بسم الله الرحمن الرحيم
Rezeki Yang Tidak Halal
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ مَا أَخَذَ
مِنْهُ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ»
“Akan datang
kepada manusia zaman yang seseorang tidak peduli lagi terhadap hartanya; apakah
diambil dari jalan yang halal atau yang haram?” (HR. Bukhari)
Apa yang
disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi; dan
saat inilah zamannya. Di zaman ini, seseorang tidak peduli lagi terhadap harta
yang ia peroleh; apakah didapat dari jalan yang halal atau jalan yang haram?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ
القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ
فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ
جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»
“Tidaklah
bergeser dua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ia ditanya tentang
umurnya; untuk apa ia habiskan. Tentang ilmunya, apa saja yang telah ia
amalkan, tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia keluarkan, dan
tentang badannya untuk apa ia kuras tenaganya?” (HR. Tirmidzi, ia berkata,
“Hadits hasan shahih.”)
Harta Haram
Sumber Petaka Dunia-Akhirat
Ketahuilah saudaraku, bahwa harta
yang haram meskipun secara lahiriah nikmat, tetapi ia merupakan petaka dan
musibah bagi dunia dan akhiratmu. Di dunia hartamu tidak berkah, sedangkan di
akhirat, nerakalah tempat bagi mereka yang mengkonsumsi harta yang haram.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap jasad yang tumbuh dari yang
haram, maka neraka yang lebih layak baginya.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir,
Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 4519).
Al Manawi berkata, “Dalam hadits ini
terdapat ancaman yang keras yang menunjukkan bahwa memakan harta manusia dengan
jalan yang batil termasuk dosa-dosa besar.”
Adz Dzahabi berkata, “Termasuk di
dalamnya pemungut cukai, pembegal, pencuri, pengkhianat, pelacur, dan orang
yang meminjam sesuatu lalu mengingkarinya. Demikian pula orang yang curang
dalam timbangan atau takaran, orang yang menemukan harta namun tidak mau
mengumumkannya lalu ia memakannya padahal ia tidak memilikinya. Termasuk pula
orang yang menjual sesuatu yang ada cacatnya, lalu menyembunyikannya, orang
yang melakukan taruhan (judi), serta orang yang mengabarkan pembeli bahwa
barang ini hendak dibeli dengan harga tinggi. Ini semua termasuk dosa-dosa
besar.”
Contoh-contoh
harta haram
Allah Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا
بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, agar kamu
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.” (Terj. QS. Al
Baqarah: 188)
Syaikh Abdurrahman As Sa’diy berkata,
“Termasuk
ke dalam ayat ini adalah memakan harta yang diperoleh dari hasil merampas,
mencuri, berkhianat dalam barang titipan atau barang pinjaman, atau semisalnya.
Demikian pula harta yang diperoleh melalui akad yang haram, seperti akad riba
dan judi secara mutlak, ini semua termasuk memakan harta secara batil, karena
itu bukan termasuk akad yang mubah. Termasuk pula harta yang diperoleh dengan
sebab menipu dalam jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Demikian pula
memakan gaji karyawan setelah mengangkatnya, atau mereka menerima upah terhadap
suatu amal yang tidak mereka penuhi kewajibannya. Dan termasuk pula mengambil
upah terhadap ibadah dan berbagai bentuk taqarrub yang tidak sah sampai
dimaksudkan mencari keridhaan Allah Ta’ala[1],
dan termasuk pula mengambil zakat, sedekah, waqaf, wasiat bagi orang yang tidak
memiliki hak di dalamnya, atau memiliki hak tetapi mengambil melebihi haknya.”
Pengaruh Rezeki
yang tidak halal bagi diri dan keluarga
Rezeki yang tidak halal berpengaruh
negatif bagi diri dan keluarga, di antaranya adalah mendapat ancaman neraka
(lihat hadits sebelumnya), menjadikan harta tidak berkah (lihat QS. Al Baqarah:
276, membuat doa tidak terkabul, dan berbagai pengaruh negatif lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى : يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً وَقاَلَ
تَعَالَى : يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ
يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ
وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى
يُسْتَجَابُ لَهُ .
"Sesungguhnya Allah Ta’ala baik, tidak menerima kecuali
yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia
memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya, "Wahai Para Rasul,
makanlah yang baik-baik dan beramal salehlah." Dia juga berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang
Kami rezekikan kepada kamu." Kemudian Beliau menyebutkan tentang
seorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan berambut kusut dan
berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit sambil berkata, "Ya
Rabbi, Ya Rabbi,” padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya
akan dikabulkan?” (HR. Muslim).
Jujur dan amanah
membawa keberkahan
Harta yang diperoleh dari jalan yang
halal meskipun sedikit jauh lebih baik daripada harta yang banyak namun
diperoleh dari jalan yang haram. Yang demikian adalah karena harta yang halal
mendatangkan keberkahan dari Allah Azza wa Jalla sehingga membuat pemiliknya
dapat mengatur hartanya dengan baik, menggunakannya untuk ketaatan, dan
mendapatkan tambahan dari Allah Azza wa Jalla tanpa disangka-sangka. Allah
berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً--وَيَرْزُقْهُ مِنْ
حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.--Dan
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”
(Terj. QS. Ath Thalaq: 2-3)
Di antara cara meraih keberkahan
pada harta adalah dengan berlaku jujur apa adanya dan amanah dalam berjual-beli
dengan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، - أَوْ قَالَ: حَتَّى
يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا،
وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang penjual dan pembeli
berhak khiyar (melanjutkan atau membatalkan jual beli) selama belum berpisah
–atau Beliau bersabda, “Sampai keduanya berpisah”- . Jika keduanya jujur dan
menerangkan apa adanya, maka akan diberkahi jual beli keduanya, tetapi jika
menyembunyikan dan berdusta, maka akan dicabut keberkahan jual beli keduanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kiat menghindari
harta haram
Banyak kiat untuk menghindari harta
haram, di antaranya adalah dengan bekerja dan bertawakkal, yakin bahwa rezeki
ditanggung Allah, dan bahwa di sana masih banyak jalan yang halal untuk meraih
rezeki-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِيْ أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ
حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلُهَا وَ تَسْتَوْعِبَ رِزْقُهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَ أَجْمِلُوْا
فِي الطَّلَبِ وَ لاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمُ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ
بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
.
“Sesungguhnya
Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam hatiku, bahwa seorang
jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan mendapat penuh rezekinya. Maka
bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mencarinya. Janganlah
keterlambatan rezeki membuat salah seorang di antara kamu mencarinya dengan
bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih
dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2085).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa
Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
[1] Para ulama berbeda
pendapat tentang menerima upah terhadap sebuah ketaatan atau ibadah.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa
Ijarah (menyewa dan memberi upah) terhadap ketataan sama seperti menyewa
seseorang untuk shalat, berpuasa, berhaji, membacakan Al Qur’an dan
menghadiahkan pahala kepadanya, atau untuk menjadi muazin, imam dan sebagainya.
Hal ini adalah tidak boleh dan haram mengambil upah terhadapnya. Alasannya
adalah sabda Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam, “Iqra’ul qur’an
wa’maluu bihi walaa tajfu ‘anhu walaa taghlu fih walaa ta’kuluu bih walaa
tastaktsiruu bih,” (artinya: Bacalah Al Qur’an, amalkanlah, jangan menjauh
darinya, jangan melampaui batas terhadapnya, jangan makan dan memperbanyak
harta dengannya) HR. Ahmad, Thabrani dalam Al Kabir, Abu Ya’la, Baihaqi
dalam Asy Syu’ab, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
no. 1168.
Demikian pula berdasarkan hadits Amr bin
‘Ash, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Dan jika engkau
diangkat menjadi muazin, maka jangan ambil upah terhadap azan itu.”
Di samping itu, suatu ibadah ketika telah
terjadi oleh pelaku, maka tidak boleh mengambil upah terhadapnya. Termasuk pula
yang masyhur di Mesir, yaitu wasiat untuk khataman Al Qur’an dan membaca
berbagai tasbih dengan upah tertentu; dengan tujuan menghadiahkan pahalanya
kepada ruh orang yang berwasiat. Ini semua tidak boleh secara syara’, karena
seorang pembaca Al Qur’an jika membaca karena harta, maka ia tidak akan
memperoleh pahala, lalu sesuatu apa yang hendak ia hadiahkan kepada si mayit?
Para fuqaha (Ahli Fiqh) menyatakan, bahwa
upah yang diambil dari ketaatan adalah haram, tetapi para fuqaha dari kalangan
mutaakhirin mengecualikannya, yaitu jika ketaatan itu adalah mengajarkan Al
Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, maka mereka memfatwakan bolehnya mengambil upah
sebagai bentuk istihsan, terutama setelah putusnya hubungan dan
sumbangan yang biasa berjalan kepada para pengajar itu seperti di zaman dulu
dari orang-orang kaya dan dari Baitul Mal untuk menghilangkan kesempitan dan
kesusahan, karena mereka (para pengajar) butuh kepada sesuatu yang bisa
menopang kehidupan mereka dan orang-orang yang mereka tanggung. Jika mereka
disibukkan dengan bercocok tanam, berdagang, dan memproduksi barang dapat
menyia-nyiakan Al Qur’anul Karim dan syariat yang mulia karena sudah tidak ada
lagi para pemikulnya. Oleh karena itu, diperbolehkan memberi mereka upah
terhadap pengajaran yang mereka lakukan.
Ulama madzhab Hanbali berpendapat, tidak
sahnya mengupah muazin, orang yang iqamat, mengajarkan Al Qur’an, fiqh, hadits,
wakil dalam ibadah haji atau qadha. Karena hal itu merupakan bentuk ibadah
untuk pelakunya dan haram mengambil upah terhadapnya. Mereka juga mengatakan,
namun boleh menerima rezeki dari Baitul Mal atau waqaf terhadap anal yang
manfaatnya berguna bagi orang lain, seperti menjabat sebagai hakim, pengajar Al
Qur’an, hadits, fiqh, wakil dalam ibadah haji, menanggung persaksian dan
menunaikannya, azan, dan sebagainya, karena itu termasuk maslahat. Bukan
sebagai bayaran, bahkan sebagai rezeki untuk membantu ketaatan dan tidak
mengeluarkannya dari lingkaran ibadah serta tidak merusak keikhlasannya selain
seperti keberhakan orang yang berperang mendapatkan ghanimah dan salab (barang
rampasan).
Ulama madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan
Ibnu Hazm berpendapat bolehnya mengambil upah terhadap pengajaran Al Qur’an dan
mengajarkan ilmu, karena ia merupakan penyewaan terhadap suatu amal dengan
pengorbanan yang sudah maklum. Ibnu Hazm berkata, “Mengupah diperbolehkan atas
pengajaran Al Qur’an dan pengajaran ilmu baik setiap bulan atau sekaligus.
Semua itu diperbolehkan, demikian pula atas ruqyah yang dilakukan, menyalin
mushaf, dan menyalin kitab-kitab ilmu, karena tidak ada nash yang melarangnya,
bahkan telah ada nash yang membolehkannya.” Madzhab ini didukung oleh hadits
yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beberapa
orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kolam air, dan
di sana ada seorang yang terkena sengatan, lalu seorang yang berada di sana
menanyakan kepada para sahabat, “Apakah di antara kalian ada orang yang bisa
meruqyah? Karena di kolam ada seorang yang terkena sengatan.” Maka salah seorang
sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan imbalan beberapa ekor kambing, lalu
ia membawa kambing-kambing itu kepada sahabat-sahabat yang lain, namun mereka
menolaknya dan berkata, “Engkau mengambil upah terhadap Kitabullah.” Mereka pun
tiba di Madinah lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ia telah mengambil upah
terhadap Kitabullah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya yang lebih berhak kamu ambil
upahnya adalah Kitabullah.”
Dan sebagaimana para fuqaha berbeda pendapat tentang mengambil
upah terhadap pembacaan kitabullah dan pengajarannya. Mereka juga berbeda
pendapat tentang mengambil upah terhadap ibadah haji, azan, dan menjadi imam.
Abu Hanifah dan Ahmad berkata, “Hal itu
tidak boleh sebagaimana asalnya, yaitu tidak boleh mengambil upah terhadap
ketaatan.”
Malik berkata, “Karena boleh mengambil upah
terhadap pengajaran Al Qur’an, maka boleh pula mengambil upah terhadap ibadah
haji dan azan.”
Adapun mendapat upah karena menjadi imam,
maka hal itu tidak boleh jika hanya sekedar imam saja. Tetapi jika ia tambahkan
dengan azan, maka boleh, sehingga upah itu diberikan karena azan dan menetap di
masjid; bukan karena shalat.
Imam Syafi’i berkata, “Boleh memberikan
upah kepada seseorang terhadap ibadah haji, namun tidak boleh jika karena
menjadi imam shalat fardhu. Dan boleh berdasarkan kesepakatan ulama memberikan
upah karena mengajarkan matematika, menulis, bahasa, adab, hadits, membangun
masjid dan sekolah.”
Menurut ulama madzhab Syafi’i, boleh
memberikan upah karena memandikan mayit, mentalqinkannya, dan menguburkannya.”
Adapun Abu Hanifah berpendapat, bahwa tidak
boleh memberikan upah kepada seseorang karena memandikan mayit, namun boleh
karena menggali kubur dan membawa janazah.” (Lihat Fiqhussnnah karya
Syaikh S. Sabiq pada pembahasan Al Ujrah ‘ath thaa’at)
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar