بسم
الله الرحمن الرحيم
Menjaga Lisan
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang menjaga lisan. Semoga
Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba ada seseorang yang datang mencela
Abu Bakar, namun Abu Bakar diam; tidak membalasnya. Lalu orang itu mencela lagi
kedua kalinya, namun Abu Bakar tetap diam. Ketika orang itu mencela lagi ketiga
kalinya, Abu Bakar membalasnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri (meninggalkan majlis itu), lalu Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau
marah kepadaku wahai Rasulullah sehingga engkau berdiri?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Seorang malaikat dari langit turun mendustakaan
pernyatannya terhadap dirimu, tetapi ketika engkau membalasnya, maka setan
hadir, dan aku tidak akan duduk ketika setan hadir.” (HR. Abu Dawud, dan
dinyatakan hasan lighairih oleh Al Albani, lihat Silsilah Ash
Shahihah no. 2376).
Aisyah radhiyallahu 'anha pernah duduk bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay
radhiyallahu 'anha datang, maka Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, “Cukuplah bagimu Shafiyyah ini begini dan begitu.” Maksudnya dirinya yang pendek.
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh, engkau telah mengucapkan kata-kata yang seandainya dicampur
dengan air laut, tentu akan membuatnya keruh.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi (2/306), Al
Misykaat (4853-4857) dan Ghayatul Maram (427)).
Apa itu menjaga lisan?
Yang dimaksud menjaga lisan adalah seseorang tidak
berbicara kecuali yang baik dan menjauhi ucapan yang buruk, serta menjauhi
ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), berkata kotor dan sebagainya.
Seseorang akan ditanya terhadap semua ucapan yang keluar dari mulutnya,
karena Allah mencatatnya dan akan menghisabnya. Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ
إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18)
Ibnu Mas’ud berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Dia, tidak ada sesuatu pun yang berada di atas muka bumi yang
lebih butuh dipenjara lama daripada lisan.”
Batasan-Batasan dalam berbicara
Barang siapa yang ingin selamat dari keburukan lisan, maka ia harus
memperhatikan perkara berikut:
1. Tidak berbicara kecuali yang memberikan manfaat
baik bagi dirinya maupun orang lain, atau untuk menghindarkan bahaya darinya, atau dari orang lain.
2. Hendaknya ia memilih waktu yang tepat untuk
berbicara. Ada yang mengatakan, bahwa pada masing-masing kondisi ada waktu
tepat berbicara. Barang siapa yang berbicara di saat yang tidak tepat untuk
membicarakannya, maka berarti siap keliru dan tergelincir. Dan barang siapa yang diam pada saat dibutuhkan
pendapatnya, maka manusia merasa berat duduk bersamanya.
3. Hendaknya ia membatasi dalam bicara dengan
menyebutkan yang dapat mewujudkan tujuan atau maksud, dan yang sesuai dengan
kondisi. Barang siapa yang tidak membatasi ucapannya sesuai keperluan, maka
pembicaraan akan panjang dan dapat membosankan. Ucapan yang baik adalah pertengahan antara sedikit
yang sangat kurang dan panjang namun membosankan.
4. Memilih lafaz yang hendak ia sampaikan. Penyair
berkata,
زِنِ الْكَـلاَمَ إِذَا نَطَقْــتَ، فَــإِنَّمَا
يُبْدِيْ عُيُوْبَ ذَوِي الْعُيُوْبِ الْمَنْطِـقُ
Timbanglah ucapan jika engkau hendak ucapkan,
karena yang membuka aib orang yang cacat adalah ucapan.
5. Tidak berlebihan dalam memuji,
dan tidak berlebihan dalam mencela. Yang demikian adalah karena berlebihan
dalam memuji salah satu bentuk cari muka, sedangkan berlebihan dalam mencela
menunjukkan balas dendam dan melampiaskan emosi.
6. Tidak membuat manusia senang dengan menggunakan ucapan yang dapat menimbulkan
kemurkaan Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ وَكَّلَهُ
اللهُ إِلَى النَّاسِ، وَمَنْ أَسْخَطَ النَّاسَ بِرِضَا اللهِ كَفَاهُ اللهُ مَؤُوْنَةَ
النَّاسِ
“Barang siapa yang membuat manusia ridha dengan
kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia, dan barang
siapa yang membuat murka manusia dengan keridhaan Allah, maka Allah
mencukupkannya dari butuh kepada manusia.” (HR. Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6010)
7. Tidak terus menerus mengumbar janji yang tidak
sanggup ia penuhi atau memberikan ancaman yang tidak sanggup ia wujudkan. Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ
أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?--Sangat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Terj. QS. Ash Shaff: 2-3)
8. Menggunakan lafaz yang mudah yang memberikan makna
yang jelas. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ
قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan
paling dekat majlisnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik
akhlak di antara kalian, dan orang yang paling aku benci dan paling jauh
majlisnya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang banyak bicara, orang yang
bermulut besar, dan mutafaihiqun?” para sahabat beratnya, “Wahai Rasulullah,
kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan bermulut besar (sombong
dalam bicara), lalu apakah mutafaihiqun?” Beliau menjawab,
“Yaitu orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 2201)
9. Tidak berbicara kotor, keji, atau buruk. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِطَعَّانٍ وَلَا بِلَعَّانٍ وَلَا الْفَاحِشِ الْبَذِيءِ
“Orang mukmin bukanlah orang
yang suka mencela, suka melaknat, berkata kotor, dan keji.” (HR. Ahmad,
Bukhari dalam Al Adab, Ibnu Hibban dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ no. 5381)
10. Menyibukkan lisannya dengan selalu dzikrullah dan tidak mengeluarkan ucapannya kecuali yang
baik.
Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki-laki
yang berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya syariat Islam begitu banyak bagiku, maka beritahukanlah aku
sesuatu yang dapat aku pegang.” Beliau bersabda,
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Yaitu lisanmu senantiasa
basah karena dzikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, lihat Shahih At
Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/317)
Keutamaan menjaga lisan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya, “Muslim mana yang
paling utama?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Yaitu orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan
tangannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Uqbah bin ‘Amir berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah keselamatan?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ.
“Tahanlah lisanmu, sempatkanlah berdiam di rumahmu dan tangisilah
dosamu.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
no. 1392)
Ghibah (Menggunjing)
Ghibah adalah penyakit lisan yang paling berbahaya. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala melarang kita dari ghibah dan menyerupakan orang yang menghibahi
saudaranya dan menyebutkan sesuatu yang tidak ia sukai dan membicarakan
aib-aibnya ketika ia tidak ada seperti
orang yang memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat: 12)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga memperingatkan para sahabatnya
dari ghibah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu
apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Yaitu kamu menyebutkan tentang saudaramu apa yang tidak ia suka.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana menurut engkau jika yang aku
ucapkan memang ada pada saudaraku?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika ternyata yang engkau ucapkan ada pada
saudaramu, maka berarti engkau telah menghibahnya, dan jika tidak ada, maka
berarti engkau telah berdusta terhadapnya.” (HR. Muslim)
Azab terhadap ghibah sangat keras
dan hukumannya sangat pedih pada hari Kiamat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Ketika aku dimi’rajkan, maka aku melewati sebuah kaum yang
memiliki kuku dari tembaga, ia cakar muka dan dadanya dengannya.” Aku pun
bertanya, “Siapakah mereka ini wahai Jibril?” Beliau menjawab, “Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.” (HR.
Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahiihah no. 533)
Namun ada beberapa perkara yang dibolehkan oleh Islam untuk menyebutkan
aib orang lain, dan hal ini tidak termasuk ghibah yang seseorang akan dihukum karenanya. Beberapa
perkara itu adalah:
1. Mengadukan kezaliman kepada qadhi atau hakim.
2. Merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku
maksiat kepada jalan yang benar.
3. Memperingatkan kaum muslmin dari keburukan dan
menasihati mereka.
4. Terang-terangan melakukan kefasikan dan kebid’ahan.
Jika di antara manusia ada yang melakukan dosa secara terang-terangan, seperti meminum khamr atau
menzalimi manusia, maka boleh disebutkan aiab-aibnya, sehingga ia berhenti dan
kembali kepada Allah.
5. Meminta fatwa.
6. Mengenalkan. Jika sebagian orang tidak mengenal
kecuali dengan gelar yang biasa dikenal di kalangan manusia, seperti kita
katakan, “Si fulan yang matanya kabur,” atau “Yang matanya juling.” Maka hal
ini boleh jika maksudnya adalah mengenali manusia, dan tidak boleh jika
maksudnya memaki dan mencacatkannya.
Ibnu Abi Syarif mengumpulkan beberapa perkara itu dalam ucapannya:
الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِي سِتَّةٍ مُتَظَلَّمٍ ومُعَرِّفٍ ومُحَذِّرٍ
ولِمُظْهِرٍ فِسْقًا ومُسْتَفْتٍ ومَنْ طَلَبَ الاَعَإِنَّةَ فِي إزَالَةِ
مُنْكَرٍ
Mencela bukanlah ghibah pada enam perkara; orang
yang mengadu kezaliman, orang yang mengenalkan, orang yang memberi peringatan,
orang yang menampakkan kefasikan, orang yang bertanya, dan orang yang meminta
bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': http://islam.aljayyash.net/,
Maktabah Syamilah versi 3.45, Modul Akhlak kelas 8 (Penulis), dll.
0 komentar:
Posting Komentar