Beriman Kepada Takdir

بسم الله الرحمن الرحيم
Beriman Kepada Takdir
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Semua Berjalan di Atas Takdir Allah
Kita meyakini bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini yang baik mapun yang buruk adalah dengan takdir Allah Azza wa Jalla. Semuanya telah diketahui Allah, telah ditulis, telah dikehendaki, dan diciptakan-Nya. Dia berfirman,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Terj. QS. Al Hadid: 22)
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berbuat adil dalam takdir-Nya. Semua yang ditakdirkan-Nya adalah sesuai hikmah yang sempurna yang diketahui-Nya. Allah  tidaklah menciptakan keburukan tanpa adanya maslahat, namun keburukan dari sisi buruknya tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya. Tetapi keburukan masuk ke dalam ciptaan-Nya. Jika dihubungkan kepada Allah Ta’ala, maka hal itu adalah keadilan, kebijaksanaan dan sebagai rahmat(kasih-sayang)-Nya.
Perlu diketahui, bahwa beriman kepada takdir termasuk tauhid rububiyyah, di mana dalam takdir terdapat dalil bahwa Allah yang mengatur alam semesta ini, di samping sebagai Penciptanya dan Pengusanya.
Takdir termasuk rahasia Allah yang tidak diketahui kecuali oleh-Nya saja, dan ia tertulis dalam Al Lauhul Mahfuzh. Kita tidaklah mengetahui takdir yang ditetapkan Allah bagi kita kecuali setelah terjadinya.
Sikap umat Islam dalam masalah takdir
Dalam masalah takdir, umat Islam terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan yang ghuluw (berlebihan) dalam masalah takdir, dalam arti bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan maupun pilihan. Menurut golongan ini, manusia ibarat sebuah pohon yang bergerak karena hembusan angin. Mereka yang berkeyakinan seperti ini terkenal dengan golongan Jabriyyah. Tampaknya, mereka tidak bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi oleh kehendaknya dengan perbuatan yang terjadi tanpa kehendaknya. Tidak diragukan lagi, bahwa golongan ini tersesat, karena sudah kita maklumi bersama, bahwa manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi oleh kehendaknya dengan perbuatan yang terjadi tanpa kehendak darinya.
Kedua, golongan yang ghuluw dalam menetapkan adanya kemampuan dan pilihan dalam diri manusia, sampai-sampai mereka meniadakan kekuasaan Allah di sana. Golongan ini beranggapan, bahwa manusia berkuasa mutlak dalam tindakannya. Golongan ini dikenal dengan sebutan golongan Qadariyyah. Mereka juga tersesat sebagaimana golongan Jabriyyah. Terhadap golongan ini, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma pernah berkata:
“Demi Allah yang nyawa Ibnu Umar di Tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qadar.”
Ketiga, golongan yang beriman kepada takdir, di mana mereka menempuh jalan tengah antara Jabriyyah dan Qadariyyah, dan berjalan di atas dalil naqli (Al Qur'an dan As Sunnah) maupun dalil 'aqli (akal). Mereka inilah Ahlussunnah wal Jama'ah. Mereka berpandangan, bahwa perbuatan-perbuatan yang terjadi di alam semesta terbagi menjadi dua bagian:
1.    Perbuatan yang dilakukan oleh Allah Ta'ala pada makhluk-Nya. Maka dalam hal ini, tidak ada kehendak (pilihan) bagi makhluk-Nya. Misalnya diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya tanaman, ada makhluk yang dihidupkan-Nya dan ada yang dimatikan-Nya, ada yang ditimpakan penyakit dan ada yang diberi kesehatan dan lain sebagainya.
2.    Perbuatan yang dilakukan makhluk yang memiliki kehendak. Maka dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi oleh pilihan pelakunya dan kehendaknya, karena Allah Ta'ala telah mengadakan kehendak untuk mereka, seperti firman Allah Ta'ala,
"Bagi siapa saja di antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus." (Terj. QS. At Takwir: 28)
"Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat." (Terj. QS. Ali Imran: 152)
Manusia bisa merasakan antara perbuatan yang terjadi dengan pilihannya dan perbuatan yang terjadi tanpa ada pilihan (kehendak)nya. Seseorang yang turun dari atas genting dengan tangga merasakan bahwa ia berbuat atas kehendaknya. Sedangkan seorang yang terjatuh dari atas genting merasakan bahwa dirinya tidak menghendaki demikian.
Kritik terhadap golongan Jabriyyah dan Qadariyyah
Jika kita mengikuti pendapat golongan Jabriyyah yang berlebihan dalam menetapkan qadar, tentu syari'at Islam ini percuma saja. Hal itu, karena menganggap bahwa manusia tidak memiliki pilihan menghendaki tidak perlu dipuji dan diberikan balasan kebaikan orang yang mengerjakan perbuatan baik, serta tidak perlu dicela dan diberikan siksaan orang yang mengerjakan keburukan, karena perbuatan itu bukan mereka yang melakukannya. Dan jika ternyata diberikan siksa, maka sama saja Allah menzalimi mereka, Mahasuci dan Maha Tinggi Dia dari keyakinan rusak seperti ini. Padahal Allah Subhaanahu wa Ta'aala Maha Adil dan tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya, Dia berfirman saat orang-orang zalim dimasukkan ke dalam neraka:
Allah berfirman, "Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala,--Yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu,-- Yang mempersekutukan Allah dengan tuhan lain, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang keras ".—(Setan) yang menyertainya berkata (pula), "Ya Tuhan Kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh".-- Allah berfirman, "Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu." -- Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menzalimi hamba-hamba-Ku." (Terj. Qaaf: 24-29)
Dalam ayat di atas, Allah Azza wa Jalla menerangkan bahwa hukuman tersebut bukanlah karena Dia menzalimi mereka, bahkan yang demikian merupakan keadilan-Nya, karena sebelumnya Dia telah memberikan ancaman, bahwa jika mereka menolak ajakan rasul, mereka akan ditimpa azab yang pedih. Allah telah menerangkan kepada mereka jalan yang benar dan jalan yang salah dengan mengutus para rasul, namun mereka lebih memilih jalan yang salah atas pilihan mereka sendiri tanpa dipaksa. Dari sini kita mengetahui batilnya orang yang beralasan dengan takdir ketika bermaksiat.
Adapun golongan Qadariyyah, yakni mereka yang beranggapan bahwa manusia berkuasa mutlak terhadap tindakannya dan bahwa Allah sama sekali tidak berkuasa. Maka pendapat ini tertolak berdasarkan nash-nash syar'i  dan waaqi' (realita). Dalam Al Qur'an disebutkan:
"(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.-- Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (Ter. QS. At Takwir: 28-29)
Sedangkan realita di lapangan menunjukan bahwa ketika seseorang berniat melakukan sesuatu, ternyata apa yang diniatkannya tidak terlaksana. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak menghendakinya.
Dengan demikian, jalan yang benar adalah jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal jama'ah, di mana jalan tersebut merupakan jalan As Salafush Shalih, yakni bahwa manusia berbuat sesuai kehendak dan pilihannya, namun kehendak dan pilihannya mengikuti kehendak Allah Ta'ala, jika Dia menghendaki, maka akan terjadi perbuatan itu dan jika tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi perbuatan itu.
Manfaat Beriman kepada takdir
Beriman kepada takdir memiliki banyak manfaat, di antaranya adalah:
1.       Beriman kepada takdir menunjukkan adanya keimanan dalam hati.
Yang demikian adalah karena iman tidaklah sah tanpa beriman kepada takdir, karena ia termasuk rukunnya.
2.       Membuat hati menjadi tenang.
Bagaimana hati seseorang tidak tenang, ketika seseorang merasakan bahwa betapa pun manusia semuanya berusaha mencelakakan dirinya, namun jika Allah tidak menghendakinya, maka mereka tidak akan sanggup melakukannya.
3.       Membantunya untuk bersikap sabar.
Dengan meyakini adanya takdir, seseorang akan menjadi lebih sabar terhadap musibah yang di hadapinya, karena semuanya terjadi atas keterapan Allah Azza wa Jalla. Ia ridha atau tidak, ketetapan itu tetap berjalan terhadapnya. Jika ridha ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak menerima, ia akan mendapatkan dosa.
4.       Membuatnya selalu mengembalikan urusan kepada Allah Azza wa Jalla.
Dengan beriman kepada takdir, ia akan selalu menyerahkan urusannya kepada Allah Azza wa Jalla; ia berharap kepada Allah agar ditetapkan takdir yang baik baginya.
5.       Dll.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger