بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Syi'ah (Bag. 5)
Akidah
kaum Syi'ah Rafidhah Tentang Ahlussunnah
Akidah kaum
Syi'ah terhadap Ahlussunnah tegak di atas penghalalan darah dan harta mereka.
Ash Shaduuq
meriwayatkan dalam Al 'Ilal yang disandarkan kepada Dawud bin Farqad, ia
berkata: Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah, "Apa pendapat engkau tentang
An Nashib (sebutan mereka terhadap Ahlussunnah)?" Ia menjawab, "Halal
darahnya, tetapi saya mengkhawatirkan
keselamatan anda. Jika engkau sanggup merobohkan tembok kepadanya atau
menenggelamkannya ke dalam laut dengan tidak ada yang menyaksikan perbuatanmu,
maka lakukanlah." Aku (Dawud bin Farqad) berkata, "Apa pendapatmu
tentang hartanya?" Ia menjawab, "Ambillah hartanya jika engkau
bisa." (Al Mahaasin An Nafsaaniyyah hal. 166)
Kaum Syi'ah
Rafidhah juga memandang sucinya bayi mereka, tidak selainnya. Hasyim Al
Bahraniy menyebutkan Dalam tafsirnya Al Burhan dari Maitsam bin Yahya,
dari Ja'far bin Muhammad, ia berkata, "Tidak ada satu bayi yang lahir pun
kecuali salah satu Iblis hadir di hadapannya. Jika ia mengetahui, bahwa bayi
itu termasuk Syi'ah kita, maka dihalangilah dia dari setan itu, dan jika bukan
termasuk Syi'ah, maka setan akan menusuk jari telunjuknya ke duburnya, maka
jadilah duburnya hitam, dan demikianlah kemaluannya akan keluar ke depan.
Tetapi jika bayinya perempuan, maka setan akan menusuk di farjinya, maka ia
akan jadi pezina. Ketika itulah bayi menangis dengan keras pada saat keluar
dari perut ibunya." (Tafsir Al Burhan oleh Hasyim Al Bahrani
2/300).
Bahkan kaum
Syi'ah juga memandang, bahwa semua manusia adalah anak zina selain kaum Syi'ah.
Al Kulainiy menyebutkan dalam bukunya Ar Raudhah minal Kaafi dari Abu
Hamzah, ia berkata kepada Abu Ja'far, "Sesungguhnya sebagian kawan-kawan
kita berdusta dan melontarkan tuduhan kepada orang-orang yang menyelisihi
mereka? Lalu Abu Ja'far berkata kepadaku, "Menghindarinya lebih
baik," kemudian ia berkata, "Demi Allah, wahai Abu Hamzah,
sesungguhnya anak-anak manusia semuanya adalah anak-anak pelacur selain Syi'ah
kita."
Menurut Kaum
syi'ah juga, bahwa kekufuran Ahlussunnah lebih parah daripada kekufuran
orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena menurut mereka orang-orang Yahudi dan
Nasrani adalah kafir karena asalnya, sedangkan Ahhlussunah kafir karena murtad.
Sedangkan kafir karena murtad lebih parah berdasarka ijma'. Oleh karena itu,
mereka (kaum Syi'ah) rela membantu orang-orang kafir memerangi kaum muslim
sebagaimana tercatat dalam sejarah.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, "Sesungguhnya kaum Syi'ah Rafidhah membantu pasukan
Tatar ketika memerangi negara-negara Islam." (Majmu' Fatawa 35/151)
Dan lihat pula
buku "Kaifa Dakhalat Tutur Bilaadal Muslimin" (Bagaimana
masuknya tentara Tatar ke negeri kaum muslim) oleh Dr. Sulaiman bin Hamd Al
'Audah.
Demikian juga,
lihatlah wahai saudaraku bagaimana kaum Syi'ah di negeri Irak bersatu dengan
penjajah, bahkan pimpinan-pimpinan rujukan mereka mendukung pembantaian
terhadap Ahlussunnah di kota Falujah dan kota-kota yang lain, termasuk pula
mendukung pembantaian Ahlussunnah di Suriah saat ini.
Daalam buku Wasaa'ilusy
Syi'ah disebutkan dari Fudhail bin Yasar, ia berkata: Aku bertanya kepada
Abu Ja'far tentang wanita 'Arifah (Syi'ah Rafidhah), "Bolehkah saya
menikahkan dengan laki-laki An Nashib?" Ia menjawab, "Tidak boleh. Karena
An Nashib (Ahlussunnah) adalah kafir." (Wasaa'ilusy Syi'ah oleh Al
Hur Al 'Amiliy (7/431)
Sebenarnya
istilah An Nashib menurut Ahlussunnah adalah orang-orang yang tidak suka kepada
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, akan tetapi kaum Syi'ah Rafidhah menamai
Ahlussunah dengan An Nashib karena mereka mendahulukan kepemimpinan Abu Bakar,
Umar, dan Utsman sebelum Ali. Padahal pendahuluan Abu Bakar, Umar, dan Utsman
sebelum Ali sudah ada di zaman Rasululla shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagai
buktinya adalah perkataan Ibnu Umar,
كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ، ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ،
ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم
"Kami pernah menimbang-nimbang manusia
terbaik pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kami pilih Abu
Bakar, kemudian Umar, dan kemudian Utsman radhiyallahu 'anhum."
(Diriwayatkan oleh Bukhari)
Thabrani
menambahkan, "Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui hal
tersebut dan tidak mengingkarinya."
Dalam riwayat
Ibnu Asakir disebutkan, "Kami mengutamakan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan
Ali."
Akidah
kaum Syi'ah Rafidhah tentang Mut'ah (kawin kontrak) dan keutamaannya menurut
mereka
Mut'ah menurut
kaum Syi'ah Rafidhah memiliki keutamaan yang besar –wal 'iyadz billah-.
Disebutkan dalam kitab Manhajush Shaadiqin karya Fathullah Al Kasyani
dari Ash Shaadiq, ia berkata, "Sesungguhnya mut'ah termasuk agamaku dan
agama nenek moyangku. Orang yang melakukannya berarti mengamalkan agama kita,
dan orang yang mengingkarinya berarti mengingkari agama kita, bahkan ia telah
beragama dengan agama selain kita, dan anak dari hasil mut'ah lebih utama
daripada anak dari istri yang tetap, dan orang yang mengingkari mut'ah adalah
kafir lagi murtad." (Manhajush Shaadiqin oleh Mullaa Fathullah Al
Kaasyaani 2/495).
Al Qummiy
menukilkan dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqiih dari Abdullah bin
Sinan dari Abu 'Abdillah, ia berkata, "Sesungguhnya Allah Tabaraka wa
Ta'ala mengharamkan bagi Syi'ah kita minuman yang memabukkan dan menggantinya
dengan mut'ah." (Man Laa Yahdhuruhul Faqiih oleh Ibnu Babawaih Al
Qummiy hal. 330)
Disebutkan dalam
Tafsir Manhajush Shadiqin karya Mulla Fathullah Al Kaasyaniy sebuah
riwayat palsu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang
siapa yang melakukan mut'ah sekali, maka akan dimerdekakan sepertiga badannya
dari neraka. Barang siapa yang melakukan mut'ah dua kali, maka akan
dimerdekakan dua pertiga badannya dari neraka. Dan barang siapa yang melakukan
mut'ah tiga kali, maka akan dimerdekakan seluruh badannya dari neraka."
Dalam kitab itu
pula disebutkan pernyataan yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam secara dusta, bahwa Beliau bersabda,
"Barang
siapa yang melakukan mut'ah sekali, maka ia akan aman dari kemurkaan Allah Al
Jabbar. Barang siapa yang melakukan mut'ah dua kali, maka akan dikumpulkan
bersama orang-orang yang berbakti. Barang siapa yang melakukan mut'ah tiga
kali, maka akan berdesakan denganku di surga."
"Barang
siapa yang melakukan mut'ah sekali, maka derajatnya seperti derajat Al Husain.
Barang siapa yang melakukan mut'ah dua kali, maka derajatnya seperti derajat Al
Hasan. Barang siapa yang melakukan mut'ah tiga kali, maka derajatnya seperti
derajat Ali bin Abi Thalib. Barang siapa yang melakukan mut'ah empat kali, maka
derajatnya seperti derajatku."
(Tafsir
Manhajush Shaadiqin oleh Mulla Fathullah Al Kaasyaaniy 2/492, 493)
Kepalsuan
riwayat di atas dapat diketahui dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam hadits shahih berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ
لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
"Wahai manusia! Sesungguhnya
dahulu aku mengizinkan kalian memut'ah wanita, dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkan perbuatan itu sampai hari Kiamat. (HR. Muslim)
Kaum Syi'ah juga
tidak mensyaratkan jumlah tertentu dalam hal mut'ah. Disebutkan dalam kitab Furu'ul
Kafi, At Tahdziib, dan Al Istibshar dari Zurarah, ia bertanya
kepada Abu Abdillah, "Saya menyebutkan kepadanya tentang mut'ah, apakah
hanya sampai empat?" Ia menjawab, "Nikahlah (dengan mut'ah) sebanyak
seribu wanita, karena mereka adalah wanita sewaan."
Dari Muhammad
bin Muslim dari Abu Ja'far, bahwa ia berkata tentang mut'ah, "Tidak hanya
empat, karena ia tidak ditalak dan tidak mewarisi, ia hanyalah wanita
sewaan."
Bagaimana
pendapat di atas dapat diterima, padahal Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
"Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya,--Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.—Barang siapa
mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas."
(Terj. QS. Al Mu'minun: 5-7)
Ayat di atas
menunjukkan, bahwa yang dibolehkan untuk disetubuhi adalah istri dan budak yang
dimiliki, selebihnya adalah haram. Adapun wanita yang dimut'ah adalah wanita
sewaan, ia bukan istri, tidak diberi warisan dan tidak ditalak. Oleh karena
itu, wanita ini adalah pelacur dan bahwa nikah mut'ah sama saja zina –wal
'iyadz billah-.
Syaikh Abdullah
Al Jibrin berkata, "Kaum Syi'ah Rafidhah berdalih untuk membolehkan nikah
mut'ah dengan sebuah ayat di surat An Nisaa', yaitu firman Allah Ta'ala:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ
لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ
الْفَرِيضَةِ
"Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tidak mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, setelah menentukan mahar itu. " (QS. An Nisaa': 24)
Untuk menjawab
dalil mereka adalah bahwa ayat tersebut semuanya tentang masalah nikah, dari
firman Allah Ta'ala,
لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن
تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهًا
"Tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa." (QS. An
Nisaa': 19)
Sampai firman
Allah Ta'ala,
وَإِنْ أَرَدتُّمُ
اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ
"Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain."
(QS. An Nisaa': 19)
Sampai firman
Allah Ta'ala,
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ
آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء
"Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu." (QS. An Nisaa': 22)
Sampai lagi
dengan firman Allah Ta'ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ
"Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu." (QS. An Nisaa': 23)
Kemudian setelah
Allah Subhaanahu wa Ta'ala menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi baik
secara nasab maupun sebab, Allah Ta'ala berfirman:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء
ذَلِكُمْ
"Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian." (QS. An Nisaa': 24)
Maksudnya dibolehkan
bagi kamu menikahi wanita-wanita yang lain. Maka apabila kamu menikahi mereka
untuk dinikmati, yakni disetubuhi secara halal, maka berikanlah kepada mereka
mahar yang telah kamu sebutkan. Dan jika mereka menggugurkan sebagian dari
mahar itu dengan kerelaannya, maka tidak ada dosa bagimu menerimanya.
Demikianlah ayat ini ditafsirkan oleh mayoritas para sahabat dan
setelahnya." (Dari perkataan Syaikh Ibnu Jibrin).
Lihatlah tokoh
mereka Ath Thsusiy dalam bukunya Tahdzibul Ahkam, dia sendiri menganggap
buruk nikah mut'ah dan mencelanya, ia berkata, "Jika seorang wanita yang
termasuk keluarga terhormat, maka tidak boleh dinikah mut'ah karena keluarganya
akan tercela dan terkena kerendahan karenanya." (Tahdzibul Ahkam
oleh Ath Thusi 7/227)
Tidak sampai di
sini, kaum Syi'ah Rafidhah juga sampai membolehkan mendatangi wanita di
duburnya. Disebutkan dalam kitab Al Istibshar dari Ali bin Al Hakam, ia
berkata, "Aku mendengar Shafwan berkata: Aku bertanya kepada Ar Ridha,
"Sesungguhnya salah seorang dari mantan budakmu menyuruhku untuk bertanya
tentang suatu masalah, ia merasa tidak enak dan malu bertanya kepadamu?"
Ia balik bertanya, "Apa itu?" ia menjawab, "Bolehkah bagi
laki-laki mendatangi istrinya di duburnya?" Ia menjawab, "Ya. Hal itu
boleh baginya." (Al Istibshar oleh Ath Thuusi (3/243).
Lihatlah
bagaimana mereka beragama mengikuti tokoh-tokoh mereka, bukan mengikuti
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَلْعُوْنٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا
"Terlaknat orang yang mendatangi
istrinya di duburnya." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al
Albani dalam Shahihul Jami' no. 5889).
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Aqidatus Syi'ah
(Abdullah bin Muhammad), Al Maktabatusy Syamilah, Mausu'ah Al
Haditsiyyah Al Mushaghgharah, Siyahah fii Alamit Tasyayyu' (Imam
Muhibbbudin Abbas Al Kazhimiy), Minhajul Firqatin Najiyah (M. bin Jamil
Zainu), dll.
0 komentar:
Posting Komentar