بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut kami perkenalkan salah satu mutiara zaman, yaitu Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, aamin.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
Nama
beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Abul Qasim bin
Muhammad bin Taimiyah Al Harrani. Panggilannya adalah Abul ‘Abbas. (Lihat Al
‘Uqud Ad Durriyyah karya Ibnu Abdil Hadi hal. 24)
Menurut
Adz Dzahabi, bahwa kakek Ibnu Taimiyah saat naik haji melalui jalan Taima –kota
antara Madinah dan Tabuk-, dilihatnya ada seorang anak perempuan yang keluar
dari kemah. Ketika pulang ke Harran, dilihat istrinya telah melahirkan seorang
putri, maka ia memanggilnya dengan mengatakan, “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah”
(yakni mirip dengan anak perempuan yang dilihatnya di Taima) akhirnya
disebutlah ia dengannya.
Menurut
Ibnun Najjar, bahwa kakeknya adalah Muhammad, sedangkan ibunya bernama
Taimiyah, ia adalah seorang wanita pemberi nasihat, sehingga dinisbatkanlah
kepadanya dan menjadi lebih dikenal dengannya. (Tarikhul Islam karya Adz
Dzahabi juz 13 hal. 723).
Kelahiran,
perkembangan ilmunya, dan akhlaknya
Syaikhul
Islam rahimahullah lahir pada hari Senin tanggal 10 atau 12 Rabiul Awwal tahun
661 H di Harran.
Pada
tahun 667 bangsa Tartar menyerang negerinya sehingga memaksa keluarganya pergi
meninggalkan Harran menuju Damaskus yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.
Syaikhul
Islam belajar kepada para ulama di kota itu sejak kecil hingga dewasa dan
setaraf dengan para ulama ketika itu, yakni dalam hal kelayakan mengajar dan
berfatwa, padahal ketika itu usianya belum mencapai 20 tahun.
Menurut
Ibnu Abdil Hadi, di masa kecilnya ia telah menyimak Musnad Ahmad bin Hanbal
berkali-kali, dan menyimak kutubus sittah (6 kitab hadits), termasuk juga
Mu’jam Kabir milik Thabrani.
Beliau
juga memiliki perhatian terhadap hadits, membaca, dan menyalinnya. Demikian
juga telah belajar menulis dan berhitung, serta telah hafal Al Qur’an. Juga
mendatangi ilmu fiqih dan belajar bahasa Arab kepada Ibnu Abdil Qawiy, serta
mempelajari kitab karya Sibawaih sehingga faham dalam hal Nahwu, dan mendalami
berbagai kitab tafsir serta mendalami Ushul Fiqih.
Itu
semua dikuasai ketika usianya belasan tahun sehingga penduduk Damaskus merasa
takjub dengan kecerdasannya, cepatnya dalam menerima ilmu, dan kekuatan
ingatannya.
Di
masa kecilnya saat Ibnu Taimiyah hendak ke kuttab (tempat belajar ketika itu) beliau
biasa ditemui oleh orang Yahudi, karena rumahnya berada di jalan yang biasa
dilalui Ibnu Taimiyah. Orang Yahudi ini kemudian mengajukan beberapa pertanyaan
kepada Ibnu Taimiyah karena melihat kecerdasan beliau, lalu pertanyaan itu
dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah sehngga orang Yahudi ini takjub.
Sehingga setiap kali Ibnu Taimiyah bertemu dengan orang Yahudi dan menyampaikan
tentang kebatilan apa yang dipegang oleh orang Yahudi itu selama ini, ia (orang Yahudi ini) pun masuk Islam dan
keislamannya bagus. (Lihat Al A’laam Al Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah
karya Al Bazzar hal. 17)
Hampir
tidak ada berbagai disiplin ilmu melainkan ia menguasainya seakan-akan Allah
telah mengkhususkannya dengan cepatnya menghafal dan lambat lupa, dimana beliau
tidaklah mengetahui atau mendengar sesuatu melainkan sesuatu itu terus diingat
dalam hatinya baik lafaz maupun maknanya, dan seakan-akan ilmu itu telah menyatu
dengan daging, darah, dan seluruh tubuhnya.
Al
Bazzar rahimahullah berkata, “Allah memberikan kepadanya kemampuan
menggali makna dari lafaz-lafaz hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
berita-berita yang diriwayatkan, menampakkan dalil-dalil terhadap berbagai
masalah, memperjelas mafhum (yang tersirat) pada lafaz dan manthuq (yang
tersurat)nya, memperjelas pentakhshis terhadap yang ‘aam(umum)nya, yang
muqayyad terhadap yang mutlak, nasikh terhadap mansuknya, serta menerangkan
dhawabit(kaedah-kaedahnya)-nya, lazim (hal yang menyatu) dan malzumnya (bagian yang
ikut menyatunya), serta hasilnya, dan hal yang dibutuhkannya, sehingga ketika
ia menyebutkan ayat atau hadits, ia dapat menerangkan maknanya dan maksudnya,
dan akan membuat orang berilmu yang cerdas takjub karena bagusnya hasil
istinbath (kajiannya), dan akan membuatnya terheran dengan hasil yang didengar
atau diketahuinya.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah seorang yang menjaga diri, sederhana dalam pakaian
dan makan, bertakwa, berbakti kepada ibunya, wara, ahli ibadah, dan banyak
berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dalam berbagai keadaan, dan banyak kembali
kepada Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar, jiwanya tidak pernah kenyang dengan ilmu, tidak berhenti membaca, dan
tidak bosan melakukan pengkajian.
Ibnu
Abdil Hadi rahimahullah berkata, “Guru kami rahimahullah terus menambah
ilmu, menyibukkan dengan pengkajian, menyebarkan ilmu, dan bersungguh-sungguh
di jalan kebaikan sehingga jadilah ia imam dalam hal imu dan amal, zuhud dan
wara, berani dan dermawan, tawadhu, santun dan kembali kepada Allah, kemuliaan
dan disegani. Demikian juga imam dalam hal amar ma’ruf dan nahi munkar, serta
dalam berbagai jihad disertai sikap jujur, menjaga diri, niat yang baik dan
ikhlas, berdoa sungguh-sungguh kepada Allah dan memiliki rasa takut kepada-Nya,
merasa terus diawasi-Nya, sangat kuat berpegang dengan atsar (riwayat), berdoa
kepada Allah dan akhlak yang mulia, serta memberikan manfaat kepada manusia,
berbuat ihsan kepada mereka, sabar terhadap orang yang menyakitinya, memaafkan
dan mendoakan kebaikan untuknya, serta melakukan berbagai kebaikan lainnya.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Saya berlapang dada terhadap orang yang
menyelisihiku, meskipun ia melampaui batasan Allah dalam mengkafirkan,
menganggap fasik, mengada-ada, atau melakukan fanatik jahiliyyah, namun aku
tidak akan melampaui batasan Allah terhadapnya, bahkan aku jaga ucapan dan
tindakanku terhadapnya dan aku menimbangnya dengan timbangan yang adil sambil
mengikuti kitab yang Allah turunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan pemutus
perkara yang diperselisihkan. Allah Ta’ala berfirman,
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً
فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan
Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al Baqarah: 213)
(Majmu
Fatawa juz 3 hal. 245)
Ia
juga berkata, “Terkadang fikiranku terhenti terhadap suatu masalah atau ada suatu
keadaan yang samar bagiku, lalu aku meminta ampun kepada Allah Ta’ala seribu
kali, lebih dari itu atau kurang dari itu hingga dadaku lapang dan kesamaran
yang ada pun hilang. Ketika itu akau berada di pasar atau masjid, atau di
jalan, atau di tempat mengajar. Itu semua tidak menghalangiku dari berdzikir
dan berstighfar hingga aku mencapai harapanku.” (Al ‘Uqud Ad Durriyyah
hal. 21)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Aku belum pernah melihat Ibnu Taimiyah
mendoakan keburukan untuk salah seorang pun dari musuh-musuhnya. Bahkan beliau
mendoakan kebaikan untuk mereka.” (Madarijus Salikin juz 2 hal. 328)
Situasi
dan kondisi yang terjadi di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Situasi
politik
Dari
sisi politik, di masa beliau terjadi tiga
gejolak berikut:
1. Penyerangan bangsa
Tartar ke dunia Islam
2. Penyerangan banga Frank ke dunia Islam
3.
Gejolak dalam negeri, terutama antara dinasti Mamluk, Tartar, dan kaum muslimin
Ibnul
Atsir rahimahullah menerangkan menerangkan kondisi politik di zamannya,
bahwa ketika itu Islam dan kaum muslimin mendapatkan cobaan besar yang tidak
dialami umat-umat yang lain, di antaranya:
Pasukan
Tartar yang datang dari timur melakukan berbagai kerusakan yang begitu dahsyat
jika kita mendengarnya.
Tampilnya
bangsa Frank dari barat ke Syam menuju Mesir hingga menguasai perbatasannya,
yaitu Dimyath, dan hampir saja mereka menguasai Mesir dan negeri lainnya kalau
bukan karena kelembutan Allah dan pertolongan-Nya kepada kaum muslimin.
Demikian
juga terjadinya perseteruan dalam negeri.
Adapun
bangsa Tartar, maka ia merupakan musibah besar terhadap Islam dan kaum muslimin
yang terjadi pada abad ke-7 H ketika Bagdad jatuh sehingga hilanglah
kekhalifahan Bani Abbasiyyah pada tahun 656 H. Hal ini terjadi beberapa tahun
sebelum kelahiran Ibnu Taimiyah, sehingga beliau menyaksikan sisa-sisa penyerangan
tersebut dan mendengar beritanya secara rinci dari orang-orang yang masih hidup
yang menyaksikannya. Keadaan ini tentu membuat terbakar jiwa seseorang dan
berusaha untuk bangkit membela kaum muslimin. Dan demikianlah keadaan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Sedangkan
tampilnya bangsa Frank atau terjadinya perang salib, maka Syaikhul Islam lahir di
awal tahap ke-4 perang tersebut, dimana kondisi bangsa Frank sudah semakin
lemah dan kaum muslimin semakin kuat karena berhasil merebut kembali kota-kota
besar di Syam dan mengusir bangsa Frank dari negeri-negeri Islam.
Sedangkan
gejolak dalam negeri adalah apa yang terjadi antara dinasti Mamalik dan
perebutan kekuasaan di antara mereka, demikian juga gejolak yang terjadi antara
mereka dengan orang-orang Tartar yang muslim. Ketika itu, Syaikhul Islam ikut
andil dalam menyelesaikan sebagian gejolak ini, bahkan Syaikhul Islam sempat
mengingatkan pemimpin terakhir dinasti Mamalik untuk menjaga darah kaum
muslimin, menjaga keturunan dan kehormatan mereka.
Gejolak
sosial
Ketika
itu kaum muslimin menyatu dengan berbagai golongan yang berbeda karena polemik
politik yang kacau.
Saat
itu, bangsa Tartar yang datang dari ujung timur membawa budaya dan akhlak
mereka yang asing ke tengah-tenngah kaum muslimin di negeri Islam yang lebih
dekat dengan ajaran Islam baik akidah maupun akhlak dibanding bangsa Tartar.
Sisi
lainnya adalah para tawanan perang bangsa Frank dan Turki yang memiliki aturan
pada sebagian perundang-undangan yang terkait sosial kemasyarakatan dan mengokohkan
sebagian adat yang buruk, serta pengaruh bahasa secara umum terhadap komunitas
muslim.
Di
samping terjadinya percampuran penduduk beberapa negeri Islam antara yang satu
dengan yang lain disebabkan perang besar dari bangsa Tartar dan lainnya,
sehingga penduduk Irak lari ke Syam, dan penduduk Damaskus lari ke Mesir,
Maghribi, dsb.
Ini
semua membuat terbentuknya suasana sosial yang tidak teratur dan menimbulkan
budaya-budaya jelek yang tidak dibenarkan Islam, di samping memunculkan
bid’ah-bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga Syaikhul Islam
memiliki peranan besar dalam menerangkan kekeliruan dan memberikan nasihat
kepada umat serta memberantas bid’ah.
Kondisi
keilmuan
Di
masa Syaikhul Islam minim sekali ilmu yang dihasilkan, pintu ijtihad ditutup,
dan dikuasai oleh taqlid dan jumud, bahkan kemampuan maksimal ulama ketika itu
hanyalah mengumpulkan dan memahami pendapat tanpa melakukan pengkajian dan penelitian,
memang disusun kitab-kitab besar dan ringkas, akan tetapi tidak ada pengaruh
untuk pembaharuan. Demikianlah masa-masa ini adalah masa-masa lemah yang
kelebihannya hanya bisa mengumpulkan dan memperkaya materi, namun kurang dalam
hal pengkajian dan hasilnya.
Kelemahan
itu mengakibatkan orang-orang Turki dan Mamalik berkuasa sehingga jiwa, akal,
dan bahasa menjadi asing ditambah dengan musibah yang menimpa kaum muslimin,
sehingga tidak ada keadaan yang membuat mereka dapat mengkaji dan berfikir
lebih jauh.
Memang
ada beberapa ulama yang menonjol dalam hal ilmu, namun sangat sedkit sekali. Di
samping itu, pada masa Ibnu Taimiah telah lengkap perpustakaan Islam dengan
berbagai ensiklopedi yang besar terkait ilmu syar’i seperti tafsir, hadits,
fiqih, dan lain-lain.
Saat
itu Sunnah sudah dikumpulkan, kitab-kitab madzhab telah dibukukan, sehingga
tidaklah mudah membatasi kitab-kitab yang telah dibacanya dan membuat dirinya
terpengaruh dengannya.
Cobaan
yang menimpa Syaikhul Islam
Syaikhul
Islam mendapat cobaan berkali-kali karena hasad sebagian tokoh ketika itu. Ketika kedudukan Syaikhul Islam di Syam
begitu tinggi baik di kalangan pemimpin maupun rakyat, maka orang-orang yang
berjiwa lemah memfitnah beliau di hadapan pemerintah di Mesir. Mereka tidak
menemukan cela selain mencacatkan akidahnya, sehingga ia diminta datang ke
Mesir dan berangkat ke sana pada tahun 705 H setelah diadakan beberapa majlis
berdebat dengan beliau di Damaskus dimana ketika itu orang-orang yang
menyelisihi tidak memiliki hujjah.
Sesampainya
di Mesir, maka mereka mengadakan
persidangan yang sebelumnya Syaikhul Islam mengira sebagai perdebatan biasa,
maka ia pun menolak datang setelah tahu bahwa lawannya dan pemerintahnya telah
bersekongkol.
Beliau
tetap dalam penjara sampai pada bulan Shafar 707 H karena ketika itu ada
delegasi dari Syam yang meminta agar beliau dikeluarkan, lalu beliau keluar dan
lebih memilih tinggal di Mesir padahal delegasi tersebut memintanya untuk pergi
bersama mereka ke Damaskus.
Pada
akhir tahun dimana beliau telah dikeluarkan dari penjara, ada seruan kaum Shufi
di Mesir dan meminta Syaikhul Islam berdiam diri terhadap mereka. Ketika itu
Syaikhul Islam diberi pilihan antara pergi ke Damaskus, ke Iskandariyah, atau
tetap di penjara, dan ternyata beliau memilih di penjara.
Hanyasaja
murid-muridnya meminta beliau untuk pergi bersama mereka ke Damaskus, maka
beliau melakukannya karena memenuhi harapan mereka.
Saat
rombongan yang membawa Syaikhul Islam dari Kairo ke ke Damaskus beliau ditemui
oleh delegasi dari penguasa untuk mengembalikan beliau ke Mesir dan
memberitahukan, bahwa negara tidak ridha selain memenjarakan beliau.
Namun
itu terjadi hanya sebentar saja hingga beliau dikeluarkan dari penjara dan
kembali mengajar dan manusia pun mengambil ilmunya.
Pada
tahun 709 H, beliau diasingkan dari Kairo ke Iskandariyah. Ini merupakan
kebaikan untuk penduduk Iskandariyah agar mereka dapat menuntut ilmu dari
beliau dan mendapatkan nasihat-nasihat beliau dan mengikuti manhajnya. Akan
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama, setelah enam bulan An Nashir Muhammad
bin Qalawun memintanya kembali ke Mesir setelah jelas baginya masalahnya, dan
ia termasuk pembela Ibnu Taimiyah, dan beliau pun kembali mengajar di Kairo.
Kisah
Perang Syaqhab
Sultan
An Nashir Muhammad bin Qalawun dalam perang Syaqhab melawan pasukan Tartar meminta
Syaikhul Islam berdiri bersamanya, lalu Ibnu Taimiyah berkata, “Sunnahnya,
seseorang berdiri di bawah bendera kaumnya, dan kami termasuk pasukan Syam,
sehingga kami tidak berdiri kecuali bersama mereka,” maka beliau memberikan
semangat kepada sultan An Nashir untuk berperang dan memberinya kabar gembira
dengan kemenangan. Beliau juga bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada tuhan
yang berhak disembah selain Dia, bahwa mereka akan ditolong pada kesempatan
itu, maka para komandan berkata, “Katakanlah ‘Insya Allah’, Syaikhul Islam
menjawab, “Insya Allah yang akan terwujud bukan terkatung-katung.” Ketika itu beliau
berfatwa agar pasukan berbuka saat berperang, beliau juga berbuka. Ketika itu
beliau berkeliling di antara pasukan dan para komandan, ia makan makanan yang
ada di tangannya untuk memberitahukan mereka bahwa berbuka untuk menguatkan
mereka dalam perang lebih utama, maka pasukan pun ikut makan. Beliau mengamalkan
sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Kalian akan bertemu musuh besok,
dan berbuka itu lebih menguatkan kalian.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud) Maka kaum
muslim pun berhasil menang dalam melawan Tartar pada hari itu, walhamdulillah.”
(Lihat Al Bidayah wan Nihayah Juz 14 hal. 25-26)
Kemudian
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendapatkan cobaan lagi karena fatwanya terkait
talak, sampai ia diminta menahan fatwanya itu, namun ia menolak sehingga beliau
dijebloskan lagi di penjara Qal’ah di Damaskus atas perintah wakil sultan pada
tahun 720-721 H selama 5 bulan beberapa hari.
Orang-orang
yang mendengkinya juga mencari-cari kesalahan beliau untuk memfitnah beliau di
hadapan para penguasa, lalu mereka membuat pernyataan dusta terkait beliau soal
ziarah kubur. Mereka mengatakan, bahwa beliau melarang ziarah kubur termasuk
kubur Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka wakil sultan di Damaskus
mengirim surat ke sultan di Mesir. Mereka melihat fatwa tanpa bertanya kepada
beliau tentang kebenarannya dan pandangan beliau terhadapnya, sehingga ada
keputusan terhadap beliau pada bulan Sya’ban tahun 726 H untuk memindahkan
beliau ke penjara Qal’ah di Damaskus berikut para pengikutnya, dan cobaan
kepada beliau meningkat pada tahun 728 H saat dikeluarkan dari penjara apa saja
yang ada pada beliau seperti kitab, lembaran, pena, dan beliau juga dilarang
bertemu dengan manusia, serta dilarang menulis dan menyusun buku.
Keadaan
beliau saat di penjara
Imam
Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata, "Saat Syaikhul Islam
masuk ke penjara, beliau mendapatkan para tahanan sibuk dengan permainan
seperti catur, dadu, menyia-nyiakan shalat dan sebagainya, maka Syaikhul Islam
mengingkari mereka dengan tegas, lalu beliau memerintahkan mereka menjaga
shalat, mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amal saleh, bertasbih,
beristighfar, berdoa, mengajarkan mereka Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam yang mereka butuhkan, dan mendorong mereka mengerjakan amal saleh,
sehingga penjara itu dipenuhi ilmu dan amal, bahkan menjadi lebih baik dari
ruang-ruang dzikr dan madrasah, selain
itu para tahanan saat dibebaskan lebih memilih tinggal di dekat Beliau dan
sering mengunjungi Beliau, sehingga penjara pun penuh karena kunjungan mereka.”
(Al Uqud Ad Durriyyah fii Dzikri Manaqib Syaikhil Islam Ibni Taimiyah
hal. 330, 331)
Wafatnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Pada
malam Senin bulan Dzulqa’dah tahun 728 H Syaikhul Islam wafat di penjara Qal’ah
Damaskus. Saat itu, manusia diizinkan masuk menemuinya. Ia pun dimandikan.
Ketika itu manusia berkumpul di Qal’ah sampai jalan menuju masjid Jami
Damaskus, sedangkan para tentara menjaganya karena ramainya manusia yang menghadiri
jenazahnya. Kemudian ia dishalatkan seusai shalat Zhuhur, lalu diangkat
jenazahnya di tengah keramaian. Ketika itu manusia menutup tokonya dan semua
hadir selain segelintir orang atau orang yang tidak bisa hadir karena padatnya
suasana. Ketika itu, manusia keluar dari masjid jami dari semua pintunya dalam
keadaan berdesakan.
Guru-guru
Syaikhul Islam
Guru-guru
beliau sangat banyak, di antaranya Ibnu Abdid Daim, Ibnu Abil Yusr, Syamsuddin
Al Hanbali, Syamsuddin bin Atha Al Hanafi, Jamaluddin bin Ash Shairafi,
Majduddin bin Asakir, Jamaluddin Al Bagdadi, Najib bin Miqdad, bnu Abil Khair,
Ibnu ‘Allan, Ibnu Abi Bakar Al Harawi, dan lain-lain (Lihat Al Bidayah wan
Nihayah juz 14 hal. 142)
Muhammad
bin Abdul Hadi berkata, “Guru-guru Ibnu Taimiyah yang ia mendengar ilmu dari
mereka lebih dari dua ratus orang syaikh.” (Al ‘Uqud Ad Durriyyah hal.
14).
Murid-murid
Syaikhul Islam
Murid-murid
beliau sangat banyak, di antaranya:
1. Muhammad
bin Ahmad bin Abdul Hadi
2.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
3.
Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi
4.
Muhammad bin Muflih Al Hanbali
5.
Ibnu Katsir
6.
Umar bin Ali Al Bazzar
7.
Ahmad bin Hasan bin Qudamah
8.
Muhammad bin Syakir Al Katbi
9.
Sulaiman Ash Sharshari
10.
Umar bin Muzhaffar Al Wardi
11.
Muhammad bin Sayidinnas
12.
Yusuf bin Abdurrahman Al Qadha’i
13.
Muhammad bin Al Manja At Tanukhi
14.
Al Qasim bin Muhammad Al Barzali
15.
Shalahuddin Ash Shafdi
16.
Dan lain-lain
(Lihat
Mu’jam Ash-hab ibni Taimiyah, karya Walid Badwi)
Karya-karya
Syaikhul Islam
Al
Hafizh Al Bazzar rahimahullah (w. 749) berkata, “Adapun karya tulisnya, maka
aku tidak sanggup menghitungnya atau teringat olehku semua judulnya, bahkan
biasanya tidak sanggup dijumlahkan oleh seseorang, karena banyak sekali, ada
yang besar dan ada yang kecil, atau tersebar di berbagai negeri, dimana tidak
ada negeri yang aku singgahi melainkan aku lihat sebagian karyanya.”
Demikian juga yang
diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali (w. 795).
Ibnu Abdil Hadiy (w. 744) menyebutkan tentang jawaban-jawaban Syaikhul Islam terhadap
permasalahan yang diajukan kepadanya, bahwa sangat sulit dijumlahkan
jawab-jawaban
tersebut karena banyak
tulisannya, cepat, disamping ia tulis melalui hafalan tanpa menukil ke kitab lain,
bahkan ia tidak butuh tempat tertentu untuk menulis.
Beliau pernah ditanya
tentang sesuatu, lalu ia menjawab, “Saya pernah menulis tentang masalah ini.”
Namun tidak diketahui di mana tulisan itu, lalu ia berkata kepada
kawan-kawannya, “Bawa kemarin tulisanku!” Dan mereka memperlihatkannya agar
beliau dapat menukilnya, dan karena senangnya mereka terhadap tulisan itu,
mereka tidak mau mengembalikan kepada beliau, dan karena kelemahan mereka,
mereka tidak menukilnya, sehingga di antara tulisan itu hilang tidak diketahui judulnya.
Di antara karya tulis
beliau yang menonjol adalah:
1. Al Istiqamah,
yang sudah ditahqiq oleh Dr. Muhammad Rasyad Salim, dicetak dalam dua juz.
2. Iqtidha As
Shirathil Mustaqim Li Mukhalafati As-habil Jahim, tahqiq Dr. Nashir Al Aql,
dicetak dalam dua juz.
3. Bayan Talbisil
Jahmiyyah, ditahqiq dalam delapan tesis doktoral diberi pengantar oleh Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah Ar Rajihi.
4. Al Jawabush Shahih
Liman Baddala Dinal Masih, tahqiq Dr. Ali bin Hasan bin Nashir, Abdul Aziz
Al Askar, dan
Hamdan Al Hamdan.
5. Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli
wan Naql, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad
Salim dalam 10 juz, sedangkan juz 11 untuk daftar isi.
6. Ash Shafdiyyah, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, dicetak dalam dua juz.
7. Minhajus Sunnah An
Nabawiyyah fi Naqdhi Kalamisy Syi’ah Al Qadariyyah, tahqiq Dr. Muhammad
Rasyad Salim, dicetak dalam delapan juz.
8. An Nubuwwat,
9. Dll.
Beliau jjuga memiliki
kitab-kitab dan risalah yang sangat banyak, dimana di antaranya ada yang sudah
dicetak secara terpisah, dan ada pula yang disatukan dalam kumpulan (majmu),
dan
ada yang berupa tulisan tangan, ada yang masih
tersimpan dan ada yang sudah hilang.
Ada
yang menyebutkan, bahwa karya beliau hampir mencapai 500 jilid (Lihat Syadzaratudz
Dzahab karya Ibnul Imad Al Hanbali juz 8 hal. 147)
Pujian para ulama
terhadap beliau
Kamaluddin bin Zamlakani
(w. 727) berkata, “Beliau ketika ditanya tentang salah satu bidang ilmu, maka
orang yang melihat atau mendengarnya mengira bawa beliau pakar bidang ilmu tersebut, dan seakan-akan tidak ada yang
mengetahui seperti itu selain Beliau. Para fuqaha (Ahli Fiqih) dari berbagai madzhab apabila duduk
bersamanya mengambil faedah untuk madzhab mereka hal-hal yang belum mereka
ketahui sebelumnya, dan saat beliau berdiskusi dengan orang lain, tidak
pernah beliau terdiam (kalah), dan beliau tidaklah berbicara tentang salah satu
disiplin ilmu baik ilmu syara maupun lainnya melainkan beliau unggul daripada
yang lain, dan dinisbatkan kepadanya. Ia memiliki kemampuan yang besar dalam
menyusun, menulis, mengurutkan, membagi, dan menerangkan.”
Az
Zamlakani juga berkata, “Semua syarat-syarat ijtihad berkumpul pada diri beliau.”
Ibnu
Daqiqil Ied rahimahullah berkata, “Ketika aku bersama Ibnu Taimiyah,
maka aku tidak pernah melihat seseorang seperti beliau yang berbagai ilmu ada di
hadapannya; ia dapat mengambil daripadanya apa yang ia mau dan ia tinggalkan
apa yang ia mau.”
Abul
Baqa As Subki berkata, “Demi Allah, wahai fulan, tidak ada yang membenci Ibnu Taimiyah
selain orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu. Orang jahil tidak mengetahui
apa yang diucapkannya, sedangkan pengikut hawa nafsu dihalangi hawa nafsunya
dari mengikuti kebenaran setelah mengetahuinya.”
Imam
Adz Dzahabi rahimahullah berkata tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Beliau
seorang syaikh, imam, ulama, ahli tafsir, ahli fiqih, mujtahid, hafizh,
muhaddits, Syaikhul Islam, jarang tandingannya di masa itu, pemilik karya-karya
besar, dan cerdas luas biasa.”
Ia
juga berkata, “Ia juga memperhatikan para perawi dan illat-illat, ia pun
menjadi imam di bidang jarh dan termasuk ulama ahli hadits dengan keadaan agama
yang begitu baik dan mulia, selalu berdzikir dan menjaga diri, lalu ia
mendatangi fiqih, hal yang rumit di dalamnya, kaidah-kaidahnya, hujjah-hujjahnya
dan ijma serta khilafnya, ia pun melakukan hal yang menakjubkan terhadapnya. Ketika
menyebutkan masalah khilaf, ia berdalih, mentarjih, dan berijtihad, dan memang
beliau berhak terhadapnya karena syarat-syarat ijtihad telah berkumpul padanya.
Aku belum pernah melihat seorang yang cepat mengambil ayat yang menunjukkan
suatu masalah dan lebih mampu menghadirkan matan hadits, menyandarkannya kepada
kiitab shahih, musnad, atau sunan melebih beliau seakan-akan Al Qur’an dan As
Sunnah ada di depan matanya dan di ujung lisannnya, lalu beliau menghadirkannya
dengan uraian yang jelas, mata terbuka, dan membungkam lawan debatnya.”
Ia
juga berkata, “Ini semua di samping kedermawanannya yang belum pernah aku
saksikan semisalnya, keberanian yang luar biasa sehingga dijadikan sebagai
perumpamaan, serta meninggalkan kelezatan jasmani berupa pakaian indah, makanan
yang enak, dan kenikmatan duniawi.”
Imam
Syaukani rahimahullah berkata, “Beliau adalah imamnya para imam dan
mujtahid mutlak.”
(Dinukil
dari kitab Da’awa Munaawiin Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah karya Dr.
Abdullah Al Ghushn cet. Dar Ibnil Jauzi hal. 139-161)
Khatimah
Ibnul Qayyim berkata, “Allah mengetahui bahwa
saya sama sekali tidak pernah melihat seorang pun yang lebih baik kehidupannya
dibandingkan beliau (Ibnu Taimiyah), meskipun beliau mengalami kesempitan,
kesulitan, serta sangat jauh dari kemewahan dan berbagai kenikmatan dunia.
Bahkan sebaliknya, beliau dipenjara, diancam, dan dianiaya. Walaupun demikian,
beliau termasuk manusia yang paling baik kehidupannya, paling lapang dadanya,
paling kuat hatinya, paling senang jiwanya, sampai-sampai kesenangan dan
kenikmatan hidup tersebut memancar dari wajah beliau.” (Al Wabilush Shayyib
1/48)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah
versi 3.45, tarjamah mujazah
Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah (Dr. Abdullah bin Shalih bin Abdul Aziz Al
Ghushn) https://www.saaid.net/monawein/taimiah/1.htm, https://www.alukah.net/culture/0/127655/, dll.
0 komentar:
Posting Komentar