بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh I'tikaf (bag. 2)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang I'tikaf dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Perbuatan
yang perlu dilakukan oleh orang yang I'tikaf
Syaikh Ibnu
Utsaimin berkata, "Tujuan I'tikaf adalah memutuskan pergaulan dengan
manusia untuk fokus melaksanakan ketaatan kepada Allah di salah satu masjid-Nya
untuk mencari karunia-Nya, pahala-Nya, dan untuk mendapatkan Lailatul Qadr.
Oleh karena itu, sepatutnya bagi orang yang beri'tikaf menyibukkan diri dengan
berdzikr, membaca Al Qur'an, melakukan shalat, dan beribadah lainnya. Serta
menjauhi segala yang tidak berguna baginya seperti obrolan tentang dunia. Namun
tidak mengapa obrolan sejenak dengan obrolan yang mubah, baik dengan
keluarganya maupun lainnya, berdasatkan hadits Shafiyyah radhiyallahu
'anha…dst."
Penyusun
Fiqhussunnah berkata, "Dianjurkan bagi orang yang I'tikaf memperbanyak
ibadah sunat dan menyibukkan dirinya dengan shalat, membaca Al Qur'an,
bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laailaahaillallah), bertakbir,
beristighfar, mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, berdoa, dan ketaatan lainnya yang mendekatkan seseorang dengan Allah
Ta'ala dan menghubungkannya dengan
Penciptanya (Allah Ta'ala). Termasuk pula mempelajari ilmu, mempelajari
kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca sirah para nabi dan orang-orang saleh,
serta buku-buku fiqh atau buku-buku agama yang lainnya. Dan dianjurkan baginya
membuat tenda di dalam masjid mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan
makruh baginya menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang tidak berguna baginya
baik berupa ucapan maupun amalan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi
dan Ibnu Majah dari Abu Busrah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا
يَعْنِيهِ
"Termasuk tanda baiknya Islam
seseorang adalah ketika meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya."
Dan makruh
baginya berdiam dengan tidak berbicara karena mengira bahwa itu merupakan
sarana mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Imam Bukhari, Abu Dawud,
dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Ketika Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang yang tetap
berdiri, maka Beliau menanyakan keadaannya, lalu orang-orang memberitahukan,
bahwa dia adalah Abu Israil, ia bernadzar untuk tetap berdiri dan tidak akan
duduk, serta tidak akan berbicara dan akan tetap puasa." Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ،
وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
"Suruhlah dia untuk berbicara,
berteduh, duduk, dan tetap melanjutkan puasanya."
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ، وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ
إِلَى اللَّيْلِ
"Tidak ada yatim setelah baligh,
dan tidak boleh tetap diam (tidak bicara) sehari-semalam." (HR. Abu Dawud,
dan dishahihkan oleh Al Albani).
Perbuatan
yang boleh dilakukan bagi orang yang beri'tikaf
Diperbolehkan
bagi orang yang I'tikaf untuk melakukan perbuatan di bawah ini, yaitu:
1. Keluar untuk keperluan yang mendesak,
dan mengeluarkan kepala dari masjid untuk dibasuh dan disisir, atau dicukur
rambutnya. Demikian pula dibolehkan baginya menggunting kuku, membersihkan dan
mewangikan badannya, serta memakai pakaian yang bagus.
Aisyah
radhiyallahu 'anha berkata,
«كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ
فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ»
"Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam apabila beri'tikaf mendekatkan
kepalanya kepadaku, lalu aku menyisirnya, dan Beliau tidak masuk ke rumah
kecuali karena ada keperluan manusia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk
keperluan mendesak adalah makan dan minum jika tidak ada yang membawakannya,
keluar untuk buang air, muntah, hendak berwudhu dan mandi.
Ibnul
Mundzir berkata, "Para ulama sepakat, bahwa orang yang I'tikaf berhak
keluar dari tempat I'tikafnya untuk buang air besar dan buang air kecil, karena
ini termasuk hal yang tidak dapat tidak harus dilakukan."
2. Bagi orang yang beri'tikaf diperbolehkan
untuk makan, minum, dan tidur di masjid, tentunya sambil menjaga kebersihan dan
kerapihan masjid.
3. Melakukan wudhu di masjid. Hal ini
berdasarkan perkataan seseorang yang melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berwudhu dengan ringan
di masjid (HR. Baihaqi dengan sanad jayyid, dan Ahmad dengan sanad yang
shahih).
4. Membuat kemah kecil di pojok masjid.
Aisyah
berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh
terakhir bulan Ramadhan, lalu aku menyiapkan tenda untuknya, kemudian Beliau
shalat Subuh, lalu masuk ke tempat I'tikafnya. Maka Hafshah meminta izin kepada
Aisyah untuk membuat tenda, lalu Aisyah mengizinkan, dan Hafshah pun membuat
tenda. Ketika Zainab binti Jahsy melihatnya, maka ia membuat tenda lagi. Pada
pagi harinya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat beberapa tenda, lalu
bersabda, "Apa ini?" Lalu diberitahukan kepada Beliau, kemudian Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apakah kebajikan yang kalian
inginkan?" Maka Beliau meninggalkan I'tikaf pada bulan itu, kemudian
beri'tikaf pada sepuluh hari bulan Syawwal." (HR. Bukhari)
Menurut
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, bahwa Beliau khawatir maksud mereka melakukan
hal itu adalah karena cemburu dan ingin dekat dengan Beliau, atau karena ketika
istri-istrinya berkumpul di dekatnya, maka seakan-akan Beliau sedang berada di
rumahnya, dimana bisa saja Beliau disibukkan dari fokus beribadah karena hal itu sehingga tujuan
I'tikaf hilang.
Dalam
hadits di atas juga terdapat dalil, bahwa seorang suami berhak mencegah
istrinya I'tikaf ketika tidak diizinkannya. Dan inilah pendapat yang dipegang
mayoritas ulama. Namun mereka berselisih, jika seorang suami sebelumnya telah
mengizinkan, apakah boleh baginya mencegahnya setelah izinnya? Menurut Imam
Syafi'i, Ahmad, dan Dawud, bahwa suami berhak mencegahnya dan mengeluarkannya
dari I'tikaf yang sunat.
5. Membawa kasur atau bantal.
6. Dibolehkan bagi wanita untuk
mengunjungi suaminya yang sedang I'tikaf, dan dibolehkan bagi suaminya mengantarnya
sampai ke pintu masjid.
Shafiyyah
radhiyallahu 'anha mengatakan, bahwa ia pernah mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjenguknya ketika Beliau sedang
beri'tikaf di masjid pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Kemudian Shafiyyah
bangun untuk pulang, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bangun
bersamanya; sehingga ketika Beliau telah sampai di dekat pintu masjid; dekat
pintu Ummu Salamah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ada dua orang
Anshar yang lewat, lalu mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, kemudian pergi, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Pelan-pelanlah kamu berdua!" Lalu keduanya berkata,
"Subhaanallah, wahai Rasulullah," dan mereka merasa berat karena
perkataan itu. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ
الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا
"Sesungguhnya setan masuk melalui
peredaran darah. Saya khawatir jika ia memasukkan sesuatu ke dalam
hatimu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Istri
juga boleh beri'tikaf dengan suaminya atau ber'itkaf sendiri. Hal ini
berdasarkan kata-kata Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seorang wanita yang
terkena darah istihadhah beri'tikaf bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam (dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa wanita itu adalah Ummu salamah),
ia (wanita ini) kadang melihat warna merah dan kuning (darah), dan terkadang
kami meletakkan wadah di bawahnya ketika ia shalat." (HR. Bukhari)
Faedah:
Bagi orang yang
I'tikaf diperbolehkan melakukan azan di menara jika pintunya di masjid atau di
dalam masjid. Ia juga boleh menaiki atap masjid, karena masih menjadi bagian
masjid. Tetapi jika pintu menara di luar masjid, maka batal I'tikafnya jika ia
sengaja melakukannya. Dan serambi atau halaman masjid termasuk masjid menurut ulama
madzhab Hanafi, Syafi'i, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Namun menurut Imam
Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa halaman tidak termasuk
daripadanya. Oleh karena itu, orang yang I'tikaf tidak boleh keluar kepadanya
(dari kitab Fiqhus sunnah bagian I'tikaf).
Perbuatan
yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang I'tikaf
Syaikh Ibnu
Utsaimin berkata, "Dan bagi orang yang I'tikaf diharamkan melakukan jima'
dan pendahulunya seperti mencium dan menyentuh (istri) dengan disertai syahwat.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Sedangkan kamu beri'tikaf
dalam masjid." (Terj. QS. Al Baqarah: 187)."
Dan I'tikaf
menjadi batal karena beberapa perkara berikut:
- Memutuskan niat I'tikaf.
- Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan.
- Berjima'.
Ibnu
Abbas berkata, "Jika orang yang beri'tikaf melakukan jima', maka batal
I'tikafnya dan ia memulai kembali." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dan Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih).
Namun
tidak mengapa menyentuh istri tanpa disertai syahwat, karena istri Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyisir rambut Beliau ketika Beliau
I'tikaf. Adapun mencium dan menyentuh istri dengan syahwat, maka menurut Abu
Hanifah dan Ahmad, bahwa orang itu telah berbuat buruk karena telah mengerjakan
perkara yang haram baginya, namun I'tikafnya tidak batal kecuali jika turun
maninya. Adapun Imam Malik, maka ia berpendapat, bahwa yang demikian membuat
batal I'tikafnya, karena hal itu merupakan mubasyarah (bersentuhan kulit) yang
haram sehingga batal sebagaimana ketika keluar maninya.
Dalam
Al Fiqhul Muyassar disebutkan, bahwa termasuk ke dalam hukum jima' (sehingga
membuat batal I'tikaf) adalah mengeluarkan mani dengan syahwat, seperti melakukan
onani dan berhubungan badan pada selain farji.
- Hilang akal.
- Haidh dan nifas.
- Murtad.
Mengqadha' I'tikaf
Barang siapa yang sudah masuk beri'tikaf sunat, lalu ia
memutuskannya, maka dianjurkan mengqadhanya. Ada yang mengatakan, bahwa ia
wajib mengqadha.
Imam Tirmidzi berkata, "Ahli ilmu berbeda pendapat
tentang orang yang I'tikaf ketika memutuskan I'tikafnya sebelum menyempurnakan apa
yang diniatkannya."
Imam Malik berpendapat, bahwa apabila ia menyudahi
I'tikafnya, maka ia harus mengqadha'. Mereka beralasan dengan hadits yang
menerangkan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari I'tikafnya,
lalu beri'tikaf lagi pada sepuluh hari bulan Syawwal.
Imam Syafi'i berkata, "Jika ia tidak bernadzar
I'tikaf, atau mewajibkan sesuatu kepada dirinya dan I'tikafnya sunat, lalu ia
keluar (dari I'tikafnya), maka tidak mesti mengqadha, kecuali jika ia ingin
mengqadhanya atas dasar pilihannya sendiri.
Bernadzar untuk I'tikaf
Adapun orang yang bernadzar untuk I'tikaf sehari atau
beberapa hari, lalu ia mulai mengerjakannya kemudiian membatalkannya, maka ia
harus mengqadhanya ketika mampu berdasarkan kesepakatan para imam. Jika ia
meninggal dunia sebelum mengqadhanya, maka tidak perlu diqadhakan.
Tetapi menurut Imam Ahmad, bahwa walinya yang
mengqadhakannya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abdul Karim bin Umayyah, ia
berkata: Aku mendengar Abdullah bin Abdullah bin Utbah berkata,
"Sesungguhnya ibu kami meninggal dan ia punya kewajiban I'tikaf, lalu aku
bertanya kepada Ibnu Abbas, maka ia (Ibnu Abbas) menjawab, "Beri'tikaflah
untuknya dan berpuasalah."
Sa'id bin Manshur meriwayatkan, bahwa Aisyah pernah
beri'tikaf untuk saudaranya yang wafat.
Bernadzar untuk I'tikaf di masjid tertentu
Barang siapa yang bernadzar untuk I'tikaf di salah satu
dari tiga masjid utama (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha),
maka ia wajib memenuhi nadzarnya. Hal ini, karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ
مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
"Tidak
dilakukan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid; Masjidiharam, Masjid Rasul
shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Adapun apabila seseorang bernadzar I'tikaf di selain
tiga masjid ini, maka tidak wajib beri'tikaf pada masjid yang ia tentukan, dan
ia bisa beri'tikaf di masjid yang ia inginkan, karena Allah Ta'ala tidak
menjadikan tempat tertentu untuk beribadah kepada-Nya, dan karena tidak ada
keutamaan bagi suatu masjid di atas masjid-masjid yang lain kecuali tiga masjid
tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَامَ ، وَ صَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةٍ فِي مَسْجِدِيْ
هَذَا بِمِائَةِ صَلاَةٍ
"Shalat
di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid selainnya kecuali
Masjidilharam, dan shalat di Masjidilharam lebih utama dari shalat di masjidku
dengan seratus kali." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh al
Albani dalam Shahihul Jami' no. 3841)
Tetapi jika seseorang bernadzar untuk I'tikaf di Masjid
Nabawi, maka boleh baginya beri'tikaf di Masjidilharam, karena Masjidilharam
lebih utama daripadanya.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi
wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah, Nailul Awthar (Imam Syaukani), Al Fiqhul Muyassar
(Beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Risalah Qiyam Ramadhan (Syaikh
Al Albani), Majalis Syahri Ramadhan (Syaikh Ibnu Utsaimin), Risalah I'tikaf
(dikumpulkan oleh Ust. Mas'ud Mahmud, Lc).
0 komentar:
Posting Komentar