Maqashid Asy Syari’ah (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Maqashid Asy Syari’ah (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut kami sajikan pembahasan tentang Maqashid Asy Syari’ah (Hikmah dan Tujuan Syariat) yang banyak merujuk kepada kitab Al Wajiz fii Ushulil Fiqh karya Dr. Abdul Karim Zaidan, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mengenal Maqasid Asy syari’ah (Hikmah dan Tujuan Syariat)
Mengetahui Maqashid Asy syari’ah merupakan perkara penting untuk memahami nash-nash syar’i secara benar, dan untuk menggali hukum-hukum dari dalil-dalilnya dengan cara yang diterima. Oleh karena itu, tidaklah cukup seorang mujtahid mengenal sisi dilalah lafaz (yang ditunjukkan oleh lafaz) terhadap suatu makna, bahkan ia harus mengetahui rahasia syariat dan maksud umum yang diinginkan syari (pembuat syariat) dalam menetapkan hukum-hukum, sehingga ia bisa memahami nash-nash dan dapat menafsirkannya secara selamat, serta dapat menggali hukum-hukum berdasarkan tujuan umum syariat ini (Maqashid Asy Syari’ah).
Jika kita memperhatikan syariat Islam lebih dalam, kita dapat mengetahui, bahwa tujuan pensyariatan hukum adalah untuk maslahat hamba, menjaga maslahat itu, dan menghindarkan bahaya dari mereka. Akan tetapi, maslahat ini tidak menuruti pendapat pribadinya dan selera hawa nafsunya, tetapi maslahat itu berdasarkan timbangan syariat, bukan timbangan hawa nafsu dan syahwat. Hal itu, karena seseorang terkadang melihat –berdasarkan hawa nafsunya- yang bermanfaat sebagai sesuatu yang berbahaya, sedangkan yang berbahaya sebagai sesuatu yang bermanfaat karena terpengaruh oleh hawa nafsu dan keinginannya kepada manfaat yang segera padahal sedikit tanpa mempertimbangakna bahaya yang akan datang dan lebih besar. Terkadang manusia melihat, bahwa termasuk manfaat baginya ketika ia memakan harta manusia dengan cara yang batil degan berbagai bentuknya atau dengan menimbun makanan pokok mereka atau mengambil riba agar hartanya bertambah, atau duduk tidak berjihad agar ia dapat menikmati hidup, namun orang tersebut lupa bahwa manfaat ini hanyalah manfaat yang semu dan tidak hakiki, karena di dalamnya terdapat bahaya yang sesungguhnya; baik cepat atau lambat.
Oleh karena itu, perlu dijelaskan Maqasid Asy Syariah agar seseorang berada di atas ilmu sehingga mengetahui mana yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan, serta menimbang maslahat dan madharrat dengannya.
Pembagian Maqashid Asy Syari’ah
Maqashid Asy Syariat sebagaimana yang telah diterangkan, adalah untuk mewujudkan maslahat hamba baik dengan mengadakannya maupun dengan menjaganya.
Maslahat ini jika kita perhatikan, terbagi menjadi tiga macam; Dharuriyyat (mendesak dan sangat urgen), Haajiyat (standar) dan Tahsiniyyat (sekunder).
Dharuriyyat
Maksudnya adalah maslahat yang kehidupan manusia, tegaknya masyarakat dan tetapnya tergantung kepadanya, dimana apabila maslahat ini hilang, maka rusaklah tatanan kehidupan manusia, akan terjadi kekacauan dan kerusakan, dan dapat membawa kepada kesengsaraan di dunia serta mendapatkan azab di akhirat.
Dharuriyyat tersebut adalah maslahat agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di antara ulama ada yang menambahkan dengan maslahat kehormatan.
Semua maslahat ini diperhatikan serius oleh semua syariat dari sejak zaman Nabi Adam ‘alaihis salam sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun cara pemeliharaannya berbeda-beda sesuai zamannya. Syariat Islam yang merupakan penutup syariat sebelumnya sangat memperhatikan maslahat lima atau enam hal tersebut, maka disyariatkanlah hukum-hukum untuk mewujudkannya dan untuk menjaganya.
Pertama, maslahat agama.
Agar maslahat agama terwujud, maka Islam memerintahkan tauhid dan melarang syirk, memerintahkan untuk membuktikan peribadatan itu dengan mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, berhaji, dsb. Demikian pula memerintahkan manusia beriman kepada rukun iman yang enam (iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul, hari akhirat, dan qadar). Dengan perkara ini, terwujudlah agama dan menjadi luruslah urusan manusia dan keadaan mereka, demikian pula masyarakat akan tegak di atas kekuatan yang kokoh.
Dan untuk menjaga dan memelihara maslahat agama ini, maka disyariatkan dakwah, menolak kezaliman, wajibnya jihad terhadap orang-orang yang hendak menghilangkan agama ini dan hendak menghapus rambu-rambunya, menghukum orang yang murtad, mencegah orang yang menimbulkan keraguan kepada Aqidah Islam, melarang fatwa yang batil atau merubah hukum, dsb.
Kedua, menjaga jiwa.
Agar maslahat jiwa terwujud, maka Islam menyuruh menikah. Dan agar maslahat jiwa ini terpelihara, maka Islam menyuruh makan dan minum, mengadakan rukhshah (keringanan) mengkonsumi makanan haram ketika darurat, mengharamkan membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan, dan mensyariatkan qishas bagi orang yang membunuh secara sengaja. Demikian pula mensyariatkan jihad untuk membela mereka yang teraniaya.
Ketiga, menjaga akal.
Akal merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk memilah mana hal yang bermaslahat baginya dan mana yang tidak. Dan untuk menjaga akal ini agar tetap normal, maka Islam mengharamkan manusia mengkonsumi makanan atau minuman yang dapat menghilangkan akal, seperti narkoba, miras, dsb. Demikian pula mensyariatkan had (hukuman) bagi orang yang meminum minuman keras.
Keempat, menjaga nasab atau keturunan.
Untuk mewujudkan keturunan, maka Islam mensyariatkan nikah. Dan untuk menjaga nasab atau keturunan, maka Islam melarang zina, demikian pula mensyariatkan had zina bagi pelaku zina.
Demikian juga untuk menjaga keturunan, maka Islam mewajibkan orang tua menafkahi anaknya sampai dapat dipastikan bahwa mereka tidak butuh lagi nafkah orang tua.
Kelima, menjaga harta.
Untuk mewujudkan harta, maka Islam mensyariatkan bekerja dan mencari rezeki dari jalan yang halal, membina mu’amalah atas dasar ridha dan keadilan, mensyariatkan berbagai mu’amalah yang adil; yang tidak ada kezaliman, gharar, dan penipuan di dalamnya.
Dan untuk menjaga harta, maka Islam melarang pencurian dan mensyariatkan had sariqah (pencurian) bagi orang yang mencuri ketika ia mengambil harta dalam jumlah tertentu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang terjaga. Termasuk pula untuk menjaga harta, Islam mengharamkan membinasakan harta orang lain, dan memerintahkan orang lain menanggung harta yang dibinasakannya. Termasuk pula mensyariatkan hajr (pencegahan tindakan terhadap harta) bagi orang yang dungu, gila, dsb.
Keenam, menjaga kehormatan.
Agar terwujud kehormatan, maka Islam memerintahkan manusia berakhlak mulia, menikah, dsb. Dan untuk menjaga kehormatan manusia, maka Islam mensyariatkan had qadzaf bagi orang yang menuduh zina seseorang yang terpelihara kehormatannya.
Singkatnya, untuk mewujudkan dan menjaga enam hal dharuri tersebut, maka harus ditegakkan rukun-rukunnya dan dikokohkan kaedah-kaedahnya, di samping adanya pencegahan terhadap hal yang merusaknya di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Hajiyat
Yaitu perkara yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan. Jika hilang, maka belum rusak tatanan kehidupan, akan tetapi manusia merasakan kesulitan dan kesempitan.
Hajiyat ini kembalinya untuk menghilangkan kesulitan dari manusia. Syariat Islam datang dengan beragam hukum-hukum untuk mewujudkan tujuan ini.
Dalam masalah ibadah, maka disyariatkan rukhshah untuk menghilangkan kesulitan. Oleh karena itu, syariat membolehkan berbuka bagi orang sakit dan musafir. Demikian pula shalat dengan duduk karena sakit, menjama’ ketika safar, bertayammum ketika tidak ada air, menghadap ke arah selain kiblat dalam kapal atau pesawat jika arahnya berubah kepada selain kiblat yang di awal shalat ia menghadap kepadanya.
Dalam mu’amalat, disyariatkan berbagai muamalah yang berada di luar kaedah umum. Oleh karenanya, syariat membolehkan jual beli salam, isthisna’ (pemesanan untuk dibuat sesuatu), ijarat, muzara’ah, dsb. Demikian pula mensyariatkan thalaq untuk melepaskan diri dari pernikahan yang dianggap tidak cocok lagi dilanjutkan.
Dalam hukuman, disyariatkan kaidah menolak had karena adanya syubhat, diyat (denda) yang ditanggung keluarga dalam pembunuhan tidak disengaja untuk meringankan pembunuh.
Maslahat hajiyat ini diperhatikan oleh syariat, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
dan surah lainnya seperti di surah Al Maa’idah ayat 6, dan Al Baqarah ayat 185.
Tahsiniyyat
Yaitu maslahat yang menjadikan keadaan manusia berada dalam adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Jika ada yang hilang, maka tidak membuat tatanan kehidupan menjadi kacau, dan manusia tidak tertimpa kesukaran dan kesulitan, akan tetapi kehidupan mereka tidak sejalan dengan muru’ah (kemuliaan), akhlak sempurna dan fitrah yang sehat.
Syariat memperhatikan maslahat tahsiniyyah ini dalam ibadah, muamalah, kebiasaan, dan hukuman.
Dalam ibadah, disyariatkan memakai baju yang bagus ketika masuk masjid, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunat, baik sedekah, shalat sunah maupun puasa sunah.
Dalam mu’amalah, disyariatkan pencegahan jual beli barang najis, sikap boros dan berlebihan, penjualan seseorang padahal sudah ditawarkan kepada orang lain.
Dalam adat kebiasaan, syariat menganjurkan untuk memperhatikan adab makan, minum, seperti makan dengan tangan kanan dan mengambil pada bagian yang lebih dekat, tidak memakan makanan yang kotor, serta berakhlak dengan akhlak yang utama.
Dalam hukuman, syariat mengharamkan mencincang setelah terbunuh baik dengan cara qishas atau dalam peperangan, sebagaimana diharamakan membunuh wanita, anak-anak, dan rahib dalam peperangan.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger