بسم الله الرحمن الرحيم
Adab
Terhadap Pemerintah (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut kami sajikan pembahasan tentang Adab Terhadap
Pemerintah yang kami simpulkan dari kitab Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il
Kitab was Sunnah karya Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah dan
kitab lainnya, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tamhid (Pengantar)
Ketahuilah, bahwa
mendengar dan taat kepada pemerintah muslim bukan dalam hal maksiat termasuk
prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah meskipun mereka melakukan kezaliman. Yang
demikian adalah, karena dengan mendengar dan menaati mereka, maka maslahat
agama dan dunia akan tegak. Dan sudah menjadi maklum, bahwa tidak akan tegak
agama tanpa ada jamaah, dan tidak akan tegak jamaah tanpa ada pemerintah, dan
tidak ada pemerintah jika tidak didengar dan ditaati (Sebagaimana yang
dinyatakan Umar bin Khaththab yang diriwayatkan oleh Darimiy 1/315, namun dalam
isnadnya ada cacatnya).
Al Hasan Al Basri rahimahullah
berkata tentang Umara (pemerintah), “Mereka memimpin kita dalam lima hal;
shalat Jum’at, shalat Jama’ah, hari raya, menjaga perbatasan, dan menegakkan
hukuman hudud. Demi Allah, agama tidak akan tegak tanpa mereka meskipun mereka
zalim. Demi Allah, masalah yang diperbaiki Allah melalui mereka masih lebih
banyak daripada yang mereka rusak. Demi Allah, menaati mereka adalah sebuah kegembiraan,
sedangkan menyelisihi mereka adalah sebuah kekufuran.” (Adab Al Hasan Al
Basri oleh Ibnul Jauzi hal. 121).
Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Para imam dari setiap madzhab
sepakat, bahwa barang siapa yang berkuasa terhadap sebuah negeri atau beberapa
negeri, bahwa orang tersebut dianggap sebagai imam (pemerintah) dalam semua
urusan. Karena jika tidak demikian, maka dunia tidak akan lurus, karena keadaan
manusia sejak zaman dahulu –sejak zaman Imam Ahmad sampai sekarang- tidaklah
berkumpul di bawah satu imam (khalifah) saja, dan tidak diketahui adanya ulama
yang mengatakan bahwa keputusan imam setempat itu tidak sah tanpa ada imam
a’zham (penguasa besar/khalifah).” (Ad Durar As Sunniyyah 7/239).
Adab Terhadap Pemerintah
Ada beberapa adab
terhadap pemerintah yang perlu diketahui dan diamalkan oleh seorang muslim, di
antaranya:
1.
Menaati mereka,
tentunya bukan dalam hal maksiat.
Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ
الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang
yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. “ (QS.
An Nisaa’: 59)
Dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
“Mendengar dan taat
(kepada pemerintah) wajib bagi seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia
benci selama tidak diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat
maksiat, maka tidak ada lagi sikap mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)
2.
Tidak memberontak
atau terang-terangan mendurhakai mereka.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ
خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barang siapa yang
tidak suka salah satu sikap pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar, karena
barang siapa yang keluar dari kepemimpinan meskipun sejengkal, maka ia akan
mati ala jahiliyyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al Khallal dalam As
Sunnah hal. 133 dan Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah (1/195,
196) menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan Al Watsiq, para fuqaha Baghdad
berkumpul di hadapan Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) dan berkata
kepadanya, “Sesungguhnya masalah ini (menyatakan bahwa Al Qur’an adalah
makhluk) dan masalah lainnya (yang bertentangan dengan akidah Islam) sudah
semakin parah dan menyebar, dan kami tidak ridha dengan pemerintahan dan
kepemimpinannya. Lalu Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka, kemudian ia berkata,
“Kalian wajib mengingkarinya dengan hati kalian dan jangan mencabut ketaatan kepadanya. Jangan kalian patahkan
tonggak (kesatuan) kaum muslimin dan jangan kalian tumpahkan darah kalian dan
darah kaum muslimin. Perhatikanlah akhir urusan kalian dan bersabarlah agar
orang yang baik dapat beristirahat dan dapat lepas dari orang yang fasik.” Ia
juga berkata, “Sikap ini (mencabut sikap taat kepada pemerintah) tidaklah
benar. Hal ini menyelisihi atsar.”
3.
Berjihad dan shalat
di belakang mereka meskipun mereka fasik dan melakukan perbuatan maksiat yang
bukan kekafiran.
Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bertanya
kepadanya tentang menaati para pemerintah yang buruk,
«اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ»
“Dengarkanlah dan
taatilah. Karena kewajiban mereka adalah yang mereka tanggung, dan kewajiban
kalian adalah yang kalian tanggung.” (HR. Muslim)
Demikian juga
berdasarkan perkataan Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap mendengar
dan taat (kepada pemimpin) baik ketika kami semangat maupun tidak, baik ketika
kami susah maupun lapang, dan agar kami tidak mencabut kepemimpinan dari
pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekafiran yang jelas dan kamu memiliki
bukti yang nyata dari sisi Allah tentangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[i]
Imam Ahmad berkata
tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap pemerintah dalam kitabnya Ushuulus
Sunnah,
"(Sikap kita) adalah mendengar dan taat kepada
amirul mukminin yang baik maupun yang buruk serta orang yang memegang
kepemimpinan, di mana orang-orang mau berkumpul di bawahnya serta ridha
terhadapnya. Demikian juga kepada orang yang mengalahkan khalifah sebelumnya
dengan pedang sehingga ia pun menjadi khalifah dan disebut Amirul mukminin.
Berperang tetap berlaku bersama pemerintah hingga hari
kiamat, baik pemerintah yang baik maupun yang buruk dan tetap tidak ditinggalkan.
Pembagian fai' (harta rampasan tanpa melalui
peperangan) dan menegakkan hudud juga diserahkan kepada para penguasa, tidak
seorang pun berhak mencacati mereka dan menentang mereka.
Menyerahkan zakat kepada mereka juga boleh dan bisa
dilakukan. Barang siapa sudah menyerahkan kepada mereka, maka sudah dianggap
sah, baik pemerintahnya orang yang baik atau yang buruk.
Shalat Jum'at di belakangnya dan di belakang orang yang
diangkatnya
adalah boleh, tetap berlaku, sempurna, dan dua rakaat. Barang siapa yang mengulanginya,
maka dia ahlul bid'ah, meninggalkan atsar dan menyalahi sunnah, dan tidak
memperoleh sedikit pun keutamaan shalat Jum'at, karena ia menganggap tidak
boleh shalat di belakang penguasa yang baik maupun yang jahat. Bahkan Sunnah
menjelaskan tetap shalat bersama mereka dua rakaat dan meyakini bahwa ia telah sempurna,
jangan ada keraguan dalam dadamu tentang hal itu.
Barang siapa yang keluar dari ketaatan kepada
imam dari kalangan kaum muslimin, padahal orang-orang telah berkumpul di
bawahnya, mengakui kekhalifahannya dengan cara bagaimana pun kepemimpinannya
diperoleh -baik dengan cara yang diridhai maupun dengan cara mengalahkan-, maka
sesungguhnya ia telah memecahkan tonggak kesatuan kaum muslimin, menyalahi
atsar (hadits) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika ia meninggal
di atas sikap seperti ini, maka ia meninggal dengan ala jahiliyyah.
Tidak halal
memerangi penguasa dan memberontak kepadanya karena salah seorang pun di antara
manusia. Barang siapa yang melakukannya, maka dia adalah pelaku bid'ah, tidak
di atas sunnah dan jalan (yang lurus)."
Al Ghazaliy
berkata, “Kalau kesulitan menemukan seorang yang wara’ dan berilmu untuk
memegang kepemimpinan, lalu ada orang yang tidak mengerti hukum atau orang
fasik yang merebutnya, sedangkan jika menjauhkan perhatian manusia daripadanya
dapat menimbulkan fitnah yang sulit dipikul, maka kita putuskan untuk
menganggap sah kepemimpinannya. Yang demikian adalah, karena jika kita gerakkan
fitnah dengan mencari penggantinya, maka apa yang diterima kaum muslimin ketika
proses penggantian berupa madharrat malah lebih besar di atas madharat yang
diperoleh karena kekurangan syarat pada pemimpin yang ditetapkan karena
maslahat. Oleh karena itu, tidak boleh pokok maslahat dirobohkan karena
mementingkan yang unggulnya, seperti halnya membangun istana, namun kotanya
dirobohkan. Demikian pula antara memutuskan untuk mengosongkan negeri dari
pemimpin dan rusaknya keadaan, ini tidak
mungkin. Jika kita putuskan berlakunya pemerintahan penguasa zalim di negeri mereka
karena dibutuhkan, maka bagaimana kita tidak memutuskan sahnya kepemimpinan
ketika dibutuhkan dan dalam kondisi darurat?”
4.
Mendoakan kebaikan
untuk mereka.
Dalam kitab As
Sunnah karya Imam Al Barbahari disebutkan, “Jika engkau melihat ada seseorang
yang mendoakan keburukan terhadap pemerintah, maka ketahuilah, bahwa orang itu
adalah pelaku bid’ah. Tetapi jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan
bagi pemerintah, maka ketahuilah bahwa ia Ahlussunnah Insya Allah Ta’ala.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh
berkata, “Kalau seandainya aku memiliki doa (mustajab), tentu akan aku berikan
untuk pemerintah.”
Oleh karena itu,
kita diperintahkan mendoakan kebaikan
untuk mereka dan tidak diperintahkan mendoakan keburukan atas mereka meskipun
mereka zalim, karena kezaliman mereka akan menimpa diri mereka dan kaum
muslimin.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala
aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan
bin Musa
Maraji’: Mu’amalatul
Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam
bin Barjas), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy), Zhilaalul Jannah (M. Nashiruddin Al
Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45 dll.
[i] Berdasarkan hadits
tersebut, maka tidak diperbolehkan memberontak
kepada penguasa kecuali jika memenuhi dua syarat :
1.
Pemimpin tersebut jelas-jelas melakukan kekafiran dan ada
dalil tentang kekafirannya.
2.
Tidak menimbulkan madharrat (bahaya) yang lebih besar.
Tentunya
yang menimbang hal ini adalah ulama (lihat An Nisaa’ : 83).
0 komentar:
Posting Komentar