Taushiyah Harian Ramadhan (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وصايا رمضانية‬‎
Taushiyah Harian Ramadhan (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut Taushiyah Harian Ramadhan yang coba kami sampaikan melalui beberapa Media Sosial seperti Kakao Talk, WA, BBM, Facebook, dsb. Semoga Allah menjadikan taushiyah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Di antara materi ini, ada yang kami beri warna berbeda untuk dishare di media sosial agar tidak terlalu panjang.
Hari ke-9 : Berhentilah Dari Maksiat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
“Jika tiba malam pertama bulan Ramadhan, maka setan-setan dibelenggu, demikian pula jin-jin durhaka dibelenggu. Pintu-pintu neraka ditutup, sehingga tidak ada yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka sehingga tidak ada yang ditutup. Ketika itu ada yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan, Sambutlah! Wahai orang yang menginginkan keburukan, berhentilah!” Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, dan hal itu terjadi pada setiap malamnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi dari Abu Hurairah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 759)
Ya, di bulan itu ada yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan, Sambutlah! Wahai orang yang menginginkan keburukan, berhentilah!
Maka, wahai saudara-saudariku masih sajakah engkau meremehkan kebaikan, padahal pada bulan itu amal saleh dilipatgandakan dan pintu-pintu surga dibuka? Dan masih sajakah engkau berbuat maksiat, padahal pendorong ke arah sana begitu kecil?
Pantaskah engkau memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan bermaksiat? Dalam keadaan meninggalkan shalat, tetap berkata dusta, ghibah (menggunjing), dan namimah (adu domba)?
Dan pantaskah engkau wahai kaum wanita memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan membuka aurat dan melepas jilbab? Jika demikian, maka engkau harus siap menanggung dosamu dan dosa laki-laki yang engkau jerumuskan karena engkau memperlihatkan tubuhmu kepada mereka?
Hari ke-10 : Beberapa Macam Golongan Manusia Dalam Menjalankan Puasa
1.     Bagi seorang muslim, yang aqil (berakal)-baligh (dewasa), mukim, dan tidak ada penghalang, maka ia wajib berpuasa pada waktunya, yaitu di bulan Ramadhan.
2.     Anak-anak tidak wajib berpuasa sampai ia dewasa, akan tetapi walinya hendaknya menyuruhnya berpuasa agar terbiasa sebagaimana yang dilakukan kaum Salaf. Tanda baligh itu bisa berupa keluar mani, tumbuh rambut di sekitar kemaluan, sudah berusia 15 tahun, dan bagi wanita ada pula tanda lainnya, yaitu datang haidh.
3.     Orang yang sudah tua-renta hingga ucapan dan sikapnya kacau dan tidak sanggup lagi membedakan, maka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib memberi makan (membayar fidyah), sehingga ia seperti anak-anak yang belum tamyiz (belum bisa membedakan). Jika terkadang mampu membedakan, dan terkadang tidak, maka ia berpuasa pada saat mampu membedakan. Dalam hal ini, shalat juga sama seperti puasa, ia wajib shalat ketika tamyiz, dan tidak wajib ketika tidak tamyiz.
4.     Orang yang tidak sanggup berpuasa dengan keadaannya yang terus-menerus seperti itu dan susah diharap kesembuhannya, seperti orang yang tua dan penderita penyakit kronis, maka tidak wajib puasa. Akan tetapi, ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin sesuai jumlah hari ia tidak berpuasa. Dalam membayar fidyah, ia diberikan pilihan antara memberikannya berupa makanan pokok yang belum dimasak, dimana masing-masing orang miskin mendapatkan 1 mud (510 gram), atau memberi makan berupa makanan yang siap dimakan (sudah dimasak), lalu ia mengundang orang miskin sejumlah hari ia tidak berpuasa. Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Adapun orang yang sudah tua, jika tidak sanggup berpuasa, maka sesungguhnya Anas ketika telah tua memberikan makan berupa roti dan daging kepada orang miskin setiap hari ia tidak berpuasa, dan hal itu beliau lakukan (ketika tidak sanggup berpuasa) selama setahun atau dua tahun.”
5.     Bagi musafir diberikan pilihan antara berbuka atau berpuasa, baik safarnya lama atau sebentar, dan baik safarnya mendadak atau terbiasa seperti pilot atau sopir. Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka (para sahabat) memandang, bahwa orang yang merasa dirinya kuat lalu berpuasa, maka hal itu baik. Demikian pula orang yang merasakan kelemahan dirinya, lalu ia berbuka, maka hal itu baik.” Yakni bagi musafir.
6.     Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa orang yang sakit yang bisa diharapkan sembuh ada tiga keadaan, yaitu: (a) jika puasa tidak memberatkannya dan tidak membahayakannya, maka wajib berpuasa, karena ia tidak memiliki udzur yang membolehkan berbuka, (b) jika puasa tampak berat baginya, maka ia berbuka, dan (c) jika puasa membahayakannya, maka ia wajib berbuka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inna linafsika ‘alaika haqqan” (artinya: sesungguhnya dirimu punya hak atasmu)  
Singkatnya, jika orang yang sakit dan orang yang safar tidak merasakan kepayahan dalam berpuasa, maka berpuasa lebih utama, namun jika keduanya merasakan kepayahan maka berbuka lebih utama.
7.     Wanita haidh tidak boleh berpuasa dan tidak sah puasanya. Jika seorang wanita sedang berpuasa, tiba-tiba datang haidh meskipun menjelang Maghrib, maka batal puasanya, dan ia wajib mengqadha (membayar di hari lain), kecuali jika puasanya puasa sunah, maka mengqadhanya juga sunah.
Jika seorang wanita suci dari haidh di malam bulan Ramadhan meskipun sucinya menjelang Fajar, maka ia wajib berpuasa dan puasanya sah meskipun ia mandi setelah terbit Fajar. Ia seperti orang yang junub yang belum mandi ketika terbit Fajar. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dalam keadaan junub ketika pagi harinya karena semalam berjima’, lalu Beliau berpuasa (Muttafaq ‘alaih).
Wanita yang nifas juga sama seperti wanita haidh.
8.     Wanita yang menyusui atau hamil jika mengkhawatirkan keadaan dirinya atau janinnya, maka ia boleh berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ، أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengurangi separuh shalat bagi musafir, dan memberikan keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.”  (HR. Lima Imam Ahli Hadits, namun ini lafaz Ibnu Majah, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika mengkhawatirkan keadaan dirinya atau anaknya, maka mereka boleh berbuka, namun wajib membayar fidyah, dan tidak wajib mengqadha’.
9.     Orang yang perlu berbuka untuk menyelamatkan orang lain, seperti menyelamatkannya agar tidak tenggelam, terbakar, tertimpa reruntuhan, dsb. Jika untuk menyelamatkannya ia harus mendapat energi dari makanan dan minuman, maka ia boleh berbuka, dan nanti ia mengqadhanya. Termasuk ke dalam hal ini pula adalah berbuka agar kuat berjihad melawan musuh, baik jihadnya dalam safar atau tidak, karena dengan berbuka dapat membela kaum muslim dan meninggikan kalimatullah.
Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekkah dalam kondisi sedang berpuasa, lalu kami singgah di sebuah tempat, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian telah berada dekat dengan musuh, dan berbuka itu lebih menguatkan kalian.” Saat itu masih sebagai rukhshah (keringanan), maka di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka, kemudian kami singgah di tempat yang lain, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan bertemu musuh kalian di pagi hari, sedangkan berbuka lebih lebih menguatkan kalian, maka berbukalah.” Saat itu perintahnya pun tegas (‘azmah), maka kami pun berbuka.”
10. Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan ia masih punya hutang puasa nadzar yang belum diqadhanya maka walinyalah (seperti Ahli waris atau kerabatnya) yang mengqadhanya. Namun jika puasa Ramadhan yang belum diqadhanya, maka walinya cukup dengan memberi makan seorang miskin ½ sha’ (2 mud) sebanyak puasa yang belum diqadha’nya. Hal ini berdasarkan riwayat ‘Amrah, bahwa ibunya wafat dalam keadaan mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka Aisyah menyuruhnya bersedekah ½ sha’ kepada orang miskin sesuai jumlah hari ibunya tidak berpuasa. (Diriwayatkan oleh Thahawi dalam Musykilul Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 7/4 dengan sanad yang shahih).
Menurut Ibnu Utsaimin rahimahullah, bahwa walinya juga boleh mengqadhakan seorang yang meninggal dunia yang mempunyai hutang puasa Ramadhan, dan cara mengqadhanya bisa dilakukan oleh banyak orang yang termasuk walinya (ahli waris atau kerabatnya). Imam Bukhari berkata, “Al Hasan berkata, “Jika ada tiga puluhan orang yang mengqadhakan untuknya dalam satu hari, maka boleh.”
Catatan:
Dalam mengqadha’ puasa hendaknya disegerakan, dan boleh mentakhirkannya hingga bulan Sya’ban, dan tidak boleh sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku punya hutang puasa Ramadhan, namun aku tidak sanggup mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Hari ke-11 : Hikmah Puasa
Hikmah disyariatkan puasa yang paling besarnya adalah agar seseorang menjadi orang yang bertakwa. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah: 183)
Yang demikian adalah karena dalam berpuasa, ia meninggalkan hal-hal yang disukainya seperti makanan, minuman, dan syahwatnya. Jika seseorang mampu menahan dirinya dari sesuatu yang disukainya, maka nantinya ketika dihadapkan kepadanya larangan-larangan Allah Subhaanahu wa Ta’ala meskipun sesuai hawa nafsunya, ia pun sanggup menahan dirinya. Demikian pula ketika seseorang sanggup menjalankan ibadah puasa meskipun berat dilakukan, dimana ia harus menahan makan, minum, dan syahwatnya dalam waktu yang cukup panjang, dari mulai terbit fajar hingga tenggelam matahari, dan hal itu dilakukan bukan hanya sehari, dua hari, atau tiga hari, bahkan selama sebulan penuh, maka nantinya ketika dihadapkan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla lainnya meskipun berat, ia pun sanggup memikulnya. Dengan demikian, jadilah ia sebagai orang yang bertakwa; orang yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Di samping itu, dengan berpuasa ia merasakan penderitaan saudara-saudaranya yang kekurangan, yang kelaparan, yang kehausan, yang sehari-hari menderita, sehingga tumbuhlah rasa peduli dalam hatinya untuk membantu mereka, untuk meringankan beban mereka, dimana sebelumnya dirinya berat dan bakhil mengeluarkan hartanya, namun setelah berpuasa, maka dirinya menjadi ringan mengeluarkannya dan menjadi orang yang dermawan.
Dengan berpuasa juga kekuatan dan syahwatnya menjadi lemah, sehingga keinginan berbuat maksiat menjadi kecil.
Demikian pula dengan berpuasa aliran darah menjadi sempit karena lapar dan haus, dimana aliran darah itulah yang biasa dilalui setan, tetapi ketika tempat berlalunya sempit, maka setan kesulitan melewatinya.
Puasa juga melatih kesabaran kita dan menjadikan kita mampu mengendalikan diri. Mungkin sebelumnya sikap kita kurang kendali, apa saja yang kita inginkan, kita langsung melakukannya, maka setelah berpuasa, kita akan berpikir sebelum berbuat sesuatu dan memilih-milih mana tindakan yang perlu dilakukan.
Perhatikan juga hewan-hewan yang ada di sekitarmu. Keadaan mereka menjadi baik setelah sebelumnya berpuasa, Engkau lihat kupu-kupu, sebelumnya bentuknya membuat enggan menjauhinya, tetapi setelah ia berpuasa, berubahlah dirinya menjadi indah dan disukai oleh orang yang memandangnya.
Dan Alhamdulillah dengan adanya bulan Ramadhan dan puasa Ramadhan, maka keadaan bumi yang sebelumnya banyak dirusak oleh kemaksiatan menjadi berkurang, dan sedikit demi sedikit kita perbaiki. Kita berharap kepada Allah Azza wa Jalla agar mengembalikan bumi ini menjadi berkah kembali tentunya kita juga harus berusaha mengurangi kemaksiatan yang menjadikan bumi ini tidak berkah.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Majalis Syahri Ramadhan (Syaikh Ibnu Utsaimin, attasmeem.com), Ahkaam Qiyamil Lail (Syaikh Sulaiman Al Ulwan), Bughyatul Mutathawwi’ (M. Bin Umar Bazmul), Modul Fiqh kelas 7 (Penulis), Haalus Salaf Ma’al Qur’an fii Ramadhaan (Dr. Ahmad Arafah, www.saaid.net), Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Salim bin Ied Al Hilaliy dan Ali Hasan Al Halabiy), dll.  

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger