Taushiyah Harian Ramadhan (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫رمضان مبارك‬‎
Taushiyah Harian Ramadhan (5)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut Taushiyah Harian Ramadhan yang coba kami sampaikan melalui beberapa Media Sosial seperti Kakao Talk, WA, BBM, Facebook, dsb. Semoga Allah menjadikan taushiyah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Di antara materi ini, ada yang kami beri warna berbeda untuk dishare di media sosial agar tidak terlalu panjang.
Hari ke-18 : Hal-hal Yang Tidak Membatalkan Puasa dan Hal-Hal Yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Berpuasa
Berikut hal-hal yang tidak membatalkan puasa:
1.     Kemasukan debu atau apa saja ke dalam perutnya tanpa keinginannya. Demikian pula kemasukan air ketika berkumur-kumur atau beristinsyaq (menghirup air ke hidung) tanpa ada keinginannya. Namun hendaknya ia tidak terlalu dalam ketika istinsyaq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا»
“Sempurnakanlah wudhu, selahi-selahilah antara jari-jemari, dan perdalamlah dalam istinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR.  Pemiliki Kitab Sunan, dan dishahihkan oleh Al Albani)
2.     Memakai celak dan obat mata meskipun ada rasa sesuatu di tenggorokannya. Demikian pula memakai obat luar di badannya.
3.     Mencicip makanan jika tidak sampai tertelan
4.     Mencium wewangian.
5.     Bersiwak
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, sebaiknya tidak menggunakan pasta gigi karena memiliki rasa yang kuat yang dikhawatirkan terbawa bersama air liurnya ke dalam perutnya. Oleh karena itu, cukup bersiwak saja.
6.     Mandi untuk mendinginkan badan.
Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ، أَوْ مِنَ الْحَرِّ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di daerah Arj menuangkan air ke kepalanya ketika sedang berpuasa karena haus atau panas.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani).
7.     Mencium istri dan memeluknya jika ia merasa mampu untuk menahan syahwatnya
8.     Memakai minyak wangi
9.     Memakai minyak rambut
10. Menelan ludah
Hari ke-19 : Menyuruh Istri dan Putri Mengenakan Jilbab
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzaab: 56)
Ayat yang mulia ini memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya untuk memerintahkan istri dan anak-anak perempuan mereka mengenakan jilbab dan bahwa hal itu hukumnya wajib.
Namun jika kita perhatikan di zaman sekarang, banyak kepala keluarga muslim yang tidak memerintahkan istri dan anak-anaknya mengenakan jilbab. Sikap mereka ini menunjukkan tidak peduli terhadap nasib istri dan anak-anaknya di akhirat nanti, dan menunjukan tidak adanya rasa sayang kepada mereka.
Dalam mengenakan jilbab ada syarat yang perlu diperhatikan, di antaranya: (1) menutupi seluruh badan, adapun menutupi wajah dan telapak tangan, maka sebagian ulama mengatakan wajib, dan sebagian lagi mengatakan sunah. (2) tidak menyerupai pakaian laki-laki dan pakaian wanita-wanita kafir, (3) longgar; tidak sempit, (4) tidak diberi wewangian, (5) tebal; tidak tipis, (6) bukan merupakan perhiasan, dan (7) bukan sebagai pakaian ketenaran (memancing pandangan manusia).
Hari ke-20 : Keadaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Sepuluh Terakhir Bulan Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ»
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh (terakhir bulan Ramadhan), maka Beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa apabila bulan Ramadhan hampir selesai, maka hendaknya seseorang mempergiat beribadah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun berbeda dengan keadaan di zaman sekarang, dimana ketika bulan Ramadhan hampir habis, maka ibadah yang dilakukan semakin berkurang dan mengendor. Kita dapat melihat, masjid-masjid yang sebelumnya (di awal Ramadhan) ramai, namun di akhir-akhirnya semakin kurang ramai, bahkan hanya terdiri dari beberapa shaf saja.
Kata-kata, " Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh (terakhir bulan Ramadhan)," menunjukkan keutamaan sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Oleh karena itu, di antara ulama ada yang menafsirkan ayat 2 surat Al Fajr "wa layaalin 'asyr" (artinya: dan malam yang sepuluh) maksudnya adalah sepuluh terakhir bulan Ramadhan, karena di dalamnya terdapat malam Lailatul qadr.
Kata-kata, "mengencangkan ikat pinggangnya," maksudnya bersiap-siap untuk fokus beribadah dan sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Ada pula yang berpendapat, bahwa kalimat tersebut merupakan kinayah (kiasan) tentang menjauhi wanita dan tidak berjima'. Imam Al Qurthubiy berkata, "Beliau menjauhi wanita dengan beri'tikaf." Ada pula yang berpendapat, bahwa kalimat "mengencangkan ikat pinggangnya" mengandung makna hakiki dan majazi, sehingga maksudnya tidak melepas ikat pinggangnya, menjauhi wanita dan semangat untuk beribadah.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً . 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf selama sepuluh hari pada setiap bulan Ramadhan. Namun pada tahun di mana Beliau akan wafat, Beliau melakukannya selama dua puluh hari." (HR. Bukhari no. 2044)
Kata-kata, "menghidupkan malamnya," maksudnya banyak bergadang untuk ketataan, yaitu dengan melakukan qiyamullail, membaca Al Qur'an, berdzikr, memuhasabah dirinya, berdoa, dsb.
Kata-kata, "membangunkan keluarganya," maksudnya mengingatkan dan mendorong mereka untuk beribadah atau shalat malam. Imam Tirmidzi dan Muhammad bin Nasr Al Marwaziy meriwayatkan dari hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bulan Ramadhan tinggal sepuluh hari, maka tidak membiarkan satu pun dari keluarganya yang sanggup melakukan qiyamullail kecuali membangungkannya.
Faedah:
Mungkin timbul pertanyaan, "Bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membangunkan keluarganya sedangkan Beliau dalam keadaan beri'tikaf di masjid?"
Jawab: Mungkin saja Beliau membangunkan istrinya yang ikut i'tikaf di masjid, atau mungkin Beliau membangunkannya dari masjid karena berdampingannya rumah Beliau dengan masjid, atau mungkin saja Beliau keluar dari masjid tempat I'tikafnya ke rumahnya untuk suatu keperluan sambil membangunkan keluarganya (Lihat Fathul Bariy oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalani).
Hari ke-21 : Keutamaan Malam Lailatul Qadr
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.--Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? --Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.--Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.--Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al Qadr: 1-5)
Ayat ini menerangkan keutamaan malam Lailatul Qadr, yaitu: [1] pada malam tersebut Allah menurunkan Al Qur’an, [2] malam tersebut lebih baik daripada seribu bulan yakni bahwa beramal pada malam itu mengimbangi dan melebihi beramal selama seribu bulan; (seukuran) umur seseorang yang dipanjangkan umurnya selama 80 tahun lebih, [3] para malaikat, termasuk pula malikat Jibril turun membawa kebaikan, keberkahan, dan rahmat. Mereka juga dengan izin Allah mengatur berbagai urusan. Qatadah berkata, “Pada malam itu ditentukan segala urusan dan ditentukan ajal dan rezeki, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,” (Terj. QS. Ad Dukhaan: 4) [4] pada malam tersebut terdapat keselamatan dari azab dan siksa Allah. Menurut Mujahid, yakni penuh kesejahteraan, dimana setan tidak dapat berbuat buruk di dalamnya atau mengganggu. Menurut Ibnu Zaid, malam itu baik seluruhnya tidak ada keburukan sampai terbit fajar.
Pada malam itu, malaikat turun dengan jumlah yang sangat banyak melebihi jumlah kerikil yang ada di bumi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَابِعَةٌ أَوْ تَاسِعَةٌ وَ عِشْرِيْنَ إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى
“Malam Lailatul Qadr itu adalah malam ke 27 atau 29. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada banyaknya batu kerikil.” (HR. Ahmad dan Thayalisi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5473).
Adapun keutamaan melakukan qiyamullail bertepatan dengan malam Lailatul Qadr adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melakukan qiyamullail bertepatan dengan malam Lailatul qadr karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kapankah Malam Lailatul Qadr?
Seorang yang beri’tikaf hendaknya mencari malam lailatul qadr di malam-malam yang ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mencari Lailatul Qadr dan memerintahkan para sahabat untuk mencarinya. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، وَإِنَّهُ تَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، التَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالخَمْسِ
"Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahukan kepada kalian tentang Lailatul Qadr. Tetapi fulan dan fulan bertengkar tentangnya, lalu diangkat (pemberitahuan kapan malamnya). Boleh jadi disembunyikan itu lebih baik bagi kalian. Carilah ia (malam Lailatul Qadr) di malam kedua puluh tujuh, dua puluh sembilan, dan dua puluh lima." (HR. Bukhari)
Sebagian ulama berpendapat, Lailatul qadr tidak terjadi pada malam tertentu dalam setiap tahunnya, namun berubah-rubah. Mungkin pada tahun ini malam ke 27, pada tahun depan malam ke 29 dsb. Dan sangat diharapkan terjadi pada malam ke 27. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا فَلْيَتَحَرَّهَا لَيْلَةَ السَّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ
"Barang siapa yang mencarinya, maka carilah di malam ke-27." (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih).
Mungkin hikmah mengapa malam Lailatul qadr disembunyikan oleh Allah Ta’ala adalah agar diketahui siapa yang bersungguh-sungguh beribadah dan siapa yang bermalas-malasan. Demikian pula sebagai rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya agar amal mereka semakin banyak pada malam-malam yang utama ini (sepuluh terakhir bulan Ramadhan).
Hari ke-22 : Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadr
Tanda-tandanya adalah bahwa ia terjadi pada 10 terakhir bulan Ramadhan di malam ganjilnya, malamnya terang, tidak panas dan tidak dingin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ بَلْجَةٌ لاَ حَارَّةٌ وَ لاَ بَارِدَةٌ  وَ لاَ يُرْمَى فِيْهَا بِنَجْمٍ وَ مِنْ عَلاَمَةِ يَوْمِهَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ لاَ شُعَاعَ لَهَا
“Malam Lailatul Qadr adalah malam yang terang, tidak panas dan tidak dingin, dan tidak dilepaskan bintang. Sedangkan di antara tanda pada siang harinya adalah terbitnya matahari tanpa ada syu’anya.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir dari Watsilah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5472).
Syu’a, menurut Imam Nawawi artinya yang terlihat dari sinar matahari ketika baru muncul seperti tali temali dan batang yang menghadap kepadamu ketika engkau melihatnya, yakni sinar matahari yang berserakan (sorotannya).
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda menerangkan tentang tandanya:
لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَّة ٌوَلاَ بَارِدَةٌ وَتُصْبِحُ شَمْسُ صَبِيْحَتِهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاءُ
“(Malam Lailatul Qadr adalah) malam yang ringan, sedang, tidak panas dan tidak dingin, dimana matahari pada pagi harinya melemah kemerah-merahan.” (HR. Thayalisi dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 5475).
Ibnu Katsir berkata, “Dan tanda malam Lailatul qadr adalah bahwa malam tersebut bersih, terang, seakan-akan ada bulan yang bersinar, tenang, tidak dingin dan tidak panas, sedangkan (pada pagi hari) matahari terbit dalam keadaan sedang tanpa ada sinar yang berserakan seperti bulan pada malam purnama.”
Doa ketika mengetahui Lailatul qadr
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: " قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku mengetahui kapan malam lailatul qadr, apa yang saya ucapkan?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah: Allahumma innaka ‘Afuwwun...dst. (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR. Lima orang Ahli hadits selain Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Hakim).
Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji': Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Majalis Syahri Ramadhan (Syaikh Ibnu Utsaimin, attasmeem.com), Ahkaam Qiyamil Lail (Syaikh Sulaiman Al Ulwan), Bughyatul Mutathawwi’ (M. Bin Umar Bazmul), Modul Fiqh kelas 7 (Penulis), Haalus Salaf Ma’al Qur’an fii Ramadhaan (Dr. Ahmad Arafah, www.saaid.net), Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Salim bin Ied Al Hilaliy dan Ali Hasan Al Halabiy), Mausu’ah Haditsiyyah Mushagharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), ‘Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf Al ‘Azhim Abadiy), dll. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger