بسم الله الرحمن الرحيم
Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah (5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma
ba’du:
Berikut
ini lanjutan risalah Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
Amin.
Tentang
sebab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa tawakkal (menyerahkan urusan) kepada
Allah adalah kewajiban agama dan masuk ke dalam ‘Aqidah Islam.
Mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) tidaklah
memahami tawakkal seperti yang dipahami oleh orang-orang yang jahil terhadap
Islam, yakni bahwa tawakkal itu hanyalah ucapan yang semata-mata dikeluarkan
oleh lisan, namun tidak masuk ke hati, atau bahwa tawakkal itu meninggalkan sebab dan
tidak perlu beramal, serta
rela dangan kehinaaan dan kerendahan. Bahkan sebenarnya tawakkal itu adalah sebuah ketaatan kepada Allah
dengan mengerjakan sebabnya, hanya saja mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
menyerahkan bagaimana hasilnya kepada Allah subhaanahu wa Ta’aala, karena hanya
Dia-lah yang kuasa mendatangkannya.
Mereka tidaklah memandang bahwa sebab adalah
penentu segalanya, yang menentukan adalah Allah. Betapa banyak orang yang yang
menjalankan sebab untuk mencapai sesuatu yang diharapkan, namun ternyata ia
tidak memperolehnya.
Oleh karena itulah, bersandar sepenuhnya
dalam mencapai sesuatu kepada sebab adalah sebuah kesyirkkan. Berpaling dari
sebab padahal ia mampu mengerjakannya adalah melanggar syariat. Dan menafikan bahwa sebab memiliki pengaruh menyelisihi
syara’ dan akal, dan tawakkal itu sama sekali tidaklah menafikan sebab.
Tentang Jama’ah dan Imamah
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa yang
dimaksud “Jamaa’ah” adalah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, para taabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga hari
kiamat, mereka Al Firqah An Naajiyah.
Siapa saja yang mengikuti jalan hidup mereka,
maka ia termasuk “Jam’aah”, meskipun dalam masalah yang sifatnya Juz’iyyah
(cabang agama) ia keliru.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang berpecah-belah dalam beragama, dan melarang
membebani kaum muslimin (fitnah), dan mewajibkan mengembalikan masalah yang diperselisihkan kaum muslimin
kepada Al Qur ‘an, As Sunnah, dan yang dipegang oleh As Salafush Shalih.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, siapa
saja yang keluar dari jama’ah kaum muslimin (seperti bughat/kaum pemberontak),
maka ia wajib dinasihati, didakwahkan, dan didebat dengan cara yang baik serta menegakkan
hujjah kepadanya, jika ia tidak mau bertaubat maka diberi hukuman yang pantas
secara syara’.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat, bahwa kaum muslimin tidak boleh dibebani dengan
masalah-masalah yang sangat rumit serta hal-hal yang terlalu dalam.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menghukumi bahwa asal kaum muslimin itu selamat niat dan
keyakinan, sampai tampak jelas memang menyalahi, asasnya adalah
mengira-ngirakan pendapat mereka dengan perkiraan yang baik, namun siapa saja
yang memang tampak keras kepala dan
buruk niatnya,
maka tidak perlu membuat banyak ta’wil lagi buatnya.
Firqah-firqah yang ada pada kaum muslimin
yang melenceng dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah terancam kebinasaan, mereka dihukumi seperti dihukuminya
orang-orang yang terancam lainnya.
Shalat Jum’at dan shalat jama’ah termasuk
syi’ar-syi’ar Islam yang agung.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, shalat di
belakang seseorang yang belum jelas keadaan sebenarnya adalah sah,
meninggalkannya hanya karena belum jelas keadaannya adalah bid’ah.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang tidak boleh shalat di belakang orang yang
menampakkan kebid’ahan atau kefasikan, padahal ia mampu untuk shalat di
belakang yang lainnya, meskipun jika dilakukan hal tersebut, maka shalatnya tetap sah, namun
pelakunya berdosa, kecuali jika tujuannya untuk menghindari mafsadat yang lebih besar.
Namun, jika ternyata yang ada imam shalatnya hanya begitu atau yang lebih buruk
darinya, maka boleh shalat di belakangnya dan tidak boleh meninggalkannya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah siapa
saja orang yang dihukumi sebagai orang kafir, maka tidak sah shalat di
belakangnya.
Imaamah kubraa (Kepemimpinan yang sifatnya menyeluruh) dianggap sah
dengan kesepakatan ummat, atau adanya bai’at dari Ahlul Halli wal ‘Aqd, demikian juga siapa saja yang mengalahkan yang lain
sehingga yang lain tunduk dan bersatu di bawahnya maka wajib ditaati dalam hal
yang ma’rufnya, dan haram hukumnya memberontak kecuali jika pemimpin tersebut
jelas-jelas melakukan kekufuran dan kita mempunyai dalil tentang kufurnya.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa
shalat, hajji, dan jihad wajib
bersama pemerintah kaum muslimin, meskipun mereka orang yang zalim.
Haram hukumnya mengadakan peperangan antar
kaum muslimin hanya karena alasan duniawi atau kepentingan golongan, hal ini
termasuk dosa yang sangat besar. Yang dibolehkan adalah memerangi ahlul bid’ah (dalam bidang Akidah),
pemberontak dan sejenisnya, jika tidak ada jalan lain yang lebih ringan dari
itu (melakukan peperangan), bahkan hal itu bisa menjadi wajib tergantung
maslahat dan situasi.
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang adil dan terpercaya, mereka adalah
ummat yang paling utama, keimanan dan kelebihan mereka dalam hal agama adalah
hal yang sudah maklum (kita ketahui bersama), mencintai mereka adalah sebuah
keimanan, sedangkan membencinya adalah sebuah kemunafikan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dalam hal yang diperselisihkan oleh para
sahabat dan tidak terlalu dalam ketika berbicara tentang hal itu; yakni dalam
hal yang malah bisa mengurangi kemuliaan mereka.
Di antara para sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, yang paling utama adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian
Utsman, lalu Ali. Mereka adalah para khalifah yang mendapat petunjuk.
Kekhalifahan mereka berlangsung secara berurut.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah termasuk
bagian agama adalah mencintai Ahlul bait (keluarga) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, berwala’ kepada mereka, memuliakan istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengetahui keutamaan mereka, mencintai imam-imam kaum muslimin terdahulu, juga
mencintai ulama sunnah, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta
menjauhi ahlul bid’ah wal ahwaa’.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, jihad fii sabiilillah adalah puncak Islam, dan tetap
berlaku sampai tibanya hari kiamat.
Tentang Amr ma’ruf dan
Nahy mungkar
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa Amar ma’ruf-Nahy mungkar termasuk syi’ar Islam
yang agung, dan menjadi sebab terjaganya jamaah kaum muslimin. Amar Ma’ruf dan Nahy Mungkar wajib sesuai kemampuan, dan dalam hal ini perlu diperhatikan maslahat.
Dalam melakukan nahy munkar kemungkinan ada 4 hal yang akan
terjadi:
1.
Yang munkar itu hilang dan digantikan dengan yang
ma’ruf.
2.
Yang munkar itu berkurang atau menjadi lebih kecil,
namun tidak hilang secara keseluruhan.
3.
Yang munkar itu hilang, namun digantikan dengan
kemunkaran yang sama besarnya.
4.
Yang munkar itu hilang, namun digantikan dengan
kemunkaran yang lebih besar.
Maka
dalam menghadapi dua kemungkinan pertama (no. 1 & 2), nahy mungkar
disyari’atkan, sedangkan pada no. 3 merupakan tempat berijtihad, dan pada kemungkinan no. 4 kita
tidak melakukan nahy munkar.
Tentang jihad
Jihad adalah salah satu syi’ar
Islam yang sangat tinggi, ia adalah puncak Islam, dan tetap berlaku
hingga tibanya hari kiamat. Ia
disyari’atkan bukanlah untuk menumpahkan darah, ia adalah ibadah, jihad
disyari’atkan untuk membela diri dari kezaliman dan untuk mendakwah Islam untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. JIhad
terbagi dua:
Pertama, Jihad
Fath/thalab yaitu jihad yang dilakukan oleh pemerintahan Islam (tentunya
mereka memiliki daulah/negara dan imam) dengan mengirim pasukan ke suatu negeri
yang memulai memerangi Islam (misalnya orang yang mendakwahkan Islam dan yang
menerima dakwah Islam disiksa dan dihalangi), tentunya dengan didahului
mendakwahkan Islam kepada mereka. Jika penduduk
negeri tersebut menerima Islam maka perang dihentikan, dan jika mereka
menolak memeluk Islam, maka mereka diberi pilihan lain yaitu membayar jizyah
(pajak)[i]. Namun jika mereka
(orang-orang kafir tersebut) menolak membayar jizyah maka barulah diperangi.
Kedua, Jihadud difaa’ yaitu
jihad yang dilakukan karena membela diri dari penindasan atau penganiayaan,
misalnya negeri kaum muslimin diserang, maka hukumnya wajib bagi
masing-masing penduduk negeri tersebut melakukan perlawanan. Jika mereka
lemah, maka bagi kaum muslimin yang berada di negeri tetangganya harus
membantu.
Tentunya jihad itu
memerlukan persiapan baik persiapan tarbawi (yakni pembinaaan kepada
masing-masing pasukan dengan ajaran Islam yang benar) serta persiapan maaddiy (yakni dengan memiliki perlengkapan perang yang
bisa digunakan untuk melumpuhkan musuh)[ii].
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraaji’: Mujmal ushul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (Dr.
Nashir Al ‘Aql), Mukhtashar ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (M. Ibrahim Al Hamd), Al ‘Aqiidah Ash
Shahiihah (Syaikh Ibnu Baz), Bekal Menuju Akhirat (penyusun), Syarh
Tsalaatsatil Ushuul (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Kitab At Tauhid (DR.
Shaalih Al Fauzaan), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al Jazaa’iriy), Syarh
Lum’atil I’tiqad (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), dll.
[i] Jizyah diambil dari orang kafir yang baligh dan merdeka bukan anak-anak dan wanita
(baik orang kafir tersebut Yahudi, Nasrani, Majusi maupun orang musyrikin)
sejumlah 1 dinar (10 dirham atau kira-kira 4 ½ gram emas), dan boleh lebih misalnya 4 dinar (40 dirham) sesuai dengan pendapat
pemerintah Islam dan kemaslahatan.
Jizyah ini diambil
pada setiap akhir tahun, adapun bagi orang kafir yang fakir atau yang tidak punya atau tidak bisa bekerja seperti karena sakit dan sudah tua maka
tidak dikenakan jizyah kepadanya. Jizyah ini diberikan untuk maslahat umum.
Dengan jizyah maka harta, darah,
dan kehormatan orang kafir dilindungi Islam.
[ii] Singkatnya seorang
mujahid sebelum berjihad harus memiliki niat yang benar yaitu untuk meninggikan
kalimat Allah, di bawah pemerintahan Islam dan izin dari imam, menyiapkan
perlengkapan, meminta keridhaan kedua orang tua atau izinnya (kecuali jika musuh menyerang
negerinya, atau imam/pemerintah Islam menunjuknya, maka dalam hal ini izin
kedua orang tua gugur). Demikian juga ia harus taat
kepada pemimpin. Jihad ini diwajibkan bagi orang muslim, baligh, berakal,
merdeka, laki-laki, mampu berperang,
dan memiliki harta untuk menanggung keluarga yang ditanggungya ketika ia pergi.
Hukum jihad adalah fardhu kifayah (jika ada yang telah melakukannya, maka bagi yang lain tidak wajib)
kecuali dalam keadaan berikut maka menjadi fardhu ‘ain:
a.
JIka seseorang hadir dalam peperangan
b.
Jika musuh menyerang negerinya.
c.
Jika ditunjuk oleh imam.
0 komentar:
Posting Komentar