بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (59)
Keagungan dan Kekuasaan Allah Azza wa
Jalla
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh
Muhammad At Tamimi rahimahullah,
yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid
karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab:
Keagungan dan
Kekuasaan Allah Azza wa Jalla
Firman
Allah Ta’ala,
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُون
“Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal
bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (Qs. Az Zumar: 67)
Penjelasan:
Dalam
bab ini, penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) hendak menutup kitabnya
dengan menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan keagungan Allah Azza wa Jalla
dan ketundukan semua makhluk kepada-Nya, dimana itu semua menunjukkan bahwa
hanya Dia yang berhak disembah; tidak selain-Nya, dan bahwa Dia memiliki semua
sifat yang sempurna dan agung.
Dalam
ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan keadaan kaum musyrik yang tidak
mengagungkan Allah Azza wa Jalla dengan pengagungan yang sebenarnya, dimana
mereka sampai menyembah selain-Nya, padahal Dia Maha Agung yang tidak ada yang
paling agung daripada-Nya, Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, Yang memiliki
dan menguasai segala sesuatu, semua makhluk di bawah kekuasaan-Nya dan
keagungan-Nya, dimana semuanya kecil di hadapan-Nya. Selanjutnya Dia sucikan
Diri-Nya dari perbuatan syirik yang dilakukan orang-orang musyrik dan
pencacatan yang dilakukan orang-orang yang bodoh.
Faedah:
Madzhab
kaum salaf tentang firman Allah Ta’ala, “Padahal bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya,” adalah
menyebutkan apa adanya dengan meyakini apa yang ditunjukkan oleh ayat itu tanpa
mentakwil ke arti lain, tanpa menanyakan bagaimana hakikatnya, tanpa
menyerupakan dengan makhluk, dan tanpa meniadakan.
**********
Dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, bahwa ada salah seorang pendeta Yahudi yang
datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai
Muhammad, kami mendapati (dalam kitab kami), bahwa Allah meletakkan
langit-langit di satu jari, bumi di atas satu jari, pepohonan di atas satu
jari, tanah di atas satu, sedangkan semua makhluk di atas satu jari, lalu Dia
berfirman, “Akulah Raja.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersenyum
sehingga tampak gigi-gigi seri Beliau karena membenarkan ucaan pendeta itu.
Kemudian Beliau membacakan ayat,
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ
“Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal
bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat...dst.” (Qs. Az Zumar: 67)
Dalam
sebuah riwayat Muslim disebutkan, “Gunung-gunung dan pepohonan di atas satu
jari, lalu Dia guncangkan sambil berfirman, “Akulah Raja, Akulah Allah.”
Dalam
sebuah riwayat Bukhari disebutkan, Allah meletakkan langit di atas satu jari,
tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari.” (Hr. Bukhari
dan Muslim)
Dalam
sebuah riwayat Muslim dari Ibnu Umar secara marfu (dari Nabi shallallahu alaihi
wa sallam) disebutkan,
يَطْوِي اللهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ
يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟
أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ. ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ، ثُمَّ يَقُولُ:
أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟
“Allah
Azza wa Jalla menggulung seluruh lapisan langit pada hari Kiamat, lalu diambil
dengan Tangan Kanan-Nya, kemudian berfirman, “Akulah Raja, mana orang-orang
yang kejam? Mana orang-orang yang sombong?” Kemudian Dia menggulung ketujuh
lapisan bumi dengan Tangan Kiri-Nya dan berfirman, “Akulah Raja, mana
orang-orang yang kejam? Mana orang-orang yang sombong?”
Dan
diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata, “Langit yang tujuh dan bumi yang tujuh
di telapak tangan Allah Ar Rahman hanyalah seperti biji sawi yang diletakkan di
telapak tangan salah seorang di antara kamu.”
Penjelasan:
Hadits
Ibnu Mas’ud di atas disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 4811 dan Muslim
no. 2786.
Hadits
Ibnu Umar disebutkan dalam Shahih Muslim no. 2788.
Atsar
Ibnu Abbas (yang terakhir) diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsiirnya
(24/25) dari jalan Amr bin Malik An Nukri, dari Abu Jauza, yakni Aus bin
Abdullah Ar Rib’iy seorang yang tsiqah, dari Ibnu Abbas, dan isnadnya
bersambung serta tidak bermasalah. Amr bin Malik adalah seorang yang sangat
jujur dirinya, riwayat-riwayat yang munkar hanyalah datang dari anaknya, yaitu
Yahya, sedangkan atsar ini bukan dari riwayat anaknya darinya. Syaikh Sulaiman
sebagaimana dalam Ibthalut Tandid hal. 257 berkata, “Pernyataannya
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas” ini diriwayatkan oleh Mu’adz bin Hisyam Ad
Dastawa’i, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Amr bin Malik, dari Abul
Jauza, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Sesungguhnya langit yang tujuh dan bumi
yang tujuh serta apa-apa yang ada pada keduanya ketika berada di Tangan Allah
Azza wa jalla melaikan seperti biji sawi yang ada di tangan salah seorang di
antara kamu.” Syaikh Sulaiman berkata, “Isnad ini menurut penilaianku adalah
shahih.” Wallahu a’lam. Demikian takhrij Syaikh Usamah Al Utaibi dalam
takhrijnya terhadap kitab Taisirul Azizil Hamid karya Syaikh Sulaiman
bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah hal. 1300.
Dalam
hadits di atas ulama Yahudi ini menyampaikan kepada Nabi shallallahu alaihi wa
sallam apa yang didapatkannya dalam kitab Taurat yang menerangkan tentang
keagungan Allah Azza wa Jalla dan sangat kecilnya semua makhluk di hadapan-Nya,
dan bahwa Dia akan meletakkan makhluk-makhluk-Nya di Jari-Jari-Nya, lalu Nabi
shallallahu alaihi wa sallam membenarkan hal itu dan bergembira karenanya,
kemudian membacakan ayat yang membenarkan hal itu.
Kesimpulan:
1.
Keagungan
Allah Azza wa Jalla dan sangat kecilnya semua makhluk di hadapan-Nya.
2.
Orang
yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama saja tidak mengagungkan-Nya.
3.
Menetapkan
kedua Tangan, jari, dan telapak Tangan bagi Allah yang sesuai dengan
keagungan-Nya.
4.
Ilmu
yang mulia ini yang tercantum dalam Taurat masih diketahui oleh orang-orang
Yahudi di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dimana mereka tidak merobah
dan tidak mengingkarinya.
5.
Sendirinya
Allah Azza wa Jalla dengan kerajaan dan kekuasaan, dan hilangnya semua
kepemilikan bagi selain-Nya pada hari Kiamat.
**********
Ibnu
Jarir berkata, “Telah menceritakan kepadaku Yunus, telah memberitakan kepada
kami Ibnu Wahb, ia berkata, “Ibnu Zaid berkata, “Telah menceritakan kepadaku
ayahku, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"مَا
السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَدَرَاهِمَ سَبْعَةٍ أُلْقِيَتْ
فِي تُرْسٍ"
“Langit
yang tujuh di kursi tidak lain kecuali seperti tujuh dirham yang diletakkan di
atas tanah terbuka.”
Abu
Dzar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"مَا
الْكُرْسِيُّ فِي الْعَرْشِ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مِنْ حَدِيْدٍ أُلْقِيَتْ بَيْنَ ظَهْرَيْ
فَلاَةٍ مِنَ الْأَرْضِ"
“Kursi
dibanding Arsyi tidak lain kecuali seperti gelang besi yang diletakkan di
tengah-tengah padang pasir.”
Penjelasan:
Riwayat
Ibnu Jarir yang pertama disebutkan oleh beliau dalam tafsirnya (3/10) dan Abusy
Syaikh dalam Al Azhamah no. 220, sedangkan Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam adalah seorang yang lemah. Ayahnya seorang tabi’in yang tsiqah
(terpercaya), sehingga hadits ini mursal dan lemah sanadnya. Syaikh Sulaiman
dalam Ibthalut Tandiid hal. 257
berkata, “Hadits Zaid bin Aslam diriwayatkan pula oleh Ashbagh bin Farj dengan
jalan ini dan lafaz tersebut. Ia adalah hadts mursal, sedangkan Abdurrahman bin
Zaid adalah dha’if.” Demikian takhrij Syaikh Usamah Al Utaibi dalam takhrijnya
terhadap kitab Taisirul Azizil Hamid hal. 1300.
Sedangkan
hadits yang kedua dari Abu Dzar, Syaikh Sulaiman dalam Ibthalut Tandid
hal. 257 berkata, “Pernyataannya “Abu Dzar berkata” seakan berkesan bahwa hal
ini masih mengikuti pernyataan Ibnu Zaid yang menyebutkan sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, padahal tidak demikian menurut yang tampak
bagiku, karena hadits Abu Dzar ini
diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Absyamiy, telah memberitakan kepada
kami Ibnu Juraij dari Atha, dari Ubaid bin Umair, dari Abu Dzar, aku bertanya,
“Wahai Rasulullah, ayat apa yang paling agung?” Beliau menjawab, “Ayat kursi. Langit
yang tujuh di kursi tidak lain kecuali seperti tujuh dirham yang diletakkan di
atas tanah terbuka. Kelebihan Arsyi disbanding kursi seperti luasnya padang pasir
dengan gelang itu.” Adz Dzahabiy berkata, “Yahya bin Sa’id adalah Al Umawiy, ia
seorang yang sangat jujur. Jika bukan dia, maka berarti yang lain yang aku
tidak mengenalnya.” (Lihat Kitab Al Uluw hal. 115, lengkap ucapannya
adalah, “Khabar ini munkar.”)
Hadits Abu Dzar tersebut
juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/168), Ibnu Addiy
dalam Al Kamil fidh Dhu’afa (7/244), Abusy Syaikh dalam Al Azhamah
(2/569-570), Baihaqi dalam Al Asma wash Shifat no. 861, Ibnu Asakir
dalam Tarikh Dimasq (23/277) dan lain-lain, namun ia munkar dari jalan
ini sebagaimana dikatakan Ibnu Addiy, Ibnu Hibban, Al Uqailiy, Adz Dzahabi, dan
lain-lain. Akan tetapi bagian pertama hadits tersebut yang disebutkan Syaikh
Sulaiman ada syahid-syahid (penguat dari jalan lain) yang menjadikannya shahih,
wallahu a’lam. Demikian takhrij Syaikh Usamah Al Utaibi
dalam takhrijnya terhadap kitab Taisirul Azizil Hamid hal. 1300.
Ibnu
Jarir juga meriwayatkannya dalam Tafsirnya (3/10), Abusy Syaikh dalam Al
Azhamah (2/587), namun dalam isnadnya ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
seorang yang lemah, namun hadits ini memiliki beberapa jalan yang cukup
sehingga menjadi shahih, lihat Silsilatul Ahadits Ash Shahihah no. 109.
Kedua
hadits di atas menerangkan tentang besarnya Arsyi dan kursi Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula bahwa kursi meskipun luas dan besar, namun jika dibanding dengan
Arsyi maka seperti sebuah gelang besi yang diletakkan di padang pasir. Ini
semua menunjukkan keagungan dan kebesaran Penciptanya dan menunjukkan kekuasaan-Nya.
Kesimpulan:
1.
Kursi lebih besar daripada tujuh lapis langit, dan bahwa Arsyi lebih besar
daripada kursi.
2.
Keagungan Allah Azza wa Jalla dan sempurna kekuasaan-Nya,
3.
Arsyi berbeda dengan kursi.
4.
Bantahan terhadap orang yang menafsirkan kursi dengan kerajaan atau ilmu.
**********
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata,
بَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا
وَالَّتِي تَلِيَهَا خَمْسَمِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ وَسَمَاءٍ
خَمْسَمِائَةِ عَامٍ ، وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَابِعَةِ وَاْلكُرْسِيِ
خَمْسَمِائَةِ عَامٍ ، وَبَيْنَ الْكُرْسِيِ وَالْمَاءِ خَمْسَمِائَةِ عَامٍ ،
وَالْعَرْشُ فَوْقَ الْمَاءِ، وَاللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ، لَا يَخْفَى عَلَيْهِ
شَيْءٌ مِنْ أَعْمَالِكُمْ ".
“Antara langit dunia dengan langit berikutnya jaraknya 500
tahun, antara masing-masing langit jaraknya 500 tahun, antara langit yang
ketujuh dengan kursi jaraknya 500 tahun. Antara kursi dengan samudra jaraknya 500 tahun
dan Arsy di atas samudra, sedangkan Allah di atas Arsy, tidak samar bagi-Nya sedikitpun dari
amalmu.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hammad bin Salamah, dari Ashim, dari Zir,
dari Abdullah)
Diriwayatkan
pula yang semisal dengan di atas oleh Al Mas’udi dari Ashim, dari Abu Wail,
dari Abdullah. Demikian yang dikatakan Al Hafizh Adz Dzahabi, ia juga berkata,
“Riwayat ini memiliki banyak jalan.”
Dari
Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian berapa jarak antara
langit dan bumi?” Para sahabat menjawab, “Kami mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.” Beliau bersabda,
"بَيْنَهُمَا
مَسِيْرَةَ خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ مَسِيْرَةَ
خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ ، وَكِثَفُ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيْرَةَ خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ ،
وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَالْعَرْشِ بَحْرٌ، بَيْنَ أَسْفَلِهِ وَأَعْلاَهُ
كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَاللهُ فَوْقَ ذَلِكَ؛ لاَ يَخْفَى عَلَيْهِ
شَيْءٌ مِنْ أَعْمَالِ بَنِي آدَمَ"
“Jarak
antara keduanya sejauh perjalanan lima ratus tahun. Antara langit yang satu ke
langit berikutnya sejauh perjalanan lima ratus tahun. Ketebalan antara
masing-masing langit sejauh perjalanan lima ratus tahun. Antara langit ketujuh
dengan Arsyi ada samudra, antara bagian dasar dan permukaannya sejauh antara
langit dan bumi. Allah di atas itu, tidak ada sesuatu pun amal anak cucu Adam
yang samar bagi-Nya.” (Hr. Abu Dawud dan lainnya)
Penjelasan:
Atsar Ibnu Mas’ud
diriwayatkan oleh Utsman Ad Darimi dalam Ar Radd alal Jahmiyyah no. 81,
Ibnu Khuzaimah dalam kitab At Tauhid no. 594, Thabrani dalam Mu’jam
Kabirnya no. 8987, Abusy Syaikh dalam Al Azhamah no. 203, 279, Baihaqi
dalam Al Asma wash Shifat 2/290, Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid
7/139, Al Lalika’i dalam Syarh Ushulil I’tiqad no. 659, Ibnu Qudamah
dalam Itsbatul Uluw hal. 104-105,
Adz Dzahabi dalam Al Uluw hal. 45 dan ia menyandarkan kepada Ibnul
Mundzir dalam Ad Durrul Mantsur (1/109) serta kepada Ibnu Mardawaih, dan
isnadnya hasan. Adz Dzahabi dalam kitab Al Arsy no. 105 berkata,
“Diriwayatkan oleh Al Lalika’i dan Baihaqi dengan isnad yang shahih.”
Demikian
takhrij Syaikh Usamah Al Utaibi dalam takhrijnya terhadap kitab Taisirul
Azizil Hamid hal. 1302.
Tentang hadits Abbas bin Abdul Muththalib Dr. Al Murtadha Az Zain Ahmad berkata, “Lafaz tersebut belum saya
temukan dalam Abu Dawud, namun diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al Musnad
1/206-207 secara panjang lebar melalui dua jalan; pertama, dari Abdullah
bin Amirah dari Abbas bin Abdul Muththalib. Kedua, dari Abdullah bin Amirah
dari Ahnaf bin Qais, dari Abbas bin Abdul Muththalib. Pada isnad jalur yang
pertama terdapat Yahya bin Al Alaa seorang yang lemah (Mizanul I’tidal
2/496). Adz Dzahabi berkata tentang Abdullah bin Amirah, “Padanya terdapat
kemajhulan (tidak diketahui).” Bukhari berkata, “Tidak diketahui ia mendengar
dari Ahnaf bin Qais.” (Mizanul Itidal 2/469). Dalam riwayat Abu Dawud
disebutkan tentang jarak antara langit dan bumi, yakni antara 71, 72, atau 73
tahun, lihat As Sunan 5/93, kitab
As Sunnah, bab fil Jahmiyyah hadits no. 4723 dan isnadnya dhaif.
Asar
Ibnu Mas’ud di atas menerangkan tentang keadaan di atas langit dari sisi besar
dan luasnya serta jauhnya jarak masing-masingnya. Ibnu Mas’ud menerangkan (dan
hal ini memiliki hukum marfu), bahwa langit ada tujuh lapis, dimana
masing-masingnya di atas yang lain, dan jauhnya jarak langit dengan bumi sejauh
perjalanan lima ratus tahun. Jarak antara masing-masing langit sejauh
perjalanan lima ratus tahun. Di atas langit yang tujuh ada kursi, di atas kursi
ada samudra, dimana jarak antara keduanya sejauh perjalanan lima ratus tahun. Di
atas samudra ada Arsyi, dan Allah di atas Arsy, namun tidak ada satu pun amal
manusia yang tersembunyi bagi-Nya.
Hadits
di atas menerangkan akan keagungan dan kebesaran Allah azza wa Jalla, serta
kekuasaan-Nya di atas seluruh makhluk, dan bahwa ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu. Demikian pula menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala.
Kesimpulan:
1.
Keagungan
Allah dan kekuasaan-Nya, dan wajibnya beribadah hanya kepada-Nya.
2.
Keadaan
benda-benda langit, besar, luas, dan jarak masing-masingnya.
3.
Bantahan
terhadap para pemiliki teori baru yang tidak beriman kepada adanya tujuh lapis
langit, kursi, Arsyi, dan mereka menyangka bahwa langit itu kosong dan hanya
ada planet-planet.
4.
Menetapkan
ketinggian Allah Azza wa Jalla di atas
semua makhluk-Nya.
5.
Menetapkan
bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu dengan ketinggian-Nya di atas semua
makhluk.
6.
Disyariatkan
menerangkan hakikat yang agung ini kepada manusia agar mereka mengetahui
keagungan Allah Azza wa Jalla dan kekuasaan-Nya.
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Taisirul Azizil Hamid (Sulaiman bin
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab), Al Qaulus Sadid fi Maqashidit
Tauhid (Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy), Maktabah Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar