بسم
الله الرحمن الرحيم
Setelah Ramadhan Berlalu
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puja dan puji
syukur kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat-nikmat-Nya yang banyak yang telah
Dia berikan kepada kita, terutama adalah nikmat beragama Islam, yang merupakan
jalan hidup yang lurus yang membawa kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Demikian pula atas nikmat hidayatut taufiq, yakni bantuan dan
pertolongan-Nya kepada kita, sehingga kita dapat menjalankan ajaran-ajaran Islam,
walaa haula walaa quwwata illaa billah.
Dan di antara nikmat hidayatut taufiq yang telah
Allah berikan kepada kita adalah dimudahkannya kita oleh-Nya untuk dapat
berpuasa di bulan Ramadhan dan mengisi bulan Ramadhan dengan ketataan; bukan
dengan kemaksiatan. Semoga Allah menerima amal ibadah yang kita lakukan selama
di bulan Ramadhan, Aamin Yaa Rabbal ‘aalamiin.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Puasa yang Allah Azza wa Jalla syariatkan kepada kita
tujuannya adalah agar kita menjadi insan yang bertakwa. Allah 'Azza wa Jalla
berfirman,
"Wahai
orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"
(QS. Al Baqarah: 183)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memiliki hikmah yang dalam
mengapa Dia tetap mensyariatkan ibadah ini dari generasi ke generasi dan tidak
menghapusnya. Yang demikian karena besarnya pengaruh puasa bagi seseorang dalam
menjadikannya seorang yang saleh dan bertakwa. Bukankah ketika berpuasa
seseorang menahan diri dari hal-hal yang enak dan disukai hawa nafsunya,
seperti makan, minum, dan syahwatnya, maka diharapkan nantinya setelah ia
selesai menjalankan ibadah puasa, ketika dihadapkan kepadanya perbuatan maksiat
yang sesuai dengan hawa nafsunya, ia pun mampu menahan dirinya sebagaimana
dirinya mampu menahan diri dari makan, minum, dan syahwatnya?
Bukankah ketika berpuasa seseorang merasakan
penderitaan lapar dan haus, sehingga ia pun merasakan beban yang dialami
saudara-saudaranya yang fakir dan miskin, yang membuatnya ingin bersedekah dan
membantu mereka? Bukankah ini bagian dari ketakwaan?
Bukankah ketika berpuasa kita diperintahkan Allah
Subhaanahu wa Ta'aala untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
dan hal-hal yang merusak pahalanya seperti berkata kotor, mencaci-maki orang
lain, berdusta dan perkataan maksiat lainnya, serta diperintahkan untuk menahan
diri dari tindakan-tindakan maksiat, seperti berkelahi, berbuat jahat kepada
orang lain, menzaliminya, dan perbuatan maksiat lainnya? Bukankah ini semua
bagian dari ketakwaan?
Alhamdulillah, dengan adanya ibadah puasa, maka
kemaksiatan kepada Allah yang merupakan penyebab rusaknya bumi semakin
berkurang, sehingga Allah tetap melimpahkan keberkahan-Nya kepada kita,
"Kalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
" (Terj. QS. Al A'raaf: 96)
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Oleh karena yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya
setelah menjalankan puasa adalah menjadi manusia yang bertakwa, maka tidak sepatutnya
bagi kita setelah menjalankan ibadah puasa kembali kepada kebiasaan yang dahulu
kita kerjakan berupa kemaksiatan, seperti meninggalkan shalat dan enggan
melaksanakannya dengan berjamaah, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali
silaturrahim, bermusuhan, menyakiti tetangga, tidak menjaga lisannya dari
dusta, ghibah (membicarakan orang lain), namimah (adu domba), melepas jilbab,
mengumbar aurat, dan melakukan maksiat lainnya, wal ‘iyadz billah.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Sesungguhnya tanda diterimanya ibadah dari seorang
hamba adalah, hamba tersebut diberi taufik oleh Allah untuk mengerjakan
ibadah-ibadah lainnya, mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat.
Maka perhatikanlah dirimu, apakah selanjutnya engkau berada di atas ketaatan
atau berada di atas kemaksiatan?
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, "Wahai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (Terj. QS. At Tahrim: 6)
Ayat yang mulia ini menunjukkan, bahwa di samping kita
memperhatikan diri kita, hendaknya kita memperhatikan pula keluarga kita; anak
dan istri kita; apakah mereka berada di atas ketakwaan atau di atas
kemaksiatan. Tidakkah anda kasihan jika keluarga anda di neraka karena
kemaksiatan yang mereka lakukan? Oleh karena itu, jika anda memang sayang
kepada mereka, maka jangan biarkan mereka (anak dan istri anda) bergelimang di
atas kemaksiatan; di atas meninggalkan shalat, melepas jilbab, memutuskan tali
silaturrahim, berkata kotor, dan berbuat jahat.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Berpuasa di bulan Ramadhan dan mengisinya dengan ibadah
juga dimaksudkan agar setelah Ramadhan berlalu, kita menjadi terbiasa mengisi
hidup dengan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan inilah tujuan dari
diciptakan kita di dunia, yaitu menyembah hanya kepada Allah saja dan mengisi
hidup di dunia dengan beribadah.
Dan perlu diketahui, bahwa perintah beribadah ini,
tidak hanya di bulan Ramadhan, tetapi terus diperintahkan di setiap hari, di
setiap bulan, di setiap tahun, hingga ajal menjemput. Allah Ta'ala berfirman,
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)."
(Terj. QS. Al Hijr: 99)
Ibadah adalah amanah yang diembankan kepada manusia,
yang nantinya setelah mereka menjalankannya, maka Allah akan membalas mereka
dengan balasan yang besar, yaitu masuk ke dalam surga-Nya yang penuh dengan
kenikmatan. Penghuninya akan kekal dan tidak akan mati, akan senang dan tidak
akan sedih, akan bahagia dan tidak akan sengsara, akan sehat dan tidak akan
sakit, akan muda terus dan tidak akan tua, dan apa yang diinginkan ada di
hadapan tanpa perlu kerja keras dan susah payah. Sebaliknya, barang siapa yang
meninggalkan ibadah (menyembah selain Allah dan enggan mengisi hidupnya dengan
beribadah, minimal yang wajib) dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
nerakalah tempatnya, wal 'iyadz billah.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Setelah kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan,
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita mengagungkan-Nya, Dia berfirman,
“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (Terj.
QS. Al Baqarah: 185)
Oleh
karena itu, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa takbiran tersebut dimulai
dari malam hari tanggal satu Syawwal hingga shalat Ied ditunaikan berdasarkan
ayat ini. Namun mayoritas para ulama berpendapat, bahwa takbir pada 'Idul Fitri
dimulai dari keluarnya menuju tempat shalat hingga ditunaikan shalat 'Idul
Fithri. Ini adalah untuk Idul Fitri, sedangkan untuk Idul Ah-ha takbiran dimulai dari Subuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan tetap
terus bertakbir hingga Ashar akhir hari tasyriq.
Adapun bacaan takbirnya adalah dengan mengucapkan:
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ
اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ
اْلحَمْدُ
Artinya: Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tidak ada tuhan yang
berhak disembah selain Allah. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Dan segala puji
untuk Allah. (Ini adalah takbir Ibnu
Mas’ud. dan tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali).
Dalam
membaca takbir ini, dianjurkan dikeraskan sebagai syi’ar Islam, namun tidak
dengan alat musik. Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad shahih
bahwa Ibnu Umar berangkat pada hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha dengan
mengeraskan takbirnya, sampai tiba di lapangan, ia pun tetap terus bertakbir
sampai imam datang.
Adapun
wanita, maka cukup
dengan mensirr(pelan)kan suaranya ketika bertakbir.
Dan
dianjurkan berangkat menuju lapangan shalat Ied menempuh jalan yang berbeda
dengan pulangnya, serta dianjurkan pula dengan berjalan kaki. Ini semua
merupakan syi’ar Islam.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Idul Fitri yang artinya hari raya berbuka puasa adalah
hari raya umat Islam, di mana hanya ada tiga hari raya bagi umat Islam, yaitu
Idul Fitri, Idul Adh-ha dan hari Jum’at. Adapun selain tiga hari ini, maka yang
demikian bukanlah hari raya umat Islam. Idul Fithri dan
Idul Adh-ha adalah pengganti terhadap hari raya yang pernah dirayakan oleh
masyarakat jahiliyyah dahulu, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah berkata,
“Dahulu masyarakat jahiliyyah memiliki dua hari dalam setiap tahunnya, di mana
mereka bersuka-ria di hari itu, maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
datang ke Madinah, Beliau bersabda:
كَانَ لَكُمْ
يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا
مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى *
“Dahulu
kamu memiliki dua hari untuk bersuka-ria, dan Allah telah menggantikannya
dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha.” (Shahih, HR.
Nasa’i)
Oleh karena keduanya merupakan pengganti hari raya yang
biasa diperingati oleh masyarakat jahiliyyah dahulu, maka keduanya juga
pengganti terhadap hari raya-hari raya dan hari besar yang diperingati sebagian
kaum muslimin zaman sekarang, seperti hari maulid, hari milad (ulang tahun), hari
ibu, hari Valentin, hari pahlawan, Tahun baru dsb.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Hadits yang disebutkan tadi juga menunjukkan bolehnya
bagi kaum muslimin bersuka-ria, bersenang-senang dan melakukan permainan mubah
di hari raya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengingkari orang-orang Habasyah yang bermain tombak di masjid, dan tidak
mengingkari gadis-gadis kecil bersenandung di hari raya.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Di hari raya Idul Fitri ini, para sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan tahni’ah (selamat) kepada saudaranya.
Demikianlah hendaknya yang kita lakukan. Ucapan tahni'ah itu adalah,
تَقَبَّلَ
اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kamu.” (Diriwayatkan
oleh Al Muhaamiliy, Tamaamul Minnah hal. 355)
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Meskipun bulan Ramadhan telah berlalu,
bulan di mana amal saleh dilipatgandakan pahalanya. Namun kesempatan meraih
pahala yang banyak masih ada, di antaranya adalah dengan melanjutkan berpuasa
selama enam hari di bulan Syawwal, di mana bagi mereka yang melakukannya akan
dianggap seperti berpuasa setahun. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ
اَلدَّهْرِ
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di
bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (HR. Jama’ah Ahli Hadits
selain Bukhari dan Nasa’i)
Dalam
melakukannya lebih utama secara berturut-turut, namun boleh tidak
berturut-turut.
Para ulama mengatakan, “Dianggap seperti berpuasa
setahun adalah karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan,
bulan Ramadhan dihitung sepuluh bulan, sedangkan enam hari di bulan Syawwal
dihitung dua bulan.”
Sungguh sangat beruntung orang yang memanfaatkan
kesempatan ini untuk berpuasa sebelum waktunya habis.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat, sidang
shalat ‘Ied yang berbahagia!
Sebagai penutup, sesungguhnya Allah Maha Kaya, tidak
membutuhkan ibadah hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu,
“Barang siapa yang mengerjakan amal yang
saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan Tuhanmu sekali-kali
tidaklah menganiaya hamba-hamba-Nya. (Terj. QS. Fushshilat: 46)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar