Taushiyah Harian Ramadhan (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫وصايا السلف في رمضان‬‎
Taushiyah Harian Ramadhan (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)
Ayat ini menunjukkan, bahwa kebanyakan chattingan atau obrolan kita kepada orang lain melalui berbagai media sosial tidak ada kebaikannya kecuali yang disebutkan dalam ayat di atas, yaitu menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat kebaikan, atau mendamaikan orang yang bertengkar. Maka atas dasar ayat di atas ini kami buat materi Taushiyah Harian Ramadhan agar apa yang kita kirim dan share melalui beberapa Media Sosial seperti Kakao Talk, WA, BBM, Facebook, dan sebagainya menghasilkan pahala, tentunya jika itu semua dilakukan ikhlas karena-Nya. Semoga Allah menjadikan taushiyah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Di antara materi ini, ada yang kami beri warna berbeda untuk dishare di media sosial agar tidak terlalu panjang.
Hari ke-1 : Keutamaan Bulan Ramadhan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al Baqarah: 185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجنَّةِ، وغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Apabila datang bulan Ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Pintu-pintu surga dibuka di bulan ini karena banyaknya amal saleh dan untuk mendorong orang-orang yang beramal saleh. Pintu-pintu neraka ditutup karena sedikitnya maksiat yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman, dan setan-setan dibelenggu sehingga mereka tidak dapat menjerumuskan manusia seperti pada bulan selainnya.” (Majalis Syahri Ramadhan, Majlis-1)
Hari ke-2 : Keutamaan Puasa
Dalam hadits Qudsi, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
كُلُّ عَمَل ابن آدم لَهُ إلاَّ الصومَ فإِنَّه لي وأنا أجزي بهِ.
“Semua amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang sendiri akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits ini menunjukkan keutamaan puasa, karena amal ini disandarkan kepada Allah, sedangkan amal yang lain disandarkan kepada manusia. Di samping itu, kemungkinan terjadinya riya’ pada puasa sangatlah kecil karena tidak terlihat prakteknya seperti halnya shalat, sedekah, dan amal saleh lainnya. Menurut Sufyan bin Uyaynah rahimahullah, bahwa pada hari Kiamat, Allah akan menghisab hamba-Nya dan membayarkan kezaliman yang dilakukannya dari semua amal saleh yang dilakukannya, sehingga ketika semua amal telah habis selain puasa, maka Allah akan menanggung kezalimannya dengan membayarkannya, dan Dia akan memasukkan orang itu ke surga karena puasanya itu.
Firman-Nya, “dan Akulah yang sendiri akan membalasnya,” menunjukkan besarnya pahala yang akan Allah berikan kepada orang yang berpuasa, karena amal saleh dilipatgandakan pahalanya dalam jumlah tertentu; satu kebaikan dibalas sepuluh kebaikan dan seterusnya hingga tujuh ratus kebaikan sampai kelipatan yang banyak, akan tetapi puasa akan dibalas oleh Allah sendiri tanpa memperhatikan jumlah tertentu, sedangkan Allah adalah Rabb yang Maha Pemurah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ ما تقدَّمَ مِن ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yakni ia berpuasa karena beriman kepada Allah, ridha dengan kewajiban puasa terhadap dirinya, mengharapkan balasan dan pahalanya, tidak membenci kewajiban itu serta tidak ragu-ragu terhadap pahalanya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Majalis Syahri Ramadhan, Majlis-2)
Dengan demikian, orang yang berpuasa karena ikut-ikutan, atau karena gengsi, apa lagi karena riya, maka dia tidak memperoleh keutamaan ini.
Hari ke-3 : Hukum Puasa Ramadhan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah: 183)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
"Islam dibangun di atas lima (dasar); bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan berpuasa Ramadhan.  (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan, “Berpuasa Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah.”)
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata,
وَعِنْدَ الْمُؤْمِنِيْنَ مُقَرَّرٌ: أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَوْمَ رَمَضَانَ بِلاَ مَرَضٍ، أَنَّهُ شَرٌّ مِنَ الزَّانِي، وَمُدْمِنِ الْخَمْرِ، بَلْ يَشُكُّوْنَ فِي إِسْلاَمِهِ، وَيَظُنُّوْنَ بِهِ الزَّنْدَقَةَ، وَالْإِنْحِلاَلَ
“Kaum mukmin memiliki ketetapan, bahwa barang siapa yang meninggalkan puasa Ramadhan bukan karena sakit, maka sesungguhnya orang itu lebih buruk dari pezina dan pecandu minuman keras. Bahkan mereka meragukan keislamannya dan menyangkanya sebagai orang zindik dan berlepas dari agama.” (Fiqhus Sunnah 1/434)
Imam Nawawi berkata,
أَنَّ الصَّوْمَ  لاَ يُقَاتَلُ الْإِنْسَانُ عَلَيْهِ, بَلْ يُحْبَسُ وَيُمْنَعُ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ
“Puasa tidak menjadikan seseorang (yang meninggalkannya) diperangi (tidak seperti shalat dan zakat jika ditinggalkan), tetapi orang yang meninggalkannya dipenjara, dan dihalangi dari makan dan minum.”
Dengan demikian, maka orang yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan bukan karena udzur syar’i berhak dipenjara; bukan malah dihormati.
Hari ke-4 : Keutamaan Qiyam Ramadhan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena “iman” maksudnya beriman kepada Allah dan kepada pahalanya yang Dia siapkan untuk orang-orang yang beribadah di bulan Ramadhan.
Sedangkan maksud “mengharap pahala” adalah mengharap pahala dari Allah, dimana ia melakukannya bukan karena riya, sum’ah, mencari harta, dan mendapatkan kedudukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya orang yang ikut shalat (malam di bulan Ramadhan) bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat shalat semalaman suntuk.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
(Lihat Majalis Syahri Ramadhan, Majlis ke-4)
Hari ke-5 : Praktek Qiyam Ramadhan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ، الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ
“Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di malam hari.” (HR. Muslim)
Termasuk shalat di malam hari adalah shalat Witir. Jumlah shalat witir paling sedikit satu rakaat dan paling banyak sebelas rakaat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“Witir itu hak atas setiap muslim. Barang siapa yang ingin berwitir lima rakaat, maka lakukanlah. Barang siapa yang ingin berwitir tiga rakaat, maka lakukanlah, dan barang siapa yang ingin berwitir satu rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun prakteknya:
a.     Jika tiga rakaat, maka seseorang boleh langsung shalat tiga rakaat dan tidak salam kecuali di rakaat ketiga. Hal ini berdasarkan riwayat Thahawi, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berwitir tiga rakaat, dan tidak mengucapkan salam kecuali di rakaat terakhir.
Boleh juga seseorang melakukannya dengan dua rakaat terlebih dahulu lalu salam, kemudian bangkit mengerjakan satu rakaat lalu salam. Hal ini berdasarkan riwayat Bukhari bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengucapkan salam setelah dua rakaat, lalu menambahkan satu rakaat dalam shalat witir.
Dua cara seperti ini agar shalat witir tidak sama pelaksanaannya dengan shalat Maghrib karena ada larangan menyamakan dengan Maghrib (sebagaimana dalam riwayat Hakim, dan ia menshahihkannya).
b.     Jika lima rakaat, maka seseorang boleh melakukannya lima rakaat sekaligus, dimana ia tidak duduk dan salam kecuali di rakaat kelima. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat malam tiga belas rakaat, dimana Beliau berwitir lima rakaat dan tidak duduk kecuali di rakaat terakhir (kelima). (HR. Bukhari dan Muslim)
Ia juga boleh melakukannya dua rakaat salam-dua rakaat salam lalu satu rakaat berdasarkan hadits berikut,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَجُلًا، جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقَالَ: كَيْفَ صَلاَةُ اللَّيْلِ؟ فَقَالَ: «مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ، تُوتِرُ لَكَ مَا قَدْ صَلَّيْتَ»
Dari Ibnu Umar, bahwa seseorang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau berkhutbah, ia berkata, “Bagaimana praktek shalat malam?” Beliau menjawab, “Dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir waktu Subuh tiba, maka berwitirlah satu rakaat untuk mengganjikan shalatmu. (HR. Bukhari dan Muslim).
c.     Jika tujuh rakaat caranya bisa dengan tasyahhud awal di rakaat keenam dan tasyahhud akhir di rakaat ketujuh kemudian salam. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tua dan badan Beliau menjadi lemah, maka Beliau berwitir tujuh rakaat, Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat keenam, lalu bangkit tanpa salam, kemudian menambah rakaat ketujuh, lalu salam (HR. Muslim dan Nasa’i).
Ia juga boleh melakukannya dua rakaat salam sebanyak tiga kali, lalu satu rakaat berdasarkan hadits “Shalatul lail matsna matsna” (artinya: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat).
d.     Jika sembilan rakaat, maka caranya bisa dengan tasyahhud awwal di rakaat kedelapan dan tasyahud akhir di rakaat kesembilan kemudian salam. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sembilan rakaat, dimana Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan, Beliau berdzikr, memuji Allah, dan berdoa kepada-Nya (bertasyahhud awwal), dan tidak salam, kemudian bangkit lalu shalat rakaat kesembilan, kemudian duduk berdzikr kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya (bertasyahhud akhir), lalu mengucapkan salam dengan salam yang diperdengarkan. (HR. Ahmad dan Muslim)
Ia juga boleh melakukannya dua rakaat salam sebanyak empat kali, lalu satu rakaat berdasarkan hadits “Shalatul lail matsna matsna” (artinya: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat).
e.     Jika sebelas rakaat, maka seseorang bisa melakukannya dua rakaat salam-dua rakaat salam, lalu berwitir satu rakaat. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat (malam) antara selesai shalat Isya sampai shalat Subuh berjumlah sebelas rakaat, dimana Beliau mengucapkan salam pada setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat. (HR. Jamaah Ahli Hadits selain Tirmidzi).
f.      Seseorang juga boleh melakukan shalat empat rakaat-empat rakaat (boleh adanya tasyahhud awwal pada setiap dua rak’atnya, boleh juga tidak sebagaimana diterangkan Syaikh Sulaiman Al Ulwan dalam Ahkam Qiyamil Lail), lalu tiga rakaat. Hal ini berdasarkan Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak empat rakaat. Jangan engkau tanya bagus dan lamanya, lalu shalat empat rakaat. Jangan engkau tanya bagus dan lamanya, kemudian shalat tiga rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
g.     Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa pelaksanaan shalat dengan lima rakaat sekaligus, tujuh atau sembilan rakaat adalah jika ia shalat sendiri atau para jamaah yang jumlahnya terbatas memilih demikian. Tetapi jika di masjid-masjid besar, maka lebih utama bagi imam adalah melakukan salam setiap dua rakaat agar tidak memberatkan manusia, di samping hal itu lebih meringankan mereka.
h.     Kaum salafush shalih berbeda pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih berikut witir hingga timbul beberapa pendapat. Ada yang berpendapat 41 rakaat, 39 rakaat, 29 rakaat, 23 rakaat, 19 rakaat, 13 rakaat, 11 rakaat, dsb.
Pendapat yang lebih kuat adalah 11 rakaat atau 13 rakaat, karena Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, maka ia menjawab, “Beliau tidak menambah di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan melebihi 11 rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya 13 rakaat, yakni di malam hari.” (HR. Bukhari)
Dalam Al Muwaththa’ dari As Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dariy mengimami manusia sebelas rakaat.”
i.       Boleh bagi kaum wanita menghadiri shalat tarawih di masjid jika aman dari fitnah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mencegah hamba-hamba Allah yang wanita mendatangi masjid-masjid-Nya. Dan demikianlah prkatek kaum Salaf. Akan tetapi bagi wanita wajib datang dalam keadaan tertutup, berhijab, tidak tabarruj, tidak memakai wewangian, tidak meninggikan suaranya, dan tidak menampilkan perhiasan(kecantikan diri)nya. Dan Sunnahnya bagi kaum wanita adalah berada jauh dari kaum lelaki dan memulai shaf dari belakang; berbeda dengan kaum lelaki, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir, dan yang paling buruk adalah yang terdepan.” (HR. Muslim)
Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji': Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Majalis Syahri Ramadhan (Syaikh Ibnu Utsaimin, attasmeem.com), Ahkaam Qiyamil Lail (Syaikh Sulaiman Al Ulwan), Bughyatul Mutathawwi’ (M. Bin Umar Bazmul), Modul Fiqh kelas 7 (Penulis), dll. 

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger