بسم الله الرحمن الرحيم
“Nafkah” Menurut Islam
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini kami sebutkan pembahasan
tentang menafkahi keluarga, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Ta’rif (definisi) Nafkah
Nafkah secara bahasa diambil dari kata infaq
yang secara asal artinya mengeluarkan dan menghabiskan. Dan istilah infak
tidaklah digunakan kecuali untuk kebaikan. Adapun secara syara’, infak adalah
mencukupi orang yang ditanggungnya secara ma’ruf (wajar) baik dalam hal pangan,
pakaian, maupun tempat tinggal, dan hal-hal lain yang mengiringinya.
Macam-Macam Nafkah
1.
Nafkah
seseorang untuk dirinya sendiri.
2.
Nafkah
ushul (orang tua) kepada furu’ (anak).
3.
Nafkah
furu’ kepada ushul.
4.
Nafkah
suami kepada istri.
Penjelasan
Pertama,
seorang wajib menafkahi dirinya sendiri jika mampu. Hal ini berdasarkan hadits
Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang dari Bani Udzrah yang
memerdekakan budaknya secara mudabbar (jika tuannya wafat), maka sampailah
berita itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah kamu punya harta lagi
selain budak itu?” ia menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menawarkan kepada sebagian sahabat, “Siapa yang mau membeli budak ini
dariku?” Lalu Nu’aim bin Abdullah Al ‘Adawi membelinya dengan harga 800 dirham,
kemudian uang itu diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu Beliau memberikan uang itu kepada pemilik budak itu, dan bersabda,
«ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا،
فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي
قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا»
“Mulailah menafkahi dirimu. Jika ada lebih,
maka untuk keluargamu, jika ada lebih maka untuk kerabatmu, dan jika ada lebih,
maka selanjutnya yang ini dan yang itu.” (HR. Muslim) Maksudnya yang ada di
hadapanmu, di kanan, dan di kirimu.
Kedua,
seorang ayah dan seterusnya ke atas (kakek) wajib menafkahi anaknya dan seterusnya
ke bawah (cucu). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.” (QS.
Al Baqarah: 233)
Allah mewajibkan ayah memberi nafkah karena
anaknya yang disusui.
Hal ini juga berdasarkan hadits Aisyah
radhiyallahu ‘anha, bahwa Hind binti Utbah berkata kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan
adalah seorang yang bakhil; ia tidak memberiku harta yang cukup bagi diriku dan
anakku kecuali jika aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya,” maka Beliau
bersabda,
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلِدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu
secara ma’ruf (wajar).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga,
seorang anak wajib menafkahi orang tuanya. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan bergaullah terhadap
keduanya dengan cara yang baik.” (QS. Luqman: 15)
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua.” (QS. Al Isra’: 23)
Termasuk berbuat baik adalah berinfak
kepada kedua orang tua, bahkan termasuk perbuatan baik paling utama terhadap
orang tua. Hal ini juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ
أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
“Sesungguhnya makanan yang terbaik yang
kalian makan adalah dari usahamu, dan sesungguhnya anak-anakmu termasuk
usahamu.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al
Albani)
Demikian pula berdasarkan hadits Amr bin
‘Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ، إِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ
كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلَادِكُمْ
“Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.
Sesungguhnya anak-anakmu termasuk usahamu yang baik, maka makanlah dari hasil
usaha anakmu.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al
Albani)
Keempat,
seorang suami wajib menafkahi istrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.
An Nisaa’: 34)
Demikian pula berdasarkan
hadits Jabir yang menyebutkan sifat haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dimana Beliau bersabda,
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan mereka (kaum wanita)
berhak mendapatkan rezeki dan pakaian secara wajar.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, suami wajib
menafkahi istrinya, baik berupa pangan, tempat tinggal, maupun pakaian yang layak baginya.
Nafkah ini berhak diterima
istri selama ia masih dalam ikatan perkawinan dengannya, demikian pula bagi
wanita yang ditalak raj’i selama masih dalam masa iddah. Adapun bagi wanita
yang ditalak ba’in, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal,
kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka ia berhak mendapatkan nafkah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. Ath
Thalaq: 6)
Kapankah nafkah
gugur?
Nafkah menjadi gugur dalam
beberapa keadaan berikut:
1. Ketika si istri durhaka,
atau tidak memberikan kesempatan kepada suami untuk menggaulinya.
2. Bagi wanita yang ditalak
raj’i ketika habis masa iddahnya.
3. Bagi wanita yang ditalak dalam keadaan hamil
ketika telah melahirkan. Hanyasaja, jika si wanita ini menyusui anaknya, maka
ia berhak mendapatkan upah karena menyusuinya (lihat QS. Ath Thalaq: 6).
4. Bagi orang tua yang sudah
mampu, atau anaknya tidak sanggup menafkahinya karena miskin, dimana ia tidak
memiliki kelebihan makanan untuk hari itu.
5. Bagi anak laki-laki
ketika telah baligh atau anak perempuan ketika telah menikah. Kecuali, jika
anaknya yang laki-laki sudah baligh dalam keadaan terkena penyakit kronis atau
kondisinya gila misalnya, maka bagi ayah masih wajib menafkahinya.
Catatan: Seorang muslim wajib menyambung tali silaturrahim, yaitu kepada
kerabatnya baik dari pihak ayah maupun ibu. Oleh karena itu, jika ada
kerabatnya butuh nafkah, maka hendaknya ia nafkahi jika ia memiliki kelebihan
rezeki, dan hendaknya ia memulai dari kerabatnya yang paling dekat, dst. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَدُ الْمُعْطِي الْعُلْيَا، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ: أُمَّكَ،
وَأَبَاكَ، وَأُخْتَكَ، وَأَخَاكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ، أَدْنَاكَ
“Tangan pemberi berada di
atas. Mulailah dengan orang yang engkau tanggung, yaitu kepada ibumu, ayahmu,
saudarimu, saudaramu, dan yang terdekat denganmu dan seterusnya.” (HR. Nasa’i,
dishahihkan oleh Al Albani)
Menafkahi budak
Wajib bagi seorang tuan
menafkahi budaknya berupa pangan, pakaian, dan tempat tinggal secara ma’ruf
(wajar). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ
“Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.“ (QS. Al Ahzaab: 50)
Demikian pula berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ
“Budak berhak mendapatkan
makanan dan pakaian.” (HR. Muslim)
Dalam bermu’amalah dengan
budak, seorang majikan harus bersikap lembut dan tidak membebani dengan beban
berat di luar kesanggupan mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ
فَأَعِينُوهُمْ
“Dan janganlah kamu bebani
mereka di luar kesanggupannya. Jika kamu bebani mereka, maka bantulah
mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Jika budak meminta nikah,
maka hendaknya tuannya menikahkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ
“Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An Nuur: 32)
Di samping itu, agar ia
tidak terjatuh ke dalam perbuatan keji (zina) jika tidak dinikahkan.
Dan jika budak perempuan
meminta nikah, maka tuannya memberikan pilihan kepadanya antara digauli, atau
dinikahkan, atau dijual untuk menghilangkan madharat dari dirinya.
Menafkahi hewan
Bagi pemilik hewan wajib
memberinya makan, minum, mengurusnya, dan memperhatikannya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«عُذِّبَتِ
امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ، لَا
هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا، إِذْ حَبَسَتْهَا، وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ
مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ»
"Ada seorang wanita
yang disiksa karena seekor kucing yang ditahannya sampai mati, sehingga ia
masuk neraka karenanya. Ia tidak memberinya makan dan tidak memberinya minum
ketika mengurungnya. Ia juga tidak membiarkannya makan serangga bumi."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seorang tidak sanggup
menafkahi hewannya, maka ia dipaksa antara menjualnya, menyewa orang lain untuk
mengurusnya, atau menyembelihnya jika halal dimakan, karena jika tetap
dipeliharanya sedangkan ia tidak menafkahinya, maka sama saja ia menzaliminya,
sedangkan kezaliman wajib disingkirkan.
Wallahu a'lam, wa shallallahu
'alaa Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab
was Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al
Jaza’iriy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar