بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih
Zakat (9)
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan
pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk
kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Zakat tanaman pada lahan yang dikenai pajak (Kharajiyyah)
Tanah terbagi dua:
Pertama, ‘Usyriyyah (yakni yang wajib
dikeluarkan zakatnya 1/10), yaitu tanah yang penduduknya masuk Islam secara
sukarela (tanpa peperangan), atau tanah yang ditaklukkan dengan tegas (melalui
peperangan) lalu dibagikan kepada para penakluknya, atau tanah mati yang
dihidupkan (dikelola kembali) oleh kaum muslimin.
Kedua, Kharajiyyah, yaitu tanah yang
ditaklukkan dengan tegas (melalui peperangan), namun dibiarkan pada tangan
pemilik sebelumnya namun dengan syarat mereka menyerahkan pajak (kharaj).
Zakat itu, sebagaimana wajib pada tanah ‘Usyriyyah juga
wajib pada tanah Kharajiyyah apabila penduduknya masuk Islam atau dibeli oleh
seorang muslim, sehingga berkumpul kewajiban membayar sepersepuluh dengan
kewajiban membayar pajak, dimana salah satunya tidak dapat menggugurkan yang
lain.
Ibnul Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”
Bahkan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Az
Zuhri, Yahya Al Anshari, Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Hasan bin Shalih,
Ibnu Abi Laila, Al Laits, Ibnul Mubarak, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan Dawud.
Mereka berdalih dengan Al Qur’an, As Sunnah, dan Qiyas.
Dalam Al Qur’an dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu.” (Qs. Al Baqarah: 267)
Di ayat ini Allah mewajibkan zakat pada tanah secara
mutlak, baik pada tanah Kharajiyyah
maupun ‘Usyriyyah.
Sedangkan dalil dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam,
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ
الْعُشْرُ
“Tanaman yang disirami hujan, maka zakatnya sepersepuluh.”
Sedangkan secara qiyas adalah karena zakat dan pajak
adalah dua hak karena dua sebab yang berbeda untuk yang berhak, sehingga salah
satunya tidak dapat menggugurkan yang lain sebagaimana ketika ketika seorang
yang ihram membunuh hewan buruan yang dimiliki seseorang.
Di samping itu, karena kadar zakat sepersepuluh wajib
berdasarkan nash, sehingga tidak dihalangi pajak yang wajib karena ijtihad.
Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa tidak ada zakat sepersepuluh
pada tanah kharajiyyah, yang wajib hanyalah pajak saja, dan bahwa di antara syarat
wajibnya zakat sepersepuluh adalah apabila tanah itu bukan tanah Kharajiyyah.
Alasan Imam Abu Hanifah beserta kritik terhadapnya
Imam Abu Hanifah berdalih terhadap madzhabnya dengan
beberapa argumen berikut:
Pertama, riwayat Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَجْتَمِعُ عُشْرٌ وَخَرَاجٌ
فِي أَرْضِ مُسْلِمٍ
“Tidak berkumpul bersama usyur (zakat sepersepuluh/pertanian)
dan kharaj di tanah seorang muslim.”
Kritik: Akan tetapi hadits ini disepakati
oleh para ulama akan kedhaifannya, karena rawinya yaitu Yahya bin Anbasah
menyendiri dengan hadits itu dari Abu Hanifah, dari Hammad, dari Ibrahim An
Nakha’i, dari Alqamah dari Ibnu Mas’ud dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar berkata, “Hadits
yang disebutkan itu diriwayatkan Abu Hanifah dari Hammad, dari Ibrahim yang merupakan perkataannya, namun Yahya
meriwayatkan demikian secara marfu (dihubungkan kepada Nabi shallallahu alaihi
wa sallam), sedangkan Yahya bin Anbasah adalah seorang yang tersingkap kedhaifannya,
karena ia meriwayatkan hadits-hadits maudhu dari orang-orang yang tsiqah
(terpercaya). Demikianlah yang dikatakan Abu Ahmad bin Addiy Al Hafizh seperti
yang kami dengar dari Abu Sa’id Al Malini darinya. Bahkan didhaifkan pula oleh
Al Kammal bin Hammam dari kalangan ulama madzhab Hanafi. Dan Al Kammal dalam
hal ini menguatkan madzhab jumhur ulama serta mengkritik madzhabnya sendiri
seperti penjelasan yang disebutkan di atas.
Kedua, hadits riwayat Ahmad, Muslim, dan Abu
Dawud dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنَعَتِ الْعِرَاقُ قَفِيزَهَا وَدِرْهَمَهَا،
وَمَنَعَتِ الشَّامُ مُدْيَهَا وَدِينَارَهَا، وَمَنَعَتْ مِصْرُ إِرْدَبَّهَا وَدِينَارَهَا،
ثُمَّ عُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ»
“(Akan datang masa) Irak mencegah qafiz (ukuran takaran) dan
dirhamnya. Syam mencegah mudy dan dinarnya, Mesir mencegah irdab dan dinar, dan
kalian kembali seperti semula.”
Zuhair (salah seorang rawi) mengucapkan kalimat ini tiga
kali yang daging dan darah Abu Hurairah menjadi saksinya.
Sisi pengambilan dalil dari hadits tersebut adalah karena
hadits tersebut menyebutkan berita tentang hal yang akan terjadi berupa penahanan
terhadap hak-hak yang wajib diserahkan dan hak-hak lainnya, dimana berita ini menerangkan
tentang pajak. Jika zakat sepersepuluh wajib, tentu akan disebutkan dalam
hadits tersebut.
Kritik: Akan tetapi dalam hadits di atas
tidak ada dalil tentang tidak diambilnya zakat dari tanah Kharajiyyah. Bahkan para
ulama menafsirkan hadits itu, bahwa mereka akan masuk Islam sehingga gugurlah
jizyah dari mereka.
Ketiga, ada riwayat, bahwa raja Dahqan Bahar
saat masuk Islam, maka Umar bin Khaththab berkata, “Serahkanlah tanah kepadanya
dan ambillah pajak daripadanya.”
Pernyataan ini merupakan pernyataan tegas tentang
pengambilan pajak tanpa ada perintah mengambil zakat sepersepuluh.
Kritik: maksud kisah ini adalah bahwa pajak
tidak gugur karena masuk Islamnya non muslim. Hal ini tidak berarti gugurnya
zakat sepersepuluh. Disebutkan pajak karena biasanya menimbulkan kesan gugurnya
ketika masuk Islam seperti halnya jizyah (upeti yang dibayarkan kafir dzimmi
kepada penguasa muslim sebagai ganti atas penjagaan keamanan mereka). Adapun
zakat sepersepuluh, maka sudah maklum hukumnya wajib bagi seorang muslim yang
merdeka sehingga tidak perlu disebutkan sebagaimana tidak disebutkan zakat pada
hewan ternak, zakat emas dan perak, dan lain-lain. Atau pada saat itu, Dahqan
tidak memiliki pertanian yang wajib dikeluarkan zakat sepersepuluh.
Keempat, praktek para gubernur dan para
pemimpin yang tidak memadukan antara zakat sepersepuluh dan pajak.
Kritik: Pernyataan ini tertolak
berdasarkan nukilan Ibnul Mundzir, bahwa Umar bin Abdul Aziz memadukan
keduanya.
Kelima, pajak berbeda dengan zakat. Hal itu,
karena pajak wajib karena hukuman, sedangkan zakat sepersepuluh wajib karena ibadah,
dan tidak mungkin keduanya berkumpul bersama dalam diri seseorang sehingga
kedua-duanya wajib baginya.
Kritik: pernyataan ini benar di awalnya,
namun tidak benar dalam keadaan langgeng. Hal itu, karena tidak semua bentuk
pajak didasarkan ketegasan (peperangan) atau pemaksaan, bahkan ada yang bentuknya
tanpa kekerasan seperti pada tanah yang dekat dengan tanah Kharajiyyah, atau
tanah yang dihidupkan dan disirami dengan aliran air dari sungai-sungai yang kecil.
Keenam, sebab masing-masingnya, baik pajak
maupun zakat sepersepuluh adalah sama, yaitu sebagai tanah yang dapat
dikembangkan baik secara hakiki maupun hukum. Alasannya, jika tanah tersebut
berupa rawa yang mengandung garam yang tidak ada manfaatnya, maka tidak ada pajak
dan zakat padanya. Jika sebabnya satu, maka tidak akan berkumpul bersama zakat
dan pajak pada satu tanah, karena satu sebab tidak terkait dengan dua hak dari
jenis yang sama sebagaimana ketika seseorang memiliki senishab hewan ternak
untuk diperdagangkan dalam waktu setahun. Dalam hal ini, ia tidak berkewajiban
membayar dua zakat.
Kritik: keadaan yang sebenarnya tidak
demikian. Hal itu karena sebab zakat sepersepuluh adalah tanaman yang keluar
dari bumi, sedangkan pajak wajib teradap tanah, baik ditanami maupun dibiarkan.
Kalau pun kita menyatakan satu sebabnya, maka tidak
menghalangi adanya dua fungsi karena satu sebab, yaitu tanah sebagaimana yang
dikatakan Al Kamal bin Al Hammam.
Zakat tanaman di tanah persewaan
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa barang siapa yang
menyewa tanah lalu menanamnya, maka zakatnya tertuju kepadanya; bukan kepada
pemilik tanah.
Namun Abu Hanifah berpendapat, bahwa zakatnya ditanggung
pemilik tanah.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab perbedaan pendapat ini adalah apakah
zakat sepersepuluh itu berkaitan dengan hak tanah atau hak tanaman? Oleh karena
zakat adalah hak pada salah satu dari kedua itu, maka mereka berbeda pendapat
manakah yang lebih pantas dinisbatkan kepada hal yang telah disepakati, yaitu
ketika tanaman dan tanah milik seseorang.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa yang lebih
pantas dinisbatkan adalah yang dikenai zakat, yaitu tanaman. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat, bahwa yang lebih pantas adallah asal kewajiban, yaitu
tanah.
Ibnu Qudamah menguatkan pendapat jumhur dan berkata, “Zakat
wajib pada tanaman, sehingga tertuju kepada pemilik tanaman, seperti zakat nilai
pada harta yang disiapkan untuk diperdagangkan, dan seperti sepersepuluh dari
tanaman yang ditanam pada tanah miliknya. Tidak benar pernyataan mereka bahwa tanaman
termasuk biaya tanah. Hal itu, karena jika termasuk biayanya tentu akan kena
zakat pada tanah meskipun tidak ditanami seperti tanah Kharajiyyah, dan sudah
barang tentu zakat wajib pula pada orang kafir dzimmiy seperti pajak baginya. Kadar
zakat juga akan dihitung dengan kadar tanah; bukan kadar tanaman, dan zakat
akan wajib dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak memperoleh fai’; bukan
kepada pihak mustahik zakat.”
Wallahu a’lam.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh
M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar