Tanya-Jawab Tentang Hukum Menaati Penguasa

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫معاملة الحكام في ضوء الكتاب والسنة‬‎
Tanya-Jawab Tentang Hukum Menaati Penguasa
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang hukum menaati Penguasa yang kami hadirkan dalam bentuk tanya jawab. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tanya-Jawab
Pertanyaan: Apakah memberontak kepada penguasa yang zalim menyelisihi prinsip Ahlussunnah wal Jamaah?
Jawab: Ya.
Pertanyaan: Mana dalilnya?
Jawab: Hadits Ubadah bin Ash Samit yang berbunyi:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik ketika kami semangat maupun tidak, baik ketika kami susah maupun lapang, serta mendahulukan mereka daripada hak kami, dan agar kami tidak mencabut kepemimpinan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekafiran yang jelas dan kamu memiliki bukti yang nyata dari sisi Allah terntangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[i] 
Pertanyaan: Tetapi, bukankah kata kekafiran di hadits itu bisa juga maksudnya ‘maksiat’?
Jawab: Tidak, bahkan kekafiran di hadits tersebut adalah betul-betul kekafiran. Hal ini berdasarkan hadits Auf bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah! Barang siapa yang dipimpin oleh seseorang, lalu dilihatnya mengerjakan maksiat kepada Allah, maka bencilah maksiat itu dan jangan mencabut ketaatan daripadanya.” (Hr. Muslim)
Pertanyaan: Tetapi, bukankah Umar radhiyallahu anhu pernah berkata, “Luruskanlah aku (jika aku salah)!”
Jawab: Jika pernyataan ini benar dari Umar radhiyallahu anhu, maka maksud ‘luruskan’ adalah memperbaiki; bukan mengganti atau menggulingkan.
Pertanyaan: Bukankah menaati penguasa adalah apabila penguasa kita seorang yang adil. Jika seorang yang zalim, maka tidak kita taati?
Jawab: Bahkan penguasa yang zalim juga tetap kita taati selama perintahnya bukan maksiat. Rasulullah shallallahua alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ingatlah! Siapa saja yang diangkat menjadi penguasa, lalu ia melihatnya mengerjakan maksiat kepada Allah, maka bencilah maksiatnya kepada Allah dan jangan mencabut ketaatan daripadanya.” (Hr. Muslim)
Hadits ini menunjukkan, bahwa penguasa itu tetap sah meskipun zalim, dan tidak boleh memberontak kepadanya. Demikian pula perintahnya wajib ditaati kecuali jika ia memerintahkan maksiat.
Pertanyaan: Sampai kapan kita bersabar terhadap penguasa?
Jawab: Sampai kita bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di haudh (telaganya) di akhirat nanti, Beliau bersabda,
«فَإِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الحَوْضِ»
“Sesungguhnya kalian akan lihat setelahku sikap mementingkan diri (dari penguasa), maka bersabarlah sampai kalian bertemuku di telaga.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Pertanyaan: Bagaimana kami menuntut hak kami?
Jawab: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا»
“Akan ada sikap mementingkan diri dan beberapa perkara yang kalian ingkari.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa perintah engkau kepada kami?”
Beliau bersabda,
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian penuhi kewajiban kalian dan kalian meminta kepada Allah hak kalian.” (Hr. Bukhari)
Pertanyaan: Bukankah yang ditaati adalah pemimpin yang kita ridhai saja, bukan yang menang dan mengalahkan yang lain?
Jawab: Bahkan yang menang dan mengalahkan yang lain juga. Hal ini berdasarkan hadits Irbadh bin Sariyah berikut, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia (Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)
Pertanyaan: Bukankah bersabar terhadap pemerintah adalah apabila pemerintah itu mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun ia melanggarnya. Sedangkan pemerintah yang tidak mengikuti petunjuk Beliau, maka tdak berlaku nash-nash tadi?
Jawab: Kalian keliru. Ada hadits Hudzaifah Ibnul Yaman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ»
“Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak menggunakan petunjukku dan tidak mengamalkan sunnahku. Dan akan ada di tengah mereka laki-laki yang hatinya adalah hati setan namun jasadnya manusia.”
Hudzaifah berkata, “Apa yang perlu aku lakukan wahai Rasulullah, jika aku mendapati zaman itu?”
Beliau bersabda,
«تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (Hr. Muslim)
Pertanyaan: Apakah semua perintah penguasa harus kita taati?
Jawab: Tidak semua. Bahkan kalau perintahnya mengandung maksiat, maka tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ»
 “Seorang muslim harus mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam hal yang ia suka maupun ia benci, kecuali apabila diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak didengar dan tidak ditaati.” (Hr. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
Pertanyaan: Apakah para ulama sepakat (ijma) mengharamkan sikap memberontak kepada penguasa?
Jawab: Ya. Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, dan Imam Syaukani rahimahumullah.
Pertanyaan: Bagaimana terjadi kesepakatan, sedangkan Ibnuz Zubair melakukan pemberontakan?
Jawab: Kalian keliru. Ibnuz Zubair tidaklah memberontak kepada penguasa, karena ketika itu kaum muslimin tidak memiliki pemimpin yang menyeluruh. Keadaan kaum muslimin setelah wafatnya Yazid tidak jelas. Ketika itu Ibnuz Zubair dibai’at oleh penduduk Mekah, dan penduduk Hijaz tunduk kepadanya.
Pertanyaan: Bagaimana dengan tampilnya Al Husain?
Jawab: Al Husain tidaklah keluar untuk merebut kekuasaan. Ketika itu penduduk Basrah menipu beliau, mereka mengatakan, “Datanglah kepada kami. Kami tidak memiliki pemimpin.” Ketika beliau tahu, bahwa beliau ditipu, maka beliau menyesal dan ingin kembali ke keluarganya atau pergi menemui Yazid atau ke perbatasan, namun orang-orang yang zalim tidak memberinya kesempatan dan membunuhnya secara zalim sehingga beliau syahid radhiyallahu anhu.
Pertanyaan: Tetapi, bukankah yang lain juga ada yang melakukan pemberontakan, maka bagaimana bisa terjadi ijma?
Jawab: Ibnu Hajar berkata, “Keluarnya sebagian kaum salaf untuk memberontak adalah sebelum tetapnya ijma tentang haramnya memberontak kepada pemimpin yang zalim.” (Mirqatul Mafatih no. 1125)
Imam Nawawi menukil, bahwa memang terjadi khilaf sebelumnya, lalu terjadilah kesepakatan tentang haramnya memberontak kepada penguasa setelahnya.
Pertanyaan: Bukankah harga barang melonjak dan ekonomi susah karena kezaliman penguasa?
Jawab: Kalau pun rakyat keluar melakukan demonstrasi dan memberontak, maka keadaan malah akan semakin parah, keamanan hilang, darah tertumpah, dan kehormatan terenggut. Siapa saja yang melihat sejarah akan mengetahui, bahwa sikap memberontak tidak membawa kebaikan.
Bahkan kalau kita perhatikan ayat dan hadit. Kita akan mengetahui, bahwa diangkatnya pemimpin yang zalim adaah karena rakyatnya juga zalim dan melakukan berbagai kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi wali bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al An’aam: 129)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَامَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ: لَمْ تَظْهَرَ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ. حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلاَفِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقَصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلاَّ أثخِذَوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّة الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمَطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللهِ وَعَهْدَ رَسُوِلِهِ، إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِمْ عَدُوّاً مِنء غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَافِي بأَيْدِيِهمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ، وَيَتَخَّيُروا ممَّا أَنْزَلَ اللهُ، إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
"Wahai kaum Muhajirin! Ada lima perkara yang apabila menimpa kalian, dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mengalaminya, yaitu: tidaklah perbuatan keji (zina) tampak di suatu kaum, kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah mereka penyakit Tha'un (wabah penyakit yang berbahaya) dan penyakit-penyakit yang belum pernah dialami para pendahulu mereka. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa kemarau panjang, kesulitan pangan dan kezaliman penguasa. Tidaklah mereka enggan membayar zakat harta-harta mereka kecuali hujan dari langit akan dihalangi turun kepada mereka, kalau bukan karena (rahmat Allah) kepada hewan-hewan ternak niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menguasakan atas mereka musuh dari luar mereka dan mengambil apa yang mereka miliki. Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan enggan memilih apa yang diturunkan Allah, melainkan Allah akan mengadakan peperangan di antara mereka." (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani)
Pertanyaan: Lalu apa solusinya?
Jawab: Istighfar, tobat, kembali kepada agama Allah dan memperbaiki diri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (Qs. An Nuur: 31)
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar Ra’d: 11)
Oleh karena itu, rubahlah keadaan kita dari syirik kepada tauhid, dari bid’ah kepada sunnah, dari maksiat kepada taat, dari muamalah yang tidak Islami kepada muamalah yang Islami, dan dari akhlak tercela kepada akhlak mulia.
Singkatnya, bertakwalah kita kepada Allah; taatilah perintah-Nya dan jauhilah larangan-Nya. Ingatlah firman-Nya,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al A’raaf: 96)
Ada yang berkata kepada salah seorang kaum salaf, “Harga melonjak naik.” Ia pun berkata, “Turunkanlah dengan istighfar.”
Fawaid:
1. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Khilafah (kepemimpinan) adalah jabatan dan tanggung jawab yang besar, karena mengurus urusan kaum muslimin, dimana pemegangnya adalah penanggung jawab utama terhadap hal itu. Hukumnya fardhu kifayah, karena urusan manusia tidak akan tegak tanpanya. Khilafah ini tercapai dengan salah satu tiga macam ini:
Pertama, pengangkatan dari khalifah sebelumnya sebagaimana diangkatnya Umar bin Khaththab berdasarkan pengangkatan Abu Bakar radhiyallahu anhu.
Kedua, berkumpulnya Ahlul Halli wal ‘Aqd (Tim Musyawarah yang mengangkat khalifah) baik mereka dibentuk oleh khalifah sebelumnya sebagaimana pada pengangkatan kekhalifahan Ustman radhiyallahu anhu, dimana pengangkatan beliau dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi yang dibentuk Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu atau tidak dibentuk oleh pemimpin sebelumnya sebagaimana pada kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu anhu menurut sebagian pendapat, dan sebagaimana pada pengangkatan Ali radhiyallahu anhu.
Ketiga, kekuatan dan pemenangan sebagaimana pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnuz Zubair terbunuh sehingga selesai masa khilafahnya. (Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil I’tiqad hal. 157)
2. Imam Al Ghazaliy rahimahullah berkata, “Kalau kesulitan menemukan seorang yang wara’ dan berilmu untuk memegang kepemimpinan, lalu ada orang yang tidak mengerti hukum atau orang fasik yang merebutnya, sedangkan jika menjauhkan perhatian manusia daripadanya dapat menimbulkan fitnah yang sulit dipikul, maka kita putuskan untuk menganggap sah kepemimpinannya. Yang demikian adalah, karena jika kita gerakkan fitnah dengan mencari penggantinya, maka apa yang diterima kaum muslimin ketika proses penggantian berupa madharrat malah lebih besar di atas madharat yang diperoleh karena kekurangan syarat pada pemimpin yang ditetapkan karena maslahat. Oleh karena itu, tidak boleh pokok maslahat dirobohkan karena mementingkan yang unggulnya, seperti halnya membangun istana, namun kotanya dirobohkan. Demikian pula antara memutuskan untuk mengosongkan negeri dari pemimpin dan rusaknya keadaan,  ini tidak mungkin. Jika kita putuskan berlakunya pemerintahan penguasa zalim di negeri mereka karena dibutuhkan, maka bagaimana kita tidak memutuskan sahnya kepemimpinan ketika dibutuhkan dan dalam kondisi darurat?”
3. Al Khallal dalam As Sunnah hal. 133 dan Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah (1/195, 196) menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan Al Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul di hadapan Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya masalah ini (menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk) dan masalah lainnya (yang bertentangan dengan akidah Islam) sudah semakin parah dan menyebar, dan kami tidak ridha dengan pemerintahan dan kepemimpinannya. Lalu Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka, kemudian ia berkata, “Kalian wajib mengingkarinya dengan hati kalian dan jangan mencabut  ketaatan kepadanya. Jangan kalian patahkan tonggak (kesatuan) kaum muslimin dan jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Perhatikanlah akhir urusan kalian dan bersabarlah agar orang yang baik dapat beristirahat dan dapat lepas dari orang yang fasik.” Ia juga berkata, “Sikap ini (mencabut sikap taat kepada pemerintah) tidaklah benar. Hal ini menyelisihi atsar.”
4. Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Pada tahun 478 H terjadi berbagai musibah, seperti demam dan wabah tha'un di Irak, Hijaz, dan Syam. Akibatnya, ada yang meninggal dunia tiba-tiba, hewan liar mati, dan hewan ternak pun mati. Susu dan daging pun menjadi sedikit.
Di samping itu, terjadi peperangan besar antara kaum Syiah dan Ahlussunnah, sehingga banyak korban yang tewas.
Pada bulan Rabiul Awwal angin hitam berhembus kencang dan menerbangkan pasir-pasir hingga pohon-pohon banyak yang tumbang, seperti pohon kurma dan lainnya.
Bunyi halilintar terjadi di berbagai wilayah sehingga sebagian manusia mengira Kiamat telah terjadi,
Maka Khalifah Al Muqtadi bi Amrillah menetapkan untuk:
1. Menegakkan kembali amar ma'ruf dan nahi mungkar di setiap wilayah
2. Mewajibkan kaum kafir dzimmi yang berada di wilayah Islam mengenakan pakaian ciri khas mereka
3. Mematahkan berbagai alat musik
4. Menumpahkan khamr (minuman keras)
5. Mengusir para pelaku kerusakan (penyeru maksiat) dari negerinya
Maka musibah itu pun hilang, dan segala puji bagi Allah."
(Al Bidayah wan Nihayah secara ringkas 11/140)
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa solusi keluar dari musibah yang kita alami, seperti kemarau panjang, gempa bumi, kerusuhan dan sebagainya adalah dengan:
1. Kembali kepada Allah dengan istighfar dan tobat
2. Hidupkan kembali amar ma'ruf dan nahi mungkar atau ingatkan manusia mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan gunakan berbagai media untuk amar maruf dan nahi munkar sambil bekerja sama dengan pihak pemerintah
Misalnya memerintahkan manusia menjaga tauhid dan menjauhi syirik seperti sesaji dan tumbal, meninggalkan para dukun, menyuruh manusia menjaga shalat, memerintahkan kaum wanita menutup aurat, menutup pabrik-pabrik minuman keras (dengan meminta bantuan kepada pemerintah), dsb.
3. Jangan beri kesempatan penyeru kerusakan berbicara di depan umum, seperti kaum Liberalis, Sekularis, LGBT, Peramal atau dukun, Pluralis, Komunis, dsb.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin
Marwan bin Musa
Maraji: Maktabah Syamilah 3.45, Tulisan via medsos tentang hukum memberontak yang ditulis oleh Abu Bakar Addab dari Khartum, Sudan, Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam bin Barjas), Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil I’tiqad (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), dll.


[i] Berdasarkan hadits tersebut, maka tidak diperbolehkan menggulingkan penguasa kecuali jika memenuhi dua syarat :
1.        Pemimpin tersebut jelas-jelas melakukan kekafiran dan ada dalil tentang kekafirannya.
2.        Tidak menimbulkan madharrat (bahaya) yang lebih besar.
Tentunya yang menimbang hal ini adalah ulama (lihat An Nisaa’ : 83).

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger