Mengenal Syi'ah (Bag. 1)


بسم الله الرحمن الرحيم
Mengenal Syi'ah (Bag. 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Risalah yang singkat ini saya tulis sebagai sumbangsih saya yang sangat kecil terhadap saudara-saudara saya kaum muslim yang berada di Syiria yang dibantai oleh kaum Syi'ah Nushairiyyah (tentara Syiria) tanpa pandang bulu tanpa rasa kasihan. Anak-anak, wanita, dan orang-orang lemah mereka bantai juga, semoga Allah balas mereka dengan balasan yang setimpal dan menjadikan saudara-saudara kita yang dibantai sebagai syuhada, Allahumma aamin.
Risalah ini insya Allah akan menerangkan sedikit tentang agama Syi'ah secara umum dan siapakah sebenarnya mereka agar diketahui oleh saudara-saudara kami kaum muslimin.
Dalam penyusunan risalah ini kami merujuk kepada kitab Min 'Aqaa'idisy Syi'ah karya Abdullah bin Muhammad dengan beberapa penambahan, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kapankah munculnya Syi'ah?
Syi'ah muncul ketika ada seorang Yahudi yang mengaku muslim bernama Abdullah bin Saba'. Ia menyatakan sebagai orang yang mencintai Ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dan bersikap ghuluw (melampaui batas) terhadap Ali bin  Abi Thalib radhiyallahu 'anhu serta menyatakan bahwa Beliau adalah orang yang mendapat wasiat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjadi khalifah setelahnya, kemudian meningkat sampai menuhankan Ali bin Abi Thalib.
Al Qummi dalam kitabnya Al Maqaalaat wal Firaq hal. 10-21 menjelaskan, bahwa Abdullah bin Saba' adalah orang yang pertama menyatakan keimaman Ali dan mengadakan keyakinan raj'ah (kembalinya imam setelah menghilang), serta sebagai orang pertama yang mencela Abu Bakar, Umar, Utsman dan semua sahabat. Demikian juga dinyatakan oleh An Nubakhtiy dalam kitabnya Firaqusy Syi'ah hal. 19-20.
Al Baghdadi berkata, "Kaum Saba'iyyah adalah para pengikut Abdullah bin Saba', seorang yang berlebihan terhadap Ali, ia menyangka bahwa ia (Ali) adalah seorang Nabi, dan bahkan sampai menyangka bahwa dia adalah Allah."
Mahasuci Allah dari perkataan Abdullah bin Saba' itu.
Al Baghdadi juga berkata, "Ibnus Sauda' ini (Abdullah bin Saba') berasal dari penduduk Hiirah, lalu ia menyatakan sebagai seorang muslim dan ingin memiliki pengaruh dan kedudukan di kalangan penduduk Kufah, maka ia memberitahukan kepada mereka (penduduk Kufah), bahwa dalam Taurat disebutkan, bahwa setiap nabi memiliki orang yang mendapat wasiat, dan Ali adalah orang yang mendapat wasiat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam."
Asy Syahrustani menjelaskan, bahwa Abdullah bin Saba' adalah orang pertama yang menyatakan keimaman Ali radhiyallahu 'anhu, dan para pengikutnya (Saba'iyyah) adalah kelompok pertama yang menyatakan adanya sifat ghaibah (menghilang) bagi imam dan raj'ah (kembali lagi di kemudian hari).
Dengan demikian, kaum Syi'ah adalah kelompok pertama yang menyatakan Ali mendapatkan wasiat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjadi khalifah setelahnya, demikian juga mereka yang mengadakan keyakinan raj'ah (kembalinya imam mereka setelah menghilang), dan sebagai kelompok orang yang menuhankan para imam mengikuti jejak Abdullah bin Saba'.
Mengapa Syi'ah disebut Rafidhah?
Ada beberapa pendapat tentang mengapa Syi'ah disebut Rafidhah.
Menurut tokoh mereka, yaitu Al Majlisiy dalam kitabnya "Biharul Anwar", dimana ia berkata dalam kitabnya, "Bab Keutamaan Rafidhah dan Terpujinya Nama itu," ia menyebutkan riwayat dari Sulaiman Al A'masy, ia berkata: Aku masuk menemui Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad, lalu aku berkata, "Aku siap menjadi tebusan bagimu! Mengapa orang-orang menamai kita dengan Rafidhah, dan apa Rafidhah itu?" Ia menjawab, "Demi Allah, bukan mereka yang memberi nama itu kepadamu, tetapi Allah menamai kamu dengannya dalam kitab Taurat dan Injil melalui lisan Musa dan Isa."
Ada pula yang berpendapat, bahwa mereka (kaum Syi'ah) disebut Rafidhah, karena mereka pernah datang kepada Zaid bin Ali bin Al Husain, lalu mereka berkata kepadanya, "Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar, niscaya kami akan bersamamu." Zaid berkata, "Keduanya adalah dua kawan kakekku. Bahkan aku berwala' (mencintai dan membela) keduanya." Maka mereka berkata, "Kalau begitu kami rafadh (menolak) kamu." Maka dari itu, mereka disebut Rafidhah, sedangkan orang-orang yang tetap membai'at Zaid dan ikut bersamanya sebagai Zaidiyyah." (At Ta'liqat 'alaa Matni Lum'atil I'tiqad oleh Abdullah Al Jibrin hal. 108).
Ada pula yang berpendapat, bahwa kaum Syi'ah disebut Rafidhah karena mereka menolak keimaman Abu Bakar dan Umar. Dan ada pula yang berpendapat, bahwa mereka disebut Rafidhah, karena mereka menolak agama (Islam) (Lihat Maqalat Al Islamiyyin oleh Muhyiddin Abdul Hamid 1/89).
Jumlah pecahan golongan Syi'ah
Dalam kitab Da'iratul Ma'arif (4/67) disebutkan, bahwa Syi'ah terpecah belah menjadi lebih dari tujuh puluh tiga golongan yang masyhur.
Bahkan orang Syi'ah Rafidhah sendiri yang bernama Mir Baqir Ad Damad menyatakan, bahwa seluruh golongan yang disebutkan dalam hadits, yakni hadits tentang terpecah belahnya umat menjadi tujuh puluh tiga golongan, bahwa semua golongan itu adalah golongan syi'ah, dan yang selamat hanya Syi'ah Imamiyyah.
Al Muqrizi dalam Al Khuthath (2/351) menyebutkan, bahwa jumlah pecahan mereka mencapai 300 golongan.
Asy Syahrustani dalam Al Milal wan Nihal hal. 147 menyatakan, bahwa Syi'ah Rafidhah terbagi menjadi lima golongan, yaitu: Al Kisaniyyah, Az Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghaliyah, dan Isma'iliyyah.
Menurut Al Baghdadi dalam Al Farqu bainal firaq hal. 41, bahwa Syi'ah Rafidhah setelah masa pemerintahan Ali radhiyallahu 'anhu terbagi menjadi empat golongan, yaitu: Zaidiyyah, Imamiyyah, Kisaniyyah, dan Ghulat.
Namun perlu diperhatikan, bahwa Zaidiyyah tidaklah termasuk golongan Rafidhah, kecuali sempalan dari Zaidiyyah, yaitu golongan Al Jarudiyyah, maka ia termasuk Rafidhah.
Akidah Al Bada' yang diyakini kaum Syi'ah
Bada' maksudnya tampak jelas setelah sebelumnya samar atau munculnya pandangan yang baru. Konsekwensi kedua makna ini adalah bahwa sebelumnya keadaannya masih samar dan sebelumnya tidak tahu. Sifat ini "bada" dengan kedua maknanya adalah mustahil bagi Allah Ta'ala. Akan tetapi anehnya, kaum Syi'ah menetapkankan adanya badaa' bagi Allah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar Rayyan bin Ash Shalt, ia berkata: Aku mendengar Ari Ridha mengatakan, "Allah tidaklah mengutus seorang Nabi melainkan datang dengan melarang arak dan menetapkan sifat badaa' bagi Allah Ta'ala." (Ushulul Kafi hal. 40)
Bahkan Abu Abdillah berkata, "Tidak ada bentuk peribadatan kepada Allah yang menyamai keyakinan badaa'." (Ushulul Kafi oleh Al Kulainiy dalam kitab At Tauhid (1/331)
Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari keyakinan mereka ini, padahal Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan Mahabijaksana. Allah Ta'ala berfirman,
وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (QS. An Nisaa': 26)
Akidah kaum Syi'ah Rafidhah tentang sifat-sifat Allah Ta'ala
Kaum Syi'ah Rafidhah adalah golongan pertama yang berkeyakinan tajsim (bahwa Allah bertubuh seperti manusia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa orang Syi'ah Rafidhah yang memelopori kedustaan ini adalah Hisyam bin Al Hakam, Hisyam bin Salim Al Jawaliqi, Yunus bin Abdurrahman Al Qummiy, dan Abu Ja'far Al Ahwal. Mereka ini adalah tokoh-tokoh kaum Syi'ah Itsna 'Asyariyyah, lalu mereka menjadi kaum Jahmiyyah yang meniadakan sifat bagi Allah Ta'ala (mengingkari sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah).
Bahkan kebanyakan riwayat mereka menyifati Allah Ta'ala dengan sifat-sifat negatif yang mereka tetapkan bagi Allah Ta'ala. Ibnu Babawaih telah meriwayatkan lebih dari tujuh puluh riwayat yang mengatakan, bahwa Allah Ta'ala tidak disifati dengan zaman, tempat, kaifiyat, gerakan, berpindah, sifat-sifat tubuh, demikian juga tidak dirasakan, tidak berupa jisim (tubuh) dan tidak pula bentuk.
Kaum Syi'ah juga mengingkari turunnya Allah Subhaanahu wa Ta'ala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka juga mengatakan, bahwa Al Qur'an adalah makhluk, dan mengingkari ru'yah (bahwa Allah dapat dilihat di akhirat nanti).
Disebutkan dalam kitab Biharul Anwar, bahwa Abu Abdillah Ja'far Ash Shadiq pernah ditanya tentang Allah Tabaraka wa Ta'ala, "Apakah Allah dapat dilihat pada hari Kiamat?" Ia menjawab, "Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari hal itu dengan ketinggian yang besar. Sesungguhnya pandangan itu tidak dapat melihat selain sesuatu yang memiliki warna dan kaifiyat (berkondisi tertentu), dan Allah yang menciptakan warna dan kaifiyat." (Lihat kitab Biharul Anwar oleh Al Majlisi 4/31).
Adapun Ahlussunnah, maka mereka mengatakan bahwa Al Qur'an adalah kalamullah (firman Allah), bukah makhluk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Sebaik-baik ucapan adalah kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Nasa'i, dan dinyatakan shahih isnadnya oleh Al Albani)
Dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat nanti sebagaimana firman Allah Ta'ala,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ -إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.--Kepada Tuhannyalah mereka melihat." (Terj. QS. Al Qiyamah: 22-23)
Sedangkan dalam hadits disebutkan,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ
"Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian." (HR. Bukhari dan Muslim).
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji': Aqidatus Syi'ah (Abdullah bin Muhammad), Al Maktabatusy Syamilah, Mausu'ah Al Haditsiyyah Al Mushaghgharah, Siyahah fii Alamit Tasyayyu' (Imam Muhibbbudin Abbas Al Kazhimiy), Minhajul Firqatin Najiyah (M. bin Jamil Zainu), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger