwa
Istisqa maksudnya adalah meminta
turunnya hujan.
Anwaa’ adalah bentuk jamak dari kata nau’,
yaitu tempat posisi bintang-bintang yang berjumlah 28 posisi.
Adapun maksud Istisqa’ bil Anwa adalah
menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang.
Macam-macam Istisqa’ bil Anwa’
Istisqa’ bil Anwa’ ada tiga macam, yaitu:
Pertama, sebagai syirk akbar, yaitu dalam
dua keadaan berikut:
1. Berdoa kepada
bintang agar menurunkan hujan kepadanya. Misalnya seseorang berkata, “Wahai
bintang anu! Berilah kami hujan. Wahai bintang anu! Tolonglah kami, dsb.”
2. Menisbatkan
turunnya hujan kepada bintang-bintang tersebut dengan menganggap bahwa
bintang-bintang itulah yang melakukannya sendiri bukan Allah meskipun ia tidak
berdoa kepada bintang-bintang itu.
Kedua, sebagai syirk asghar (kecil),
yaitu ketika menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab saja.
Ketiga, hukumnya boleh, yaitu ketika
menjadikan bintang-bintang itu sekedar tanda dan penunjuk; bukan sebagai sebab
apalagi menganggapnya memiliki pengaruh sendiri.
Dalil haramnya Istisqa’ bil Anwa’
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ
أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ
“Kamu menjadikan rezki (yang Allah
berikan) dengan mendustakan Allah.”
(QS. Al Waqi’ah: 82)
Mujahid berkata, “Maksudnya adalah
pernyataan mereka tentang bintang, “Kita dihujani karena bintang ini dan
bintang itu.”
Demikian pula berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tahukah kalian apa yang difirmankan
Tuhan kalian?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Beliau bersabda, “Dia berfirman,
“Pada pagi hari ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada
yang kufur. Adapun orang yang berkata, “Kita mendapatkan hujan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya,” maka orang itu beriman kepada-Ku dan kufur kepada
bintang, sedangkan orang yang berkata, “Kita mendapatkan hujan karena bintang
ini dan bintang itu,” maka orang ini kufur kepada-Ku dan beriman kepada
bintang.” (Muttafaq ‘alaih)
Bersambung...
Wallahu
a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Diterjemahkan dari
kitab At Tauhid Al Muyassar oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar