بسم الله الرحمن الرحيم
Sunah-Sunah Shalat
(5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang sunah-sunah
shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Sunah-Sunah Shalat
Tentang Membaca Surat Tertentu
Dalam Shalat
Ibnul Qayyim menjelaskan,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menentukan surat
tertentu dalam shalatnya, -yakni tidak membaca selain surat itu saja- kecuali
pada shalat Jum’at dan dua hari raya. Adapun semua shalat, maka sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya,
dari kakeknya, ia berkata, “Tidak ada satu surat mufashshal baik yang pendek
maupun yang panjang kecuali aku telah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena Beliau mengimami manusia dalam shalat fardhu membaca
surat-surat itu.”[i]
Dan termasuk petunjuk Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat adalah membaca surat-surat secara
sempurna, namun terkadang Beliau membagi dalam dua rakaat, dan Beliau juga
pernah membaca awal surat. Adapun membaca akhir-akhir surat atau
pertengahannya, maka tidak ada riwayat tentang itu yang dihapal dari Beliau.
Tentang membaca dua surat
dalam satu rakaat, maka Beliau pernah melakukannya dalam shalat sunah,
sedangkan dalam shalat fardhu, maka tidak ada riwayat yang dihapal dari Beliau.
Sedangkan hadits Ibnu Mas’ud yang menyebutkan, bahwa ia mengetahui surat-surat
yang sebanding, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menggabung dua surat itu dalam satu rakaat, seperti surat Ar Rahman dan An
Najm dalam satu rakaat, surat Al Qamar dan Al Haaqqah dalam
satu rakaat, surat Ath Thuur dan Adz Dzaariyat dalam satu rakaat,
surat Al Waqi’ah dan Al Qalam dalam satu rakaat...dst. maka ini
sekedar menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa
menyebutkan pada shalat apa Beliau melakukan; yakni apakah dalam shalat fardhu
atau sunah? Dan itu mengandung dua kemungkinan.
Adapun membaca satu surat
dalam dua rakaat bersamaan, maka jarang sekali Beliau lakukan. Abu Dawud
meriwayatkan dari seseorang yang berasal dari suku Juhainah, bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat idzaa zulzilatil
ardhu (Az Zalzalah) pada kedua rakaat itu, ia berkata, “Aku tidak tahu,
apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca itu karena lupa atau
sengaja?” [ii]
Memanjangkan rakaat pertama
dalam shalat Subuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memanjangkan rakaat pertama daripada rakaat kedua dalam shalat Subuh,
dan pada shalat lainnya. Terkadang Beliau memanjangkannya sampai tidak
terdengar pijakan kaki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memanjangkan
bacaan dalam shalat Subuh melebihi shalat-shalat fardhu yang lain. Yang
demikian adalah karena bacaan pada waktu Subuh itu disaksikan; yakni disaksikan
Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya. Ada pula yang mengatakan, disaksikan oleh
para malaikat malam dan siang.
Dua pendapat tersebut didasari
atas penjelasan tentang turunnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala (ke langit dunia);
yakni apakah sampai selesai shalat Subuh atau sampai terbit fajar? Dalam hal
ini ada riwayat yang datang menjelaskan ini dan itu. Di samping itu, karena
jumlah rakaatnya sedikit, maka memanjangkannya sebagai ganti dari jumlah rakaat
yang sedikit. Selain itu, karena shalat tersebut dilakukan setelah tidur,
dimana sebelumnya manusia dalam kondisi istirahat, dan mereka juga tidak
melakukannya setelah mendatangi mata pencaharian mereka dan menjalani
sebab-sebab memperoleh (harta) dunia. Selain itu juga, karena shalat Subuh
dilakukan ketika suasana menyatu antara pendengaran, lisan, dan hati karena
kosongnya dan tidak adanya kesibukan, sehingga Al Qur’an pun dapat dipahami dan
ditdabburi. Di samping itu, shalat Subuh merupakan dasar amal dan awalnya,
sehingga diberikan bagian lebih dalam hal perhatian dan dengan memanjangkan pelaksanaannya.
Ini adalah rahasia-rahasianya yang dapat diketahui oleh orang-orang yang
memperhatikan rahasia-rahasia syariat, tujuan, dan hikmah-hikmahnya.
Ibnul Qayyim juga menjelaskan,
bahwa bacaan Beliau panjang, Beliau berhenti pada setiap ayat, dan memanjangkan
suaranya.
Demikianlah penjelasan Ibnul
Qayyim dalam Zaadul Maa’ad.
Hal yang dianjurkan ketika
membaca Al Qur’an
Ketika membaca Al Qur’an
dianjurkan memperbagus suaranya dan memperindahnya. Dalam hadits, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ»
“Hiasilah
Al Qur’an dengan suaramu.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan
oleh Al Albani)
«لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالقُرْآنِ»
“Bukan
termasuk orang yang mengikuti jejak kami orang yang tidak membaguskan bacaan Al
Qur’an.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
«إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا بِالْقُرْآنِ، الَّذِي إِذَا
سَمِعْتُمُوهُ يَقْرَأُ، حَسِبْتُمُوهُ يَخْشَى اللَّهَ»
“Sesungguhnya
di antara orang yang paling bagus suaranya dalam membaca Al Qur’an adalah orang yang jika engkau dengarkan ia
membacanya, maka engkau mengira ia takut kepada Allah.” (HR. Ibnu Majah, dan
dishahihkan oleh Al Albani)
«مَا
أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ، مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى
بِالْقُرْآنِ، يَجْهَرُ بِهِ»
“Allah
tidaklah mendengarkan sesuatu seperti yang Dia dengarkan dari Nabi-Nya yang
bagus suaranya, membaca Al Qur’an dengan merdu sambil mengeraskannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa
disunahkan bagi setiap orang yang membaca A Qur’an, baik di dalam shalat maupun
di luarnya ketika sampai pada ayat yang isinya rahmat meminta kepada Allah
Ta’ala karunia-Nya, dan ketika sampai pada ayat azab, berlindung kepada-Nya
dari neraka, azab, keburukan, atau dari hal yang tidak disukai, atau ia berkata,
“Allahumma inni as’alukal ‘afiyah” (artinya: ya Allah, aku meminta
kepada-Mu keselamatan darinya) atau semisal itu. Dan ketika sampai pada ayat
yang isinya menyucikan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka ia menyucikan Allah,
misalnya mengatakan, “Subhaanahu wa Ta’ala” atau “Tabarakallahu
Rabbul ‘alamin” atau “Jallat ‘azhamatu Rabinaa,” dsb.
Imam Nawawi juga menjelaskan,
kami meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman radiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Suatu malam aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
Beliau memulai dengan membaca surat Al Baqarah, dalam hati aku berkata,
“Mungkin Beliau akan ruku pada ayat ke-100,” ternyata Beliau terus melanjutkan.
Beliau membaca surat itu (hingga selesai) dalam satu rakaat. Dalam hati aku
berkata, “Mungkin Beliau akan ruku pada ayat terakhir (surat Al Baqarah),”
ternyata Beliau terus melanjutkan dengan surat Ali Imran dan membacanya hingga
selesai, lalu melanjutkan dengan surat An Nisaa hingga selesai. Beliau
membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat yang isinya tasbih, maka
Beliau bertasbih, dan ketika sampai pada ayat yang mengandung permintaan, maka
Beliau meminta, dan ketika sampai pada ayat yang mengandung perlindungan, maka
Beliau pun berindung (HR. Muslim).
Imam Nawawi juga menjelaskan,
kawan-kawan kami (yang semadzhab) berkata, “Hal ini dianjurkan bagi pembaca Al
Qur’an, yakni bertasbih, memohon, dan berlindung, baik di dalam shalat maupun
di luar shalat. Demikian pula baik bagi imam, makmum, maupun munfarid (orang
yang shalat sendiri), karena itu adalah doa, sehingga mereka sama dalam hal ini
sebagaimana mengucapkan amin. Demikian pula bagi setiap orang yang membaca ayat
“Alaisallahu bi ahkamil haakimin” mengucapkan “Balaa wa anaa ‘alaa
dzaalika minasy syahidin” (artinya: Benar, dan saya termasuk saksinya),
ketika ia membaca ayat, “Alaisa dzaalika biqaadirin ‘alaa ay yuhyiyal mautaa,”
ia mengucapkan, “Balaa asyhad,” (artinya: Ya, aku menjadi saksinya).
Saat membaca ayat, “Fa bi ayyi haditsin ba’dahu yu’minun” ia mebaca, “Aaamantu
billah,” (artinya: aku beriman kepada Allah). Dan ketika ia membaca, “Sabbihismarabbikal
a’laa,” maka ia mengucapkan, “Subhaana Rabbiyal A’laa,” (artinya:
Mahasuci Allah Yang Mahatinggi). Hal ini boleh diucapkan dalam shalat
maupun di luarnya.
Pada saat kapan bacaan Al
Qur’an dijahar(keras)kan atau disir(pelan)kan?
Sunnahnya seorang yang shalat
menjaharkan bacaannya pada dua rakaat shalat Subuh, dua rakaat shalat Jumat,
dua rakaat shalat Maghrib, dua rakaat shalat Isya, shalat hari raya, shalat
kusuf, dan shalat istisqa (meminta kepada Allah agar diturunkan hujan).
Dan sunahnya mensirkan pada
shalat Zhuhur, Ashar, rakaat ketiga shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir
shalat Isya.
Adapun shalat-shalat sunah
yang lain, untuk shalat yang dilakukan pada siang hari, maka tidak dijaharkan,
sedangkan untuk shalat yang dilakukan di malam hari, maka seseorang diberikan
pilihan antara menjaharkan dan mensirkan. Yang utama adalah pertengahan di
antara keduanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam suatu malam pernah melewati Abu Bakr yang sedang shalat malam dengan
merendahkan suaranya, dan pada saat yang bersamaan Beliau melewati Umar yang
sedang shalat malam dengan mengeraskan suaranya. Ketika keduanya berkumpul di
hadapan Beliau, maka Beliau bersabda, “Wahai Abu Bakr, aku melewati
(rumah)mu sedangkan engkau dalam keadaan shalat dengan merendahkan suaramu.”
Abu Bakr berkata, “Wahai Rasulullah, aku memperdengarkan kepada Tuhan yang
kepada-Nya aku bermunajat.” Beliau kemudian bersabda kepada Umar, “Wahai
Umar, aku melewati (rumah)mu sedangkan engkau dalam keadaan shalat dengan
mengeraskan suaramu.” Umar berkata, “Wahai Rasulullah, aku membangunkan
orang-orang yang tidur dan mengusir setan.”
Maka Beliau bersabda kepada
Abu Bakr, “Wahai Abu Bakar, naikkanlah suaramu sedikit.” Dan bersabda
kepada Umar, “Rendahkanlah suaramu sedikit.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud,
dan dishahihkan oleh Al Albani)
Jika pada prakteknya,
seseorang lupa lalu mensirkan bacaan pada shalat yang dijaharkan atau
menjaharkan bacaan pada shalat yang disirkan, maka tidak apa-apa. Namun jika
ingat di sela-sela melakukan itu, maka ia lanjutkan seperti itu.
Bersambung...
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh
S. Sabiq), Zaadul Ma’aad (Ibnul
Qayyim), Makbatah Syamilah versi 345, dll.
0 komentar:
Posting Komentar