Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫منهج أهل السنة والجماعة‬‎
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:
Berikut ini lanjutan risalah Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma Amin.
Berhukum dengan menggunakan hukum Allah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tunduk, ridha dan taat secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka memandang bahwa beriman bahwa Allah adalah Al Hakam (Yang berhak memutuskan hukum) termasuk beriman kepada rububiyyah dan uluhiyyah-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya baik dalam menetapkan hukum maupun dalam perintah-Nya.
Menurut mereka, membuat syari’at yang tidak diizinkan Allah, mengajak berhukum kepada thaghut, dan meninggalkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam atau merubahnya adalah bentuk kekufuran, dan siapa saja yang meyakini bolehnya seseorang keluar dari ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia kafir.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa meninggalkan hukum Allah itu termasuk sebab ummat tertimpa bala’ atau musibah, sebab timbulnya perpecahan, kehinaan, dan kerendahan.
Hukum itu terbagi menjadi tiga bagian:
1.     Hukum Munazzal, yaitu syari’at Allah dalam kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya, hukum ini semuanya adalah hak (benar).
2.     Hukum Mu’awwal, yaitu hukum yang merupakan ijtihad ulama mujtahidin, dimana hukumnya bisa benar dan bisa salah. jika benar mendapatkan dua pahala, dan jika keliru mendapatkan satu pahala (karena usaha kerasnya mencari yang benar).
3.     Hukum Mubaddal, yaitu hukum yang tidak menggunakan hukum Allah (munazzal), pelakunya bisa berada dalam kekufuran atau kezaliman atau kefasikan (lihat QS. Al Maa’idah ayat 44, 45 dan 47)
Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah bisa menjadi kafir apabila ia menghina hukum Allah, menganggap bahwa hukum selain Allah lebih baik atau lebih cocok dipakai seperti orang yang membuatkan undang-undang yang menyalahi syari’at Islam, di mana mereka membuatkan undang-undang tersebut karena adanya anggapan bahwa hukum Allah tidak cocok lagi atau kurang baik dsb.
Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah bisa juga menjadi zalim (tidak kafir) apabila ia melakukan hal itu, namun ia tetap meyakini bahwa hukum Allah-lah yang benar, yang baik, yang cocok, dan hukum yang dipakainyalah yang salah, ia juga tidak meremehkannya.
Dan bisa menjadi fasik (tidak kafir), apabila ia melakukan hal itu (yakni tidak menggunakan hukum Allah) karena ada rasa kasihan kepada yang terkena hukuman itu, atau karena diberi sogokan (risywah) namun ia tetap yakin bahwa hukum Allah-lah yang benar dan hukumnya salah, seperti karena si pencuri itu adalah kerabatnya dsb.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menerima dibeda-bedakannya kewajiban agama antara masyarakat umum (awam) dengan orang khusus (khawash) seperti yang dianut oleh kaum Sufi yang tersesat, dimana menurut mereka syari’at untuk masyarakat umum; tidak untuk orang-orang khusus/istimewa.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menolak paham sekularisme yang memisahkan antara urusan agama dengan negara, bahkan menjauhkan agama dari negara adalah sebab kemunduran, kehancuran dan rusaknya bangsa tersebut.
Siapakah yang mengetahui yang ghaib?
Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman bahwa hanya Allah sajalah yang mengetahui hal ghaib, dan terkadang Allah memberitahukan sebagian dari hal ghaib itu kepada rasul yang diridhai-Nya, siapa saja yang beranggapan bahwa ada seseorang yang mengetahui hal ghaib maka dia kafir.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa mempercayai para tukang nujum atau peramal adalah sebuah kekufuran, mendatanginya adalah dosa yang besar.
Tentang Tawassul
Wasilah yang diperintahkan dalam Al Qur’an,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
« Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan wasilah kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu mendapat keberuntungan. » (QS. Al Ma’idah : 35)
Menurut Ahlus Sunnah adalah semua amal saleh yang mendekatkan diri kepada Allah.
Dan tawassul (memakai perantara) itu terbagi menjadi tiga bagian:
1.     Masyru’ (disyari’atkan), yaitu dengan menggunakan nama-nama Allah dan sifat-Nya (misalnya mengatakan, “Yaa Razzaaq, karuniakanlah rezeki kepadaku”), dengan amal saleh yang dikerjakannya (misalnya mengatakan, “Ya Allah, jika amal yang aku lakukan ini karena mengharapkan Wajah-Mu, maka kabulkanlah permohonanku”), dan dengan doa orang saleh yang masih hidup (misalnya mengatakan, “Ustadz, doakan saya kepada Allah agar Dia menyelamatkan saya di perjalanan”).
2.     Bid’ah, yaitu tawassul yang diada-adakan, misalnya tawassul dengan dzat/diri para nabi, orang-orang saleh, jah (kedudukan mereka), hak mereka, ataupun dengan kehormatan mereka dsb. Misalnya mengatakan, “Bi jaahin Nabi” (artinya: dengan kedudukan Nabi), “Yaa Rabbi bil mushthafaa” (artinya: Yaa Rabbi, dengan diri Nabi) atau seperti dalam shalawat badar “Bi ahlil badri yaa Allah” (artinya: dengan perantaraan ahli badar, ya Allah). Ini semua adalah bid’ah dan tidak benar.
3.     Syirk, yaitu bertawassul dengan menjadikan orang-orang yang sudah mati sebagai perantara dalam beribadah sehingga berdoa kepada mereka, meminta pertolongan dan perlindungan kepada mereka, dsb. Ini adalah syirk dan dosa yang besar.
Tentang Berkah
Menurut Ahlus Sunnah, bahwa berkah itu berasal dari Allah, dan sebagian makhluk-Nya diberikan keberkahan. Tidak boleh mengatakan sesuatu ini ada berkahnya kecuali jika ada dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Maksud berkah di sini adalah bertambah banyaknya kebaikan (adanya nilai lebih) atau tetap adanya kebaikan itu pada sesuatu.
Contoh berkah pada sesuatu berdasarkan dalil adalah:
a.     Berkah pada waktu misalnya berkah malam Lailatul qadr.
b.     Berkah pada tempat misalnya masjid yang tiga (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha)
c.     Berkah pada benda misalnya air Zamzam
d.     Berkah pada amal, semua amal shalih itu diberikan keberkahan.
e.     Berkah pada diri, misalnya berkahnya diri para nabi, tidak boleh mencari berkah pada diri seseorang kecuali pada diri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan jejak-jejaknya, dan berkah pada diri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah hilang dengan wafatnya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Menurut Ahlus Sunnah, bahwa tabarruk (mencari berkah) itu termasuk masalah tauqiifiyyah (wajib diam menunggu dalil). Oleh karena itu, tidak boleh mencari/ngalap berkah kecuali jika ada dalil yang menyatakan, bahwa pada sesuatu itu ada berkahnya.
Ziarah kubur
Ahlus Sunnah wal Jama'ah setelah memperhatikan keadaan manusia dalam menziarahi kuburan, membagi-bagi ziarah kubur kepada tiga bagian:
1.   Masyru’ (disyari’atkan), yaitu ziarah kubur dengan tujuan agar ingat kepada kematian dan akhirat, mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan mendoakan mereka (bukan berdoa kepada mereka).
2.   Bid’ah, di mana hal ini dapat menafikan kesempurnaan tauhid, ini adalah sarana yang mengarah kepada perbuatan syirk misalnya :
a.    Beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah di samping kuburan,
b.   Mencari/ngalap berkah di kuburan
c.    Membuat bangunan di atasnya, mengecatnya, menyalakan lampu di atasnya.
d.   Menjadikan kuburan sebagai masjid.
e.   Melakukan safar khusus ke kuburan (tour ziarah kubur).
f.     Dsb.
Ini semua adalah bid’ah.
3.   Syirk, dimana hal ini dapat menafikan tauhid, yaitu mengarahkan ibadah kepada penghuni kubur, misalnya berdoa kepada penghuni kubur,  berthawaf di kuburan, bernadzar karenanya, dsb.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah semua sarana yang bisa mengarah kepada syirk dan bid’ah dalam agama wajib dijauhi, semua yang diada-adakan dalam agama adalah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraaji’: Mujmal ushul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (Dr. Nashir Al ‘Aql), Mukhtashar ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah  (M. Ibrahim Al Hamd), Al ‘Aqiidah Ash Shahiihah (Syaikh Ibnu Baz), Bekal Menuju Akhirat (penyusun), Syarh Tsalaatsatil Ushuul (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Kitab At Tauhid (DR. Shaalih Al Fauzaan), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jazaa’iriy), Syarh Lum’atil I’tiqad (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger