بسم الله الرحمن الرحيم
Adab
Terhadap Pemerintah (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan lanjutan tentang Adab Terhadap Pemerintah yang
kami simpulkan dari kitab Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah karya
Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah dan kitab lainnya, semoga
Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Adab
Terhadap Pemerintah
5.
Mencari udzur untuk
pemerintah.
Dahulu para ulama
berkata, “Jika urusan pemerintah kalian baik, maka perbanyaklah memuji Allah
Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya. Tetapi jika yang kalian dapatkan adalah hal yang
tidak kalian sukai, maka perhatikanlah hal yang membuat kalian berhak
mendapatkan hal itu, yaitu kesalahan dan dosa kalian. Carilah udzur pemerintah
karena banyaknya masalah baginya dan banyaknya beban pemerintahan yang harus
dia urusi, ia mengadakan pendekatan kepada musuh, membuat ridha para wali,
sedikitnya orang yang menasihati, banyaknya penyamaran dan banyaknya sikap
tamak.” (Sirajul Muluk karya Ath Thrthusyi hal. 43)
Syaikh Abdul Lathif
bin Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata, “Mereka yang terkena fitnah
(syubhat) tidak mengetahui, bahwa kebanyakan pemerintah Islam dari sejak zaman
Yazid bin Mu’awiyah –selain Umar bin Abdul Aziz dan beberapa pemimpin dari Bani
Umayyah yang dikehendaki Allah- sebenarnya
telah melakukan berbagai tindakan lancang, mengadakan masalah besar,
pemberontakan, dan pengrusakan di
tengah-tengah kaum muslimin. Meskipun demikian, perjalanan para ulama ternama
dan para pemimpin besar sangat maklum dan dikenal; mereka tidak mencabut
ketaatan dalam hal yang Allah perintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam berupa syariat Islam dan kewajiban-kewajiban agama.”
Contoh dalam hal
ini adalah di zaman pemerintahan Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafiy,
pemerintahannya cukup masyhur dipenuhi kezaliman dan kekejaman; bahkan sampai
mudah menumpahkan darah manusia dan melanggar hal-hal yang terhormat di sisi
Allah. Ia juga sampai membunuh para pemimpin umat, seperti Sa’id bin Jubair dan
mengepung Ibnuz Zubair padahal ia telah berlindung di tanah haram. Meskipun
begitu, Ibnu Umar dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang masih hidup di zaman Hajjaj tidak memberontak kepadanya dan tidak menolak
menaatinya dalam hal yang dapat menegakkan Islam dan menyempurnakan keimanan.
Demikian pula yang dilakukan para tabi’in pada zaman Al Hajjaj, seperti Ibnul
Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim At Taimiy, dan para pemimpin
umat lainnya yang sama dengan mereka; mereka tidak memberontak terhadap
pemerintah. Sikap seperti ini terus dilakukan oleh ulama dan para pemimpin umat
ini; mereka menyuruh manusia menaati Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta berjihad di jalan-Nya bersama pemerintah baik ia saleh maupun
zalim sebagaimana hal ini sudah masyhur dalam kitab-kitab Ushuluddin dan
Akidah.
Demikian pula pada
masa pemerintahan Abbasiyyah, dimana salah seorang pun dari Ahli Ilmu tidak ada
yang mendukung sikap mereka; mereka banyak melakukan pembunuhan, bahkan
membunuh banyak orang dari kalangan Bani Umayyah, baik pemerintahnya maupun
wakil-wakilnya, mereka juga membunuh Ibnu Hubairah gubernur Irak dan melakukan
kerusakan lainnya, tetapi jalan yang ditempuh para imam seperti Al Auza’i,
Malik, Az Zuhri, Al Laits bin Sa’ad, Atha bin Abi Rabaah terhadap para
pemerintah yang zalim itu tidaklah menyikapinya dengan melakukan pemberontakan.
Lihat pula generasi
kedua dari kalangan ulama, seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ismail, Hamd
bin Idris, Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih, dan saudara-saudara mereka,
padahal pemerintah di zaman mereka melakukan banyak kebid’ahan yang besar,
mengingkari sifat-sifat Allah, dan menyeru kepada hal terebut, bahkan para
ulama diuji ketika itu, di antara mereka ada yang dibunuh seperti Ahmad bin
Nashr, tetapi tidak diketahui adanya sikap memberontak dan mencabut ketaatan
dari para ulama itu. (Lihat Ad Durar As Sunniyyah Fil Ajwibah An
Najdiyyah 7/177-178).
Cara menasihati
Pemerintah
Sikap Ahlussunnah
wal Jama’ah terhadap pemerintah berada pada posisi tengah-tengah antara
Khawarij yang membolehkan memberontak kepada pemerintah ketika melakukan
kemungkaran, dan antara Rafidhah yang menganggap ma’shum pemerintah. Allah
Subhaanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada Ahlussunnah dengan tetap menyuruh
beramar ma’ruf dan bernahi munkar namun dengan cara yang baik, sebagaimana Allah
memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam menasihati dengan cara yang lembut kepada
Fir’aun (lihat QS. Thaahaa: 44).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً، وَلَكِنْ
لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ
قَدْ أَدَّي الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang
hendak menasihati pemerintah, maka jangan lakukan secara terang-terangan.
Tetapi, hendaknya ia pegang tangannya lalu berduaan dengannya. Jika ia
menerima, maka itulah (yang diharapkan). jika tidak, maka ia tekah menunaikan
kewajibannya.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan lighairih oleh Pentahqiq
Musnad Ahmad, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Zhilalul
Jannah fii Takhrijis Sunnah 2/521-522).
«مَنْ
أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ»
“Barang siapa yang
menghina pemerintah yang diberikan Allah di muka bumi, maka Allah akan
menghinakannya.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Syaikh Ibnu
Utsaimin berkata, “Jika membicarakan raja adalah ghibah, atau menasihatinya
secara terang-terangan, dan mengumumkan cacatnya termasuk menghinanya yang
Allah mengancam akan menghinakannya, maka tidak diragukan lagi perlunya
diperhatikan –yakni menasihati secara sembunyi-sembunyi dsb.- bagi orang yang
bisa menasihati mereka dari kalangan ulama yang biasa bergaul dengan mereka, dimana
para pemimpin biasa mengambil manfaat dari mereka; bukan selain mereka...dst.”
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya menyelisihi pemerintah dengan cara terang-terangan
yang bukan termasuk masalah dharuri dalam agama ini dan mengingkarinya dalam
beberapa pertemuan, di masjid-masjid, di surat kabar, tempat-tempat nasihat,
dan lain sebagainya bukan termasuk bagian nasihat sedikit pun. Oleh karena itu,
jangan kamu tertipu oleh orang yang melakukannya meskipun niatnya baik, karena
hal itu menyelisihi praktek kaum salafus shalih yang diikuti jejaknya, semoga
Allah memberimu petunjuk.” (Maqashidul Islam hal. 393).
Umar bin Khathab
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai rakyat! Kalian memiliki kewajiban, yaitu
menasihati secara rahasia dan membantu dalam hal yang baik....dst.”
(Diriwayatkan oleh Hanaad bin As Sirriy dalam Az Zuhd).
Ibnu Muflih dalam Al
Adab Asy Syar’iyyah berkata, “Dan tidak ada seorang yang mengingkari sikap
pemerintah kecuali dengan cara menasihati, menakut-nakuti dan memperingatkannya
terhadap akibat yang diperoleh di dunia dan di akhirat, karena itu wajib
hukumnya, dan diharamkan dengan cara selain ini. Demikianlah yang disebutkan Al
Qadhiy dan lainnya.” (Al Adabusy Syar’iyyah 1/195).
Ibnun Nuhhas dalam
kitabnya Tanbihul Ghafilin (hal. 64) berkata, “Hendaknya ia memilih
tempat tersembunyi dalam menasihati pemerintah daripada di hadapan banyak
manusia, bahkan disukai jika ia berbicara secara rahasia dan tersembunyi tanpa
ada orang yang ketiga.”
Sesungguhnya manhaj
Ahlussunnah adalah menyatukan manusia menaati pemerintah, berusaha menyebarkan
kasih sayang antara rakyat dengan pemerintah, bersabar atas sikap pemerintah,
mengingkari kemungkaran secara umum tanpa menentukan pelakunya, dan bersikap
bijaksana lainnya.
Syaikh Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf mengumumkan
aib pemerintah dan menyebutkannya di atas mimbar, karena yang demikian dapat
menimbulkan kekacauan, membuat manusia tidak mau mendengar dan taat kepada
pemerintah dalam hal yang ma’ruf, serta dapat membawa kepada sikap menyelami
hal yang membahayakan dan tidak bermanfaat. Cara yang diikuti di kalangan salaf
adalah melakukan nasihat antara dia dengan pemerintah, menuliskan surat
kepadanya, atau berkomunikasi dengan ulama yang dekat dengannya agar dapat
membimbingnya kepada kebaikan. Demikian pula mengingkari kemungkaran dengan
tanpa menyebutkan pelakunya, ia pun tetap mengingkari zina, khamr, dan riba,
tanpa menyebutkan pelakunya. Sudah cukup mengingkari kemaksiatan dan
memperingatkannya tanpa perlu menyebutkan bahwa si fulan yang melakukannya,
baik pemerintah maupun selainnya. Oleh karenanya, ketika terjadi fitnah pada
masa Utsman, maka sebagian manusia berkata kepada Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhu, “Mengapa engkau tidak mengingkari sikap Utsman?” Usamah berkata, “Apakah
aku akan mengingkarinya di hadapan manusia? Aku hanya mengingkarinya sebatas
antara aku dengannya, dan aku tidak akan membuka pintu keburukan di hadapan
manusia.” Tetapi ketika mereka membuka pintu keburukan di zaman Utsman
radhiyallahu ‘anhu, dan mengingkari Utsman secara terang-terangan, maka
sempurnalah fitnah, peperangan, dan kerusakan dimana manusia mengikutinya terus
sampai sekarang, sehingga terjadilah fitnah antara Mu’awiyah dengan Ali,
terbunuhnya Utsman dan Ali karena sebab-sebab itu, bahkan sampai terbunuh para
sahabat dalam jumlah besar dan lainnya karena sebab mengingkari secara
terang-terangan dan menyebutkan aib secara terang-terangan yang membuat manusia
membenci pemimpinnya dan sampai membunuhnya, kita memohon kepada Allah
pemeliharaan-Nya.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz pada bagian akhir risalah Huququr
Raa’i war ra’iyyah karya Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 27-28).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala
aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan
bin Musa
Maraji’: Mu’amalatul
Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam
bin Barjas), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy), Zhilaalul Jannah (M. Nashiruddin Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45 dll.
0 komentar:
Posting Komentar