Maqashid Asy Syari’ah (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Maqashid Asy Syari’ah (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang Maqashid Asy Syari’ah (Hikmah dan Tujuan Syariat) yang banyak merujuk kepada kitab Al Wajiz fii Ushulil Fiqh karya Dr. Abdul Karim Zaidan, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pelengkap Maslahat
Masing-masing masalah Dharuri, Hajiyat, dan Tahsiniyyat ada pelengkap yang dapat membawa kepada terwujudnya dan terpeliharanya maslahat secara maksimal.
Dalam masalaht Dharuri, disyariatkan azan dan shalat  berjamaah untuk menyempurnakan shalat fardhu. Demikian pula diwajibkan adanya kesamaan dalam qishas antara pelaku jinayat dengan yang dijinayati agar tercapai maksudnya yaitu membuat jera dan menutup kesempatan muncul lagi permusuhan dan kebencian.
Ketika disyariatkan menikah untuk mewujudkan keturunan, maka disyariatkan sekufu’ (sebanding) antara kedua suami-istri agar tetap baik pergaulan antara suami dan istri serta tetap langgengnya kemesraan antara keduanya. Dan sebagaimana disyariatkan pula bolehnya melihat wanita yang dilamar. Demikian ketika zina diharamkan, maka diharamkan pula segala yang dapat mengarah kepadanya, seperti berduaan dengan wanita, melihat dengan syahwat, bersafarnya wanita sendiri tanpa mahram.
Untuk menjaga akal, maka diharamkan meminum khamr serta menghukum peminumnya, demikian pula diharamkan meminumnya meskipun sedikit.
Untuk menjaga harta, maka disyariatkan berbagai bentuk muamalah dan disyariatkan pula yang menyempurnakannya untuk menjaga maksud daripadanya, sehingga dilarang gharar, menjual barang yang tidak ada, dan majhulnya barang yang dijual, dsb.
Dalam masalah Hajiyat, setelah disyariatkan berbagai muamalah untuk menghindarkan kesulitan dari manusia, maka disyariatkan syarat-syarat yang boleh, dilarang syarat yang terlarang yang dapat menimbulkan pertengkaran di antara manusia. Demikian pula ketika disyariatkan diyat kepada pihak keluarga untuk meringankan pembunuh yang tidak sengaja, disyariatkannya pula pembayarannya secara cicilan, tertuju kepada yang mampu membayarnya dan dengan ukuran yang agak ringan agar mudah dibayarkan.
Sedangkan untuk masalah Tahsiniyyat, ketika dianjurkan beramal sunat dalam sedekah, maka disyariatkan memilih harta pertengahan yang akan diinfakkan.
Dalam bagian ini juga perlu diketahui, bahwa maslahat Hajiyat dianggap sebagai pelengkap Dharuri, sedangkan Tahsiniyyat sebagai pelengkap Hajiyat.
Tingkatan maslahat dalam hal urgensinya
Maslahat yang disebutkan di atas tidaklah sama urgensinya. Yang pertama berhak diperhatikan adalah maslahat yang Dharuri, lalu yang Hajiyat, kemudian yang Tahsiniyyat. Oleh karena itu, syariat yang pertama lebih unggul daripada yang kedua dan seterusnya, dan hal ini menghendaki agar memperhatikannya sesuai urutan ini, yakni jangan sampai memperhatikan Hajiyat jika sampai merusak yang Dharuri, dan jangan sampai memperhatikan yang Tahsiniyyat jika sampai Dharuri dan Hajiyyat terlantarkan, dan tidak boleh memperhatikan pelengkap apabila membuat pokoknya menjadi rusak dan terbengkalai.
Atas dasar prinsip ini, maka dibolehkan membuka aurat meskipun menutupnya adalah diperintahkan jika dibutuhkan pemeriksaan dan pengobatan sesuai kebutuhan, karena menutup aurat adalah tahsini, sedangkan pengobatan adalah untuk menjaga kehidupan jiwa, dan ia termasuk dharuri. Demikian pula boleh memakan kotoran seperti bangkai untuk menjaga jiwa, karena menjaganya adalah dharuri. Contoh lainnya adalah Ibadah, ia tetap wajib meskipun terdapat kesulitan di dalamnya –namun disesuaikan kemampuan-, karena mewujudkannya adalah penting untuk menjaga agama, sedangkan menjaga agama termasuk maslahat Dharuri.
Oleh karena Tahsiniyat atau Hajiyat bisa tidak diperhatikan jika sampai mengabaikan yang Dharuri, maka demikian pula Dharuri bisa tidak diperhatikan jika kalah pentingnya oleh sesuatu dari lebih Dharuri lagi atau Dharuri yang lebih penting lagi. Sehingga tidak boleh duduk meninggalkan jihad karena adanya sifat pengecut takut terhadap jiwa, karena duduk dalam hal ini menghilangkan maksud menjaga agama, menolak serangan, dan menjaga negeri Islam. Perkara dharuri ini lebih penting daripada menjaga jiwa meskipun keduanya dharuri. Demikian pula dibolehkan meminum khamar jika menjadi cara satu-satunya untuk menjaga jiwa agar tidak mati, karena menjaganya lebih penting daripada menjaga akal.
Beberapa prinsip dan kaidah yang muncul dari Maqashid Asy Syari’ah
Atas dasar maslahat Dharuri, Hajiyyat dan Tahsiniyyat, maka muncul sejumlah prinsip umum yang digali para fuqaha’ (Ahli Fiqh), di mana mereka menimbang masalah dengannya, dan mereka membuat berbagai prinsip cabang daripadanya. Di antara prinsip dan kaidah umum tersebut adalah:
Pertama, Adh Dhararu yuzaal (artinya: Bahaya harus disingkirkan).
Atas dasar ini, maka dapat diketahui  tetapnya hak syuf’ah bagi orang yang memiliki hak tersebut, wajibnya menanggung barang-barang yang dibinasakan, adanya khiyar (pengembalian barang) ketika ada cacat, melakukan berbagai pencegahan penyakit ketika tersebarnya wabah penyakit.
Kedua, Yud-fa’udh dhararul ‘aam bitahammulidh dhararil khaash (artinya: Ditolak bahaya yang merata dengan menanggung bahaya yang khusus)
Dari kaidah ini dapat diketahui disyariatkannya qishas terhadap pembunuh, memotong tangan pencuri, merobohkan dinding yang miring di tengah jalan, melarang dokter yang jahil, dan mufti yang tidak punya malu.
Ketiga, Yud-fa’u asyaddud dharurain bitahammuli akhaffihima (artinya: Ditolak bahaya yang paling berat dengan memikul bahaya yang paling ringan).
Dari kaidah ini dapat diketahui pensyariatan berbagai masalah furu’, misalnya menalak istri karena adanya bahaya, atau kesulitan menafkahi, atau karena ketiadaan suami. Demikian pula bolehnya shalat tanpa bersuci ketika tidak mampu melakukannya atau shalat tanpa menutupi aurat ketika sulit menutupnya, dsb.
Keempat, dar’ul mafaasid aula min jalbil mashaalih (artinya: menolak mafsadat lebih utama daripada menarik maslahat).
Di masalah yang dihukumi dengan kaidah ini adalah dicegahnya pemiliki dari bertindak dalam kepemilikannya jika sampai merugikan pihak yang lain, demikian pula melarang mengekspor barang ketika manusia membutuhkannya meskipun bagi sebagian orang merasakan kerugian karena kekurang laba yang diperoleh.
Kelima, adh dharuraatu tubiihul mahzhuuraat (artinya: Darurat membolehkan yang dilarang).
Di antara berbagai masalah yang dihukumi dengan kaidah ini adalah boleh mengkonsumsi sesuatu yang haram ketika darurat dan membatasi sebagian yang mubah.
Keenam, adh dharuuraatu tuqaddaru biqadrihaa (artinya: Darurat disesuaikan dengan ukurannya).
Di antara masalah yang dihukumi dengan kaidah ini adalah tidak boleh mengkonsumsi yang haram ketika darurat kecuali seukuran yang dapat menolak darurat, dan sesuatu yang boleh ketika ada uzur menjadi batal (haram) ketika hilangnya uzur.
Ketujuh, al masyaqqah tajlibut taisir (artinya: kesulitan mendatangkan kemudahan).
Di antara masalah yang dihukumi dengan kaidah ini adalah mensyariatkan rukhshah (berbagai keringanan), membatalkan nikah apabila istri mendapatkan suaminya cacat yang tidak diketahuinya ketika akad, bolehnya meminjam, hiwalah (pemindahan hutang), dan hajr.
Kedelapan, al haraju marfu’ (artinya: kesulitan itu harus diangkat).
Di antara masalah yang dihukumi dengan kaidah ini adalah menerima persaksian wanita dalam hal yang tidak diketahui kaum pria, dan mencukupkan diri dengan perkiraan yang kuat (tidak pasti) dalam menerima persaksian.
Kesembilan, Laa yajuuzur tikaabu maa yasyuqqu ‘alan nafs (artinya: tidak boleh melakukan sesuatu yang memberatkan jiwa).
Di antara masalah yang dihukumi dengan kaidah ini adalah dilarangnya qiyamullail sepanjang malam, menyambung puasa (wishal), melakukan kerahiban seperti enggan menikah, dsb.
Khatimah
Sebagai penutup, berikut kami sebutkan secara ringkas Maqashid Asy Syari’ah (hikmah dan tujuan syariat) yang banyak kami ambil dari kitab Muqaddimah Fii Ilmi Maqashid Asy Syari’ah karya Sa’ad Asy Syitsri dengan perbedaan urutan dan adanya pembahan dan pengurangan dari kami.
1.     Syariat diadakan agar terwujud peribadatan kepada Allah saja; tidak kepada selain-Nya.
2.     Syariat diadakan agar manusia tunduk kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
3.     Syariat diadakan agar terwujud maslahat hamba baik di dunia maupun di akhirat.
4.     Syariat Islam adalah kulliyyah (menyeluruh) berlaku untuk semua manusia; termasuk jin.
5.     Maqashid Asy Syari’ah tidak berubah sepanjang zaman.
6.     Syariat diadakan agar kehidupan dunia tegak untuk kehidupan akhirat.
7.     Syariat diadakan agar syariat Islam terwujud, tidak ditelantarkan; apalagi dirubah.
8.     Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah memperhatikan masalah yang bersifat juz’iyyah (kecil) agar terjaga perkara yang kulliyyah (besar).
9.     Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah tidak mensyariatkan amalan yang tidak sanggup dipikul manusia.
10. Jika ada keberatan dalam sebagian beban syariat, maka maksudnya adalah untuk terwujud maslahat yang lebih besar lagi.
11. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah bersikap tengah-tengah antara ghuluw (berlebihan) dan meremehkan.
12. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah mengeluarkan manusia dari mengikuti hawa nafsunya dan setan, dan beralih menaati Allah Ar Rahman.
13. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah membiasakan seseorang di atas amal saleh meskipun sedikit.
14. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah kembali kepada nash-nash syar’i (Al Qur’an dan As Sunnah) ketika terjadi perselisihan.
15. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah membuktikan betapa besarnya nikmat Allah kepada manusia.
16. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah menerangkan bagaimana menggunakan nikmat-nikmat Allah itu dan bagaimana mensyukurinya.
17. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah tidak memperhatikan amal yang tujuannya tidak selaras dengan tujuan syariat dan prakteknya tidak sesuai syariat.
18. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah mengharamkan berbagai celah untuk menghalalkan yang haram.
19. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah beramal dengan yang pasti dan berdasarkan perkiraan yang kuat; bukan dengan wahm (perkiraan keliru).
20. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah merubah keadaan yang rusak menjadi baik.
21. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah mengaitkan hukum dengan makna (kandungan) dan sifat; bukan dengan nama.
22. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah menutup celah kepada yang diharamkan.
23. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah bertindak hikmah (bijaksana), sehingga menyikapi manusia sesuai keadaannya.
24. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah mencegah manusia bertindak aniaya terhadap orang lain.
25. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah berbicara dengan manusia menggunakan kalimat yang menyeluruh yang mencakup berbagai masalah yang juz’i (parsial).
26. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah menerangkan lebih lanjut (secara rinci) masalah yang kulliyyah (menyeluruh) agar manusia bisa menghukumi masalah lain seperti itu.
27. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah menjadikan umat disegani, berwibawa, unggul, kuat, dan berada di atas umat-umat yang lain.
28. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah mewujudkan keamanan pada umat ini.
29. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah memberikan hak kepada para pemiliknya dan menyegerakannya.
30. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah memperhatikan wasilah atau sarana berdasarkan tujuannya.
31. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah membersihkan jiwa dari akhlak tercela.
32. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah memperhatikan jamaah.
33. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah menghidupkan perasaan butuhnya manusia kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
34. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah bahwa balasan sesuai dengan amalan yang dilakukan.
35. Termasuk Maqashid Asy Syari’ah adalah menjalin komunikasi yang baik antara hamba dengan Tuhannya.
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’:Ushulul Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Adh Dharurat Al Khams (Dr. Shalih Al Fauzan), Muqaddimah Fii Ilmi Maqashidisy Syari’ah (Sa’ad bin Nashir Asy Syitsri), http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=49522 ,  http://www.alfawzan.af.org.sa/node/2294 , http://www.islamtoday.net/toislam/5/art-104-4.htm

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger