بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf Dalam Menghadapi Fitnah (Pertikaian) di Tengah-Tengah Kaum
Muslimin
Segala puji
bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini keteladanan kaum Salaf dalam menghadapi fitnah yang terjadi di
tengah-tengah kaum muslimin yang
kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf dan lainnya, semoga
Allah menjadikan penerjemahan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
Keteladanan kaum salaf dalam menghadapi fitnah di
tengah-tengah kaum muslimin
Abu Nu’aim berkata, “Telah menceritakan kepada
kami Ahmad Al Hakim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khuzaimah, telah
menceritakan kepada kami Imran bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abdul
Warits, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Juhadah, dari Nu’aim bin
Abi Hind, dari Abu Hazim, dari Husain bin Kharijah Al Asyja’iy ia berkata,
“Ketika Utsman terbunuh, pertikaian di tengah kaum muslimin semakin rumit
bagiku, maka aku berdoa, “Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku kebenaran yang
dapat kupegang teguh.” Tiba-tiba pada waktu tidur aku bermimpi melihat
dunia dan akhirat yang dibatasi oleh suatu dinding, lalu aku memanjat dinding
itu ternyata kudapati banyak makhluk. Kemudian mereka berkata, “Kami adalah
para malaikat.” Aku bertanya, “Kalau begitu, mana para saksinya?” Mereka
menjawab, “Naikilah anak-anak tangga!” Kemudian aku menaiki tangga demi tangga.
Ternyata ada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Ibrahim
‘alaihis salam. Ketika itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, “Mintakanlah ampunan untuk umatku!” Nabi
Ibrahim menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka
ada-adakan setelahmu. Mereka saling menumpahkan darah dan membunuh pemimpin
mereka. Mengapa mereka tidak melakukan seperti yang dilakukan kekasihku, yaitu
Sa’ad (bin Abi Waqqash).”
Husain Al Asyja’i berkata, “Aku telah bermimpi. Akan kuceritakan
mimpiku ini kepada Sa’ad. Aku pun menceritakan kepadanya. Dengan cerita itu,
tidak ada hal lain yang lebih membuatnya gembira daripadanya.”
Sa’ad berkata, “Sungguh rugi orang yang tidak menjadi menjadi kekasih Nabi Ibrahim alaihis salam.”
Aku bertanya, “Lalu Anda bersama kelompok yang mana?” Ia menjawab,
“Aku tidak bersama seorang pun di antara mereka.”
“Kalau begitu, apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Tanyaku.
Ia menjawab, “Apakah kamu punya kambing?”
Aku menjawab, “tidak.”
Saa’d berkata, “Kalau begitu, belilah seekor kambing . Peliharalah kambing itu, sampai kebenaran
menjadi jelas bagimu.” (Siyar A’lamin Nubala 1/120)
Abu Mu’awiyah meriwayatkan dari Al A’masy, dari Zaid bin Wahb, ia
berkata, “Ketika Utsman memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk datang ke kota Madinah,
orang-orang pun berkumpul dan berkata kepadanya, “Tinggallah di sini, dan
jangan pergi! Kami akan melindungimu dari sesuatu yang tidak engkau sukai.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Sudah merupakan hak beliau untuk saya taati. Memang akan
terjadi pertikaian dan banyak fitnah, namun aku tidak ingin menjadi orang yang
pertama membukanya.” Ia menolak tawaran orang-orang lalu berangkat pergi
(menemui Utsman).” (Siyar A’lamin
Nubala 1/489).
Dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, ia berkata, “Ketika mereka (para pemberontak)
menikam Utsman, ayahku shalat di malam hari dan berdoa, “Ya Allah,
lindungilah aku dari fitnah sebagaimana Engkau lindungi hamba-hamba-Mu yang
saleh.” Keesokan harinya, saat aku keluar, ternyata Utsman telah wafat.” (Siyar
A’lamin Nubala 1/335).
Ibnu Uyaynah menceritakan dari Umar bin Nafi’, dari ayahnya, dari Ibnu
Umar, ia berkata, “Ali pernah mengirimkan seorang utusan kepadaku dan memberi
pesan, “Wahai Abu Abdirrahman, engkau adalah seorang yang ditaati oleh penduduk
Syam. Pergilah (ke Syam), sesungguhnya aku telah menjadikan dirimu pemimpin
bagi mereka.” Aku (Ibnu Umar) menjawab, “Aku ingatkan engkau kepada Allah, dan
juga karena kedekatan dan persahabatanku dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Hendaknya engkau memberikanku keleluasaan (untuk tidak menerima
jabatan)?” Ali pun menolak, maka aku meminta pertolongan kepada Hafshah untuk
membujuk Ali, namun Ali tetap menolak. Maka pada malam hari aku pergi ke
Mekkah, lalu ada yang memberitahukan kepadanya, bahwa aku telah pergi ke Syam.
Maka diutuslah seseorang untuk mencariku. Utusan itu sampai ke Al Marbid dan memacu unta tunggangannya
dengan memecutnya dengan kain sorbannya agar bisa mengejarku. Hafshah segera
mengirim kabar, bahwa aku tidak pergi ke Syam, melainkan pergi ke Mekah, maka
keadaan pun menjadi tenang.” (Siyar A’lamin Nubala 3/224).
Dari Abdullah bin Ubaid bin Umair, dari Ibnu
Umar, ia berkata, “Sesungguhnya permisalan kita menghadapi pertikaian ini
adalah seperti kaum yang meniti jalan yang diketahuinya. Ketika dalam keadaan
demikian, tiba-tiba awan dan kegelapan menyelimuti mereka, lalu sebagian mereka
ada yang mengambil jalan ke kanan dan ada yang mengambil jalan ke kiri,
sehingga salah mengambil jalan. Kita pun berhenti di sana menunggu sampai Allah
memberikan titik terang kepada kita, akhirnya kita bisa melihat jalan kita
kembali, kita mengenalnya dan kembali mengambil jalan itu. Mereka semua adalah
para pemuda Quraisy yang saling berperang demi kekuasaan dan demi kehidupan
dunia ini. Aku tidak peduli, untuk tidak mendapatkan kekuasaan yang mereka
saling memperebutkannya dengan hanya memiliki sepasang sandalku tanpa tali.” (Siyar A’lamin Nubala 3/237)
Dari Sallam bin Miskin, aku mendengar Al Hasan
bercerita, “Ketika Utsman terbunuh, mereka berkata kepada Ibnu Umar, “Engkau
adalah orang terhormat, dan anak dari orang terhormat. Keluarlah, agar
orang-orang membaiatmu.” Ibnu Umar menjawab, “Jika aku mampu, aku tidak ingin
ada darah yang tertumpah karena ulahku walaupun sebotol darah.” Mereka berkata,
“Keluarlah, atau engkau akan terbunuh di atas kasurmu.” Ibnu Umar terus
mengulangi kata-kata itu. Al Hasan berkata, “Mereka terus membujuknya dan
menakut-nakutinya, tetapi mereka tidak sanggup merubah pendiriannya.” (Siyar
A’lamin Nubala 3/239)
Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam menuliskan
biografi Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan,
“Di belakang Mu’awiyah ada ada banyak orang yang
mencintainya, bahkan mengkultuskannya, dan mengutamakannya. Bisa jadi Mu’awiyah
telah menguasai jiwa mereka dengan kemuliaan, sikap santun, dan kedermawanannya,
atau karena mereka lahir di Syam dalam keadaan mencintainya, dimana anak-anak
mereka tumbuh di atas sikap demikian. Di tengah-tengah mereka juga ada beberapa
orang sahabat, sejumlah besar tabi’in dan orang-orang mulia, dimana mereka ikut
bersamanya memerangi penduduk Irak, yang tumbuh besar di atas sikap memusuhi (Mu’awiyah),
kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu. Sebagaimana tentara Ali
radhiyallahu ‘anhu dan rakyatnya –selain orang-orang Khawarij- tumbuh di atas
mencintainya, membantunya, membenci orang yang memberontak terhadapnya serta
berlepas diri dari mereka, namun sebagian lagi ada yang berlebihan dalam
memberikan dukungan kepadanya (seperti yang dilakukan kaum Syi’ah padahal Ali
berlepas diri dari mereka). Demi Allah, bagaimana mungkin bisa bersikap adil
dan bijaksana, sementara mereka dibesarkan di sebuah tempat yang tidak dilihat
selain sikap berlebihan dalam mencintai atau berlebihan dalam membenci lawan?
Kita memuji Allah atas keselamatan kita, karena Dia telah menghidupkan kita di
zaman dimana kebenaran telah jelas, dan kedua pihak yang bertikai pun telah
jelas kedudukannya. Kita juga mengetahui dalil-dalil yang dipergunakan oleh
masing-masing pihak. Akhirnya masalahnya semakin jelas bagi kita, kita pun bisa
memaafkan dan memintakan ampunan untuk mereka, serta mencintai dengan batasan
yang layak. Kita juga memohonkan rahmat untuk mereka yang memberontak karena
alasan yang bisa diterima secara garis besar atau karena keliru yang dapat
diampuni insya Allah. Kita hanya mengatakan sebagaimana yang Allah ajarkan
kepada kita,
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Rabb Kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang." (QS. Al Hasyr: 10)
Kita juga mendoakan ridha Allah untuk mereka yang
memisahkan diri dari dua kelompok yang bertikai, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash,
Ibnu Umar, Muhammad bin Maslamah, dan Sa’id bin Zaid. Dan kita berlepas diri
dari orang-orang Khawarij yang lepas dari Islam yang memerangi Ali dan
mengkafirkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, kaum Khawarij adalah
anjing-anjing neraka, telah lepas dari agama ini. Meskipun begitu, kita tidak
menyatakan bahwa mereka kekal di neraka seperti halnya para penyembah
patung dan salib.” (Siyar A’lamin
Nubala 3/128).
Dari Amr bin Murrah, dari Asy Sya’biy, ia
menceritakan, bahwa jika ada yang berkata kepada Masruq, “Mengapa engkau
tertinggal dalam mengikuti berbagai peperangan bersama Ali?” Ia menjawab,
“Bagaimana pendapatmu, jika kalian semua sedang berbaris rapi, kemudian
tiba-tiba malaikat turun dan membacakan ayat kepada kalian, “Dan janganlah
kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS. An Nisaa’:
29) apakah ayat ini akan mencegah kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka Masruq
berkata, “Demi Allah, sesungguhnya malaikat yang mulia telah turun menyampaikan
ayat itu melalui lisan Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayatnya jelas
dan tidak dimansukh (dihapus) oleh sesuatu pun.” (Siyar A’lamin Nubala
4/68)
Dari Ats Tsauriy, dari Harits Al Azdiy, ia berkata, “Ibnul Hanafiyyah
berkata, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menjaga kehormatan dirinya, menahan
tangannya, menahan lisannya, dan duduk di rumahnya. Ia akan memperoleh pahala
sesuai niatnya, dan akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya.
Ingatlah! Sesungguhnya amal perbuatan Bani Umayyah lebih cepat gerakannya
daripada pedang-pedang kaum muslimin. Ingatlah! Sesungguhnya pemegang kebenaran
akan memiliki kekuasaan suatu saat nanti jika Allah menghendaki. Barang siapa
yang mendapatkannya pada masanya nanti, maka menurut kami ia mendapatkan
bagiannya yang tertinggi. Dan barang siapa yang mati sebelum itu, maka
sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal.” (Siyar
A’lamin Nubala 4/123)
Abu ‘Aqil Basyir bin Uqbah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Yazid
bin Asy Syikhkhir, “Apa yang dilakukan Mutharrif ketika orang-orang membuat
huru-hara?” Ia menjawab, “Beliau diam di rumahnya; tidak menghadiri shalat Jum’at
dan jamaah sampai persoalannya jelas.” (Siyar A’lamin Nubala 4/191)
Ayyub berkata, “Mutharrif berkata, “Duduk-duduk
dengan orang yang terpercaya lebih aku sukai daripada mencari keutamaan jihad
dengan membuat tipu daya.” (Siyar A’lamin Nubala 4/191)
Humaid bin Hilal berkata, “Orang-orang Haruri (Khawarij) datang kepada
Mutharrif bin Abdullah untuk mengajaknya mengikuti pendapat mereka, maka
Mutharrif berkata, “Wahai orang-orang Haruri! Kalau aku punya dua nyawa, dimana
salah satunya kugunakan untuk membaiat kalian, sedangkan yang satu lagi kutahan.
Jika pendapat kalian merupakan petunjuk, maka nyawa yang satu akan mengikutinya.
Tetapi jika tenyata pendapatmu adalah sebuah kesesatan, maka jika yang satu
binasa, masih ada nyawa yang lain. Tetapi sayangnya aku hanya memiliki satu
nyawa, dan aku tidak mau diperdaya begitu saja.” (Siyar A’lamin Nubala
4/191)
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar