Kaum Salaf dan Sikap Zuhud Mereka Terhadap Dunia

بسم الله الرحمن الرحيم

Kaum Salaf dan Sikap Zuhud Mereka Terhadap Dunia
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam sikap zuhud mereka terhadap dunia yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam sikap zuhud mereka terhadap dunia
Disebutkan dalam kitab Az Zuhd karya Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya, ia berkata, “Umar pernah datang ke Syam, lalu disambut oleh para gubernur dan kaum bangsawan, Beliau bertanya, “Di mana saudaraku Abu Ubaidah?” Mereka menjawab, “Sekarang ia akan datang.” Lalu Abu Ubaidah datang mengendarai unta yang bertali kekang sambil memberi salam, kemudian ia berkata kepada orang banyak, “Silahkan kalian meninggalkan kami.” Lalu Umar pergi bersama Abu Ubaidah hingga tiba di rumahnya dan tinggal di sana. Ternyata Umar hanya melihat di rumahnya pedang, perisai, dan pelana.” Umar berkata, “Seandainya saja engkau memiliki perabot atau sesuatu di rumahmu?” Abu Ubaidah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, semua inilah yang mengantarkan kita ke tempat peristirahatan (kuburan).” (Siyar A’lamin Nubala 1/16).
Dari Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ dari Malik Ad Dar[i], bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengambil uang 400 dinar dan berkata kepada pelayannya, “Berikanlah uang ini kepada Abu Ubaidah. Kemudian tunggulah beberapa saat di rumahnya agar kamu menyaksikan apa yang dia lakukan.”
Maka pelayannya segera membawa uang itu kepadanya dan berkata kepada Abu Ubaidah, “Amirul Mukminin memerintahkan agar Anda mengambil uang ini.” Abu Ubaidah menanggapi, “Semoga Allah menyambung hubungannya dan merahmatinya.” Lalu ia berkata kepada pelayannya, “Wahai Jariyah (budak wanita), kemarilah! Bawalah tujuh dinar ini untuk si fulan, lima dinar ini untuk si fulan,” dan seterusnya hingga uang itu habis. Kemudian pelayan itu kembali menemui Umar dan memberitahukan apa yang disaksikannya. Ternyata Umar juga telah menyiapkan uang sejumlah itu untuk Mu’adz bin Jabal. Pelayan itu kembali mengantarkan uang itu kepada Mu’adz. Mu’adz berkata, “Semoga Allah menyambung hubungannya. Wahai pelayan, tolong berikan uang ini ke rumah si fulan sekian, dan untuk rumah fulan sekian.” Lalu istri Mu’adz melihatnya dan berkata, “Demi Allah, kita juga orang miskin, maka sisihkanlah untuk kami.” Ternyata tidak tersisa di buntaian kain itu selain dua dinar, lalu Mu’adz melemparkan uang itu kepadanya. Kemudian pelayan Umar kembali dan menyampaikan kejadian itu, lalu Umar pun bergembira karenanya, ia berkata, “Mereka satu sama lain adalah bersaudara.” (Siyar A’lamin Nubala’ 1/456).
Kisah Abu Thalhah dan istrinya
Dari Abu Ismail At Tirmidzi, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ayyub bin Isa bin Musa, telah menceritakan kepadaku ayahku dari kakekku, dari Musa, dari Thalhah, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendapatkan harta dari Hadhramaut berjumlah 700.000 dirham. Maka, semalaman ia meriang tidak bisa tidur. Lalu istrinya berkata kepadanya, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Dari semalam aku berpikir terus, bagaimana kira-kira keadaan seorang hamba di hadapan Rabbnya, ketika ia tidur sedangkan harta ini masih ada di dalam rumahnya?” Si istri menjawab, “Lalu bagaimana dengan saudara-saudaramu? Jika pagi telah tiba, siapkanlah mangkuk dan nampan, lalu bagikanlah uang tersebut.” Maka Abu Thalhah berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya engkau adalah wanita yang mendapat taufiq puteri seorang yang mendapat taufiq.” Istrinya adalah Ummu Kultsum binti Ash Shiddiq. Saat pagi hari tiba, ia meminta disiapkan mangkuk lalu membagikannya kepada kaum Muhajirin dan Anshar dan mengirimkan semangkuk kepada Ali.
Istrinya berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah orang seperti kita tidak punya bagian?” Ia menjawab, “Lalu ke mana lagi kamu akan pergi mulai hari ini (tanpa uang)? Kamu punya bagian dari sisa uang itu.”
Si istri berkata, “Setiap buntel (uang yang dikirim) terdapat seribu dirham.” (Siyar A’lamin Nubala 1/31).
Dari Ats Tsauriy, dari Abu Qais, dari Huzail bin Syurahbil, dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Barang siapa yang menginginkan akhirat, ia akan mengorbankan dunianya. Dan barang siapa yang menginginkan dunia, dia akan mengorbankan akhiratnya. Wahai kaumku! Korbankanlah dunia yang fana ini untuk akhirat yang kekal abadi.” (Siyar A’lamin Nubala 1/496).
Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Kalian lebih lama shalatnya dan lebih sungguh-sungguh ibadahnya daripada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka lebih utama dibanding kalian.” Lalu Beliau ditanya, “Karena sebab apa demikian?” Ia menjawab, “Mereka (para sahabat) adalah orang-orang yang lebih zuhud (tidak berharap) terhadap dunia dan lebih berharap akhirat dibanding kalian.” (Sifatush Shofwah 1/420).
Dari Al Auza’i dari Bilal bin Sa’ad, bahwa Abu Darda berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hati yang terpisah-pisah.” Lalu ia ditanya, “Apa maksud hati yang terpisah-pisah.” Ia menjawab, “Yaitu dijadikan harta untukku pada setiap lembah.” (Siyar A’lamin Nubala 2/348)
Hadiah tidak selalu berupa harta
Abu Ubaidah bin Ma’n meriwayatkan dari Al A’masy, dari Abul Bukhturi, ia berkata, “Al Asy’ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah pernah datang menemui Salman di sebuah gubuk, lalu keduanya memberi salam dan mengucapkan selamat, kemudian berkata, “Bukankah engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Salman menjawab, “Saya tidak tahu.” Maka keduanya pun menjadi bimbang. Kemudian Salman berkata, “Sesungguhnya sahabat Beliau adalah orang yang masuk surga bersamanya.” Keduanya pun berkata, “kami baru datang dari Abu Darda.” Salman berkata, “Di mana hadiah darinya?” Keduanya menjawab, “Kami tidak membawa hadiah.” Salman berkata, “Bertakwalah kalian berdua kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Setiap orang yang menemuiku setelah menemuinya pasti membawa hadiah.” Keduanya menjawab, “Jangan engkau memperbesar masalah ini atas kami. Kami memiliki harta, maka silahkan kamu bertindak terhadapnya sesukamu.”
Salman berkata, “Aku tidak menginginkan selain hadiah.” Keduanya menjawab, “Demi Allah, ia tidak mengirimkan apa-apa kepada kami. Ia hanya mengatakan, “Sesungguhnya di antara kalian ada seorang laki-laki yang apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersama dengannya, ia tidak berharap yang lain. Jika kalian berdua menemuinya, maka sampaikan salamku kepadanya.”
Salman berkata, “Hadiah apa lagi yang aku inginkan dari kalian berdua selain ini? Hadiah apa lagi yang lebih utama daripada “ucapan salam” dari seorang teman?” (Siyar A’lamin Nubala 1/549)
Qatadah berkata, “Ketika ajal mendatangi Amir[ii], maka ia menangis. Ketika ia ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis bukanlah karena takut mati dan cinta dunia. Akan tetapi, aku menangis karena meninggalkan haus di siang hari dan shalat di malam hari.” (Siyar A’lamin Nubala 4/19).
Musa At Tamimi ketika menceritakan sifat-sifat Abdurrahman bin Aban bin Utsman bin Affan berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang berhasil menyatukan antara agama, kekuasaan, dan kemuliaan daripada Beliau.” Disebutkan, bahwa Beliau membeli Ahlul Bait (yang menjadi budak), lalu memberikan pakaian dan memerdekakan mereka, ia berkata, “Dengan merekalah aku berharap dapat menghadapi sakratul maut.” Beliau meninggal dunia dalam keadaan tidur di masjidnya. Disebutkan pula, bahwa Beliau banyak beribadah dan melakukan ketaatan. Ali bin Abdullah bin Abbas pernah melihatnya. Ia kagum oleh ibadah dan jalan hidupnya, maka ia menjadikan Beliau sebagai teladan dalam kebaikan. (Siyar A’lamin Nubala 5/10).
Dari Abul Abbas As Siraj, ia pernah mendengar Ibrahim bin Basysyar, (katanya) telah menceritakan kepadaku Ali bin Al Fudhail, aku mendengar ayahku berkata kepada Ibnul Mubarak, “Engkau menyuruh kami bersikap zuhud dan hidup sederhana serta menerima apa adanya, tapi kami lihat engkau membawa banyak dagangan, bagaimana ini?” Ibnul Mubarak menjawab, “Wahai Abu Ali, aku melakukan hal ini untuk menjaga wajahku, menjaga kehormatanku, dan kugunakan dalam ketaatan kepada Rabbku.” Ayahku (Al Fudhail) menanggapi, “Wahai Ibnul Mubarak, alangkah baiknya apabila semua itu dilakukan dengan sempurna.” (Siyar A’lamin Nubala 8/387).
Dari Ziyad bin Mahik, Syaddad bin Aus berkata, “Sesungguhnya kalian hanya dapat melihat sebab musabbab adanya kebaikan, demikian pula sebab musabbab adanya kejahatan. Semua kebaikan hanyalah di surga, dan semua keburukan hanyalah di neraka. Dunia hanyalah harta benda sekarang yang akan dimakan oleh orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat, sedangkan akhirat adalah janji yang benar yang ditetapkan oleh Maha Raja dan Mahakuasa (Allah Azza wa Jalla). Masing-masing mempunyai anak. Jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia.” (Shifatush Shofwah 1/709).
Miskin tapi tidak tamak
Dari Abdullah bin Ukthi Muslim bin Sa’ad, ia berkata, “Aku ingin berhaji, lalu pamanku dari pihak ibu memberiku uang 10.000 dirham seraya berpesan, “Jika engkau tiba di Madinah, maka carilah keluarga yang paling fakir di Madinah, lalu berikanlah uang ini kepadanya.”
Ketika aku memasuki kota Madinah, aku bertanya tentang keluarga yang paling fakir di Madinah, lalu ditunjukkan kepadaku, kemudian aku mengetuk pintu (dan mengucapkan salam), lalu ada seorang wanita yang menjawab, “Siapa Anda?” Aku menjawab, “Saya seorang yang berasal dari Baghdad yang dititipi uang 10.000 dirham dan diminta untuk menyerahkannya kepada keluarga yang paling miskin di Madinah. Aku telah mendapatkan kriteria itu ada pada Anda, maka terimalah uang ini.”
Wanita itu berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya kawanmu memberi kriteria orang yang paling miskin. Mereka yang ada di hadapan kami ini lebih miskin di banding kami?” Lalu aku meninggalkannya dan mendatangi rumah-rumah di depannya, lalu aku ketuk pintu (dan mengucapkan salam) kemudian ada seorang wanita yang menjawab. Aku pun mengatakan kepadanya sebagaimana yang aku katakan kepada wanita sebelumnya, lalu ia menjawab, “Wahai hamba Allah, kami bersama para tetangga kami sama-sama miskin, maka bagi-bagikan saja uang itu antara kami dengan mereka.” (Sifatush Shofwah 2/206).
Harta merupakan petaka bagi orang saleh
Ibrahim bin Syabib bin Syaibah berkata, “Kami pernah duduk-duduk di hari Jum’at, lalu datang seorang laki-laki yang mengenakan sehelai kain yang menyelimuti dirinya. Lelaki itu duduk di dekat kami dan mengungkapkan satu persoalan, sementara kala itu kami sibuk membicarakan soal fiqh hingga kami bubar.
Pada hari Jum’at berikutnya, lelaki itu datang lagi, lalu kami jawab pertanyaannya. Setelah itu, kami menanyakan tempat tinggalnya, ia berkata, “Saya tinggal di Al Harbiyyah.” Kemudian kami tanyakan nama panggilannya, ia menjawab, “Abu Abdillah.” Kami pun merasa senang berada satu majlis dengannya karena kami memandang bahwa majlis kami adalah majlis fiqh. Keadaan ini berlangsung sampai beberapa waktu dimana lelaki itu tidak datang lagi ke majlis kami. Kami saling bertanya satu sama lain, “Bagaimana keadaan kita sekarang ini? Selama ini majlis kita meriah dengan kehadiran Abu Abdillah, tapi kini menjadi sepi.”
Masing-masing di antara kami berjanji untuk mendatangi Al Harbiyyah esok paginya dan menanyakan tentang Abu Abdillah. Kami pun tiba di Al Harbiyyah. Jumlah kami beberapa orang. Namun, tiba-tiba kami malu bertanya tentang Abu Abdillah. Saat itu, kami melihat beberapa anak kecil yang selesai belajar, kami pun bertanya tentang Abu Abdillah. Mereka balik bertanya, “Apakah yang kalian maksud adalah Abu Abdillah sang pemburu?” Kami menjawab, “Betul.” Mereka berkata, “Sekarang inilah waktunya dia pulang.”
Kami pun duduk menunggunya. Ternyata ia sudah datang dengan mengenakan secarik kain sedangkan di pundaknya juga terdapat secari kain lainnya, sementara ia juga membawa beberapa ekor burung yang sudah disembelih dan beberapa ekor lainnya masih hidup. Saat ia melihat kami, ia pun tersenyum dan berkata, “Apa yang membuat kalian datang kemari?” Kami menjawab, “Kami kehilangan kamu. Kamu telah memeriahkan majlis-majlis kami. Apa yang menyebabkan kamu tidak datang lagi bersama kami?”
Lelaki itu menjawab, “Kalau begitu, aku akan berbicara jujur kepada kalian. Kami di sini mempunyai tetangga yang setiap hari aku pinjam bajunya, untuk kugunakan menemui kalian. Ia adalah seorang perantau, dan sudah kembali ke kampung halamannya, sehingga aku tidak memiliki pakaian lagi untuk kugunakan mendatangi kalian. Sudikah kalian mampir ke rumahku untuk menyantap rezeki yang diberikan Allah Azza wa Jalla ini?”
Sebagian kami berkata kepada yang lain, “Mari kita masuk ke rumahnya.”
Ia segera mendatangi rumahnya terlebih dahulu, memberi salam, menunggu sebentar, lalu masuk, kemudian mengizinkan kami masuk, kami pun masuk. Ternyata ia telah menyiapkan sepotong kain dan membentangkannya. Kami duduk di atas kain itu.
Lelaki itu menemui istrinya dan menyerahkan burung-burung yang telah disembelih, lalu mengambil burung-burung yang masih hidup, ia berkata, “Tunggu sebentar, saya akan datang lagi insya Allah.”
Ia pun pergi ke pasar, menjual burung-burung itu dan membeli roti, sedangkan istrinya memasak burung-burung itu. Kemudian lelaki ini menghidangkan roti dan daging burung kepada kami, lalu kami makan. Lelaki itu ke belakang kemudian membawakan garam dan air kepada kami. Setiap kali ia ke belakang, sebagian kami berkata kepada sebagian yang lain, “Pernahkah kalian melihat semacam ini? Tidakkah kalian merubah keadaannya, sedangkan kalian adalah para pemuka penduduk Basrah?”
Lalu salah seorang di antara mereka berkata, “Saya menanggung lima ratus dirham.”
Yang lain menimpali, “Saya delapan ratus dirham.”
Yang lainnya sekian dan sekian. Sementara ada lagi yang menjanjikan akan mengambilkan dari orang lain sejumlah uang tertentu, sehingga dalam hitungan terkumpul lima ribu dirham.” Mereka berkata, “Mari sama-sama kita antarkan uang ini dan kita minta agar dia merubah sebagian keadaan ekonominya.”
Kami pun bangkit, lalu pulang berkendaraan dengan membawa kesepakatan itu. Kami melewati Al Mirbad[iii]. Ternyata ada Muhammad bin Sulaiman gubernur Basrah yang sedang duduk di beranda atas rumahnya, lalu ia berkata, “Wahai pelayan, panggilkan Ibrahim bin Syabib bin Syaibah dari tengah-tengah orang-orang yang datang itu.” Maka aku (Ibrahim) datang dan menemuinya, lalu ia menanyakan perihal kami dan dari mana kami datang. Aku pun menjawab sejujurnya, lalu ia berkata, “Biarkan aku yang lebih dahulu membantunya.”
Muhammad bin Sulaiman pun berkata, “Wahai pelayan, ambilkan kepadaku sebuntal uang dirham.” Lalu pelayan itu membawakannya, kemudian ia berkata, “Tolong panggilkan pelayan kamar.” Pelayan kamar pun datang. Maka ia memerintahkan kepadanya, “Tolong antarkan uang ini bersama laki-laki ini kepada seorang yang kami perintahkan (Abu Abdillah).”
Aku (Ibrahim) begitu gembira. Aku segera bangkit menuju rumahnya. ketika sampai di rumahnya, aku mengucapkan salam, lalu Abu Abdillah menjawab salamku dan keluar menemuiku. Saat ia melihat pelayan kamar dengan buntalan kain di lehernya, maka seolah-olah aku menaburkan debu ke wajahnya, ia menyambutku tidak seperti biasanya, lalu ia berkata, “Apa urusanku denganmu? Apakah engkau hendak mencelakakanku?” Aku pun menjawab, “Wahai hamba Allah, duduklah dahulu agar aku menceritakan kisahnya dari awal kenapa semua ini terjadi. Sebagaimana yang engkau ketahui, yang memberimu ini adalah salah seorang penguasa besar, Muhammad bin Sulaiman. Kalau seandainya ia memerintahkan kepadaku untuk memberikannya kepada siapa saja yang aku kehendaki, niscaya aku akan kembali kepadanya dan mengabarkan kepada siapa uang itu kuberikan. Dan ya Allah, aku memang akan memberikannya kepadamu.”
Bertambahlah kemarahan Abu Abdillah, lalu ia masuk ke rumahnya sambil menutup pintu di hadapanku, aku pun mondar-mandir ke sana ke mari, tidak tahu apa yang akan aku katakan kepada gubernur nanti, tetapi aku harus berkata apa adanya, maka aku pergi mendatanginya dan menyampaikan kejadian itu, lalu ia berkata, “Ia pasti seorang Haruri[iv]. Demi Allah, wahai pelayanku, aku harus menyelesaikannya dengan pedang.” Ia lalu berkata, “Bawalah pelayan ini menemui lelaki itu. Kalau ia menolak juga, pancung lehernya, dan bawa kepalanya ke sini.”
Ibrahim berkata,  “Semoga Allah memperbaiki Anda wahai gubernur. Bertakwalah kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah. Demi Allah, kami telah mengenal laki-laki itu. Dia bukanlah seorang penganut khawarij. Tetapi saya akan tetap pergi dan membawanya kepadamu.” Dan maksudku adalah untuk membebaskannya. Maka Muhammad bin Sulaiman memberikan jaminan kepadaku, aku pun pergi hingga sampai di depan rumahnya, kemudian aku ucapkan salam. Kudengar istrinya merintih dan menangis, lalu ia membukakan pintu, bersembunyi dan mengizinkan aku masuk, lalu aku masuk, kemudian ia berkata, “Apa yang terjadi antara kalian dengan Abu Abdillah?” Aku balik bertanya, “Bagaimana keadaannya?” Istrinya menjawab, “Tadi dia masuk dan langsung menuju sumur, ia mengambil air lalu berwudhu, aku dengar ia berkata, “Ya Allah, wafatkanlah aku, dan jangan engkau timpakan bencana kepadaku,” ia terus mengucapkan itu. Setelah itu aku menemuinya, ternyata ia telah meninggal dunia.”
Aku segera berkata, “Wahai saudariku, sungguh ini kejadian yang besar, maka jangan ceritakan kepada siapa-siapa.” Lalu aku mendatangi Muhammad bin Sulaiman dan menceritakan kejadian itu, maka ia berkata, “Biarkan aku pergi ke sana untuk menyalatkan orang ini.”
Kemudian berita itu tersebar di Basrah, sehingga gubernur serta mayoritas penduduk Basrah melayat jenazahnya. Semoga Allah merahmatinya.” (Shifatush Shofwah 4/9-12).
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab  Aina Nahnu min Akhlaqis salaf  oleh Marwan bin Musa




[i] Malik Ad Daar adalah budak yang dimerdekakan Umar bin Khaththab, ia mengambil riwayat darinya dan dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhum. Lihat biografinya dalam Ath Thabaqat (5/8).
[ii] Beliau adalah Abu Abdillah Amir bin Abdi Qais At Tamimi Al Bashri, salah seorang ahli ibadah dari kalangan tabi’in. Ka’ab Al Ahbar pernah menjumpainya dan berkata, “Ini adalah rahib umat ini.” (As Siyar 4/15).
[iii] Salah satu pasar terkenal di kota Basrah.
[iv] Haruri adalah salah satu kelompok Khawarij. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger