Mengenal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah

بسم الله الرحمن الرحيم
Image result for ‫شيخ الإسلام ابن تيمية‬‎
Mengenal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut kami perkenalkan salah satu mutiara zaman, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Nama beliau adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Abul Qasim bin Muhammad bin Taimiyah Al Harrani. Panggilannya adalah Abul ‘Abbas. (Lihat Al ‘Uqud Ad Durriyyah karya Ibnu Abdil Hadi hal. 24)
Menurut Adz Dzahabi, bahwa kakek Ibnu Taimiyah saat naik haji melalui jalan Taima –kota antara Madinah dan Tabuk-, dilihatnya ada seorang anak perempuan yang keluar dari kemah. Ketika pulang ke Harran, dilihat istrinya telah melahirkan seorang putri, maka ia memanggilnya dengan mengatakan, “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah” (yakni mirip dengan anak perempuan yang dilihatnya di Taima) akhirnya disebutlah ia dengannya.
Menurut Ibnun Najjar, bahwa kakeknya adalah Muhammad, sedangkan ibunya bernama Taimiyah, ia adalah seorang wanita pemberi nasihat, sehingga dinisbatkanlah kepadanya dan menjadi lebih dikenal dengannya. (Tarikhul Islam karya Adz Dzahabi juz 13 hal. 723).
Kelahiran, perkembangan ilmunya, dan akhlaknya
Syaikhul Islam rahimahullah lahir pada hari Senin tanggal 10 atau 12 Rabiul Awwal tahun 661 H di Harran.
Pada tahun 667 bangsa Tartar menyerang negerinya sehingga memaksa keluarganya pergi meninggalkan Harran menuju Damaskus yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.
Syaikhul Islam belajar kepada para ulama di kota itu sejak kecil hingga dewasa dan setaraf dengan para ulama ketika itu, yakni dalam hal kelayakan mengajar dan berfatwa, padahal ketika itu usianya belum mencapai 20 tahun.
Menurut Ibnu Abdil Hadi, di masa kecilnya ia telah menyimak Musnad Ahmad bin Hanbal berkali-kali, dan menyimak kutubus sittah (6 kitab hadits), termasuk juga Mu’jam Kabir milik Thabrani.
Beliau juga memiliki perhatian terhadap hadits, membaca, dan menyalinnya. Demikian juga telah belajar menulis dan berhitung, serta telah hafal Al Qur’an. Juga mendatangi ilmu fiqih dan belajar bahasa Arab kepada Ibnu Abdil Qawiy, serta mempelajari kitab karya Sibawaih sehingga faham dalam hal Nahwu, dan mendalami berbagai kitab tafsir serta mendalami Ushul Fiqih.
Itu semua dikuasai ketika usianya belasan tahun sehingga penduduk Damaskus merasa takjub dengan kecerdasannya, cepatnya dalam menerima ilmu, dan kekuatan ingatannya.
Di masa kecilnya saat Ibnu Taimiyah hendak ke kuttab (tempat belajar ketika itu) beliau biasa ditemui oleh orang Yahudi, karena rumahnya berada di jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah. Orang Yahudi ini kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ibnu Taimiyah karena melihat kecerdasan beliau, lalu pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah sehngga orang Yahudi ini takjub. Sehingga setiap kali Ibnu Taimiyah bertemu dengan orang Yahudi dan menyampaikan tentang kebatilan apa yang dipegang oleh orang Yahudi itu selama ini,  ia (orang Yahudi ini) pun masuk Islam dan keislamannya bagus. (Lihat Al A’laam Al Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah karya Al Bazzar hal. 17)
Hampir tidak ada berbagai disiplin ilmu melainkan ia menguasainya seakan-akan Allah telah mengkhususkannya dengan cepatnya menghafal dan lambat lupa, dimana beliau tidaklah mengetahui atau mendengar sesuatu melainkan sesuatu itu terus diingat dalam hatinya baik lafaz maupun maknanya, dan seakan-akan ilmu itu telah menyatu dengan daging, darah, dan seluruh tubuhnya.
Al Bazzar rahimahullah berkata, “Allah memberikan kepadanya kemampuan menggali makna dari lafaz-lafaz hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, berita-berita yang diriwayatkan, menampakkan dalil-dalil terhadap berbagai masalah, memperjelas mafhum (yang tersirat) pada lafaz dan manthuq (yang tersurat)nya, memperjelas pentakhshis terhadap yang ‘aam(umum)nya, yang muqayyad terhadap yang mutlak, nasikh terhadap mansuknya, serta menerangkan dhawabit(kaedah-kaedahnya)-nya, lazim (hal yang menyatu) dan malzumnya (bagian yang ikut menyatunya), serta hasilnya, dan hal yang dibutuhkannya, sehingga ketika ia menyebutkan ayat atau hadits, ia dapat menerangkan maknanya dan maksudnya, dan akan membuat orang berilmu yang cerdas takjub karena bagusnya hasil istinbath (kajiannya), dan akan membuatnya terheran dengan hasil yang didengar atau diketahuinya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah seorang yang menjaga diri, sederhana dalam pakaian dan makan, bertakwa, berbakti kepada ibunya, wara, ahli ibadah, dan banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dalam berbagai keadaan, dan banyak kembali kepada Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, jiwanya tidak pernah kenyang dengan ilmu, tidak berhenti membaca, dan tidak bosan melakukan pengkajian.
Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata, “Guru kami rahimahullah terus menambah ilmu, menyibukkan dengan pengkajian, menyebarkan ilmu, dan bersungguh-sungguh di jalan kebaikan sehingga jadilah ia imam dalam hal imu dan amal, zuhud dan wara, berani dan dermawan, tawadhu, santun dan kembali kepada Allah, kemuliaan dan disegani. Demikian juga imam dalam hal amar ma’ruf dan nahi munkar, serta dalam berbagai jihad disertai sikap jujur, menjaga diri, niat yang baik dan ikhlas, berdoa sungguh-sungguh kepada Allah dan memiliki rasa takut kepada-Nya, merasa terus diawasi-Nya, sangat kuat berpegang dengan atsar (riwayat), berdoa kepada Allah dan akhlak yang mulia, serta memberikan manfaat kepada manusia, berbuat ihsan kepada mereka, sabar terhadap orang yang menyakitinya, memaafkan dan mendoakan kebaikan untuknya, serta melakukan berbagai kebaikan lainnya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Saya berlapang dada terhadap orang yang menyelisihiku, meskipun ia melampaui batasan Allah dalam mengkafirkan, menganggap fasik, mengada-ada, atau melakukan fanatik jahiliyyah, namun aku tidak akan melampaui batasan Allah terhadapnya, bahkan aku jaga ucapan dan tindakanku terhadapnya dan aku menimbangnya dengan timbangan yang adil sambil mengikuti kitab yang Allah turunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan pemutus perkara yang diperselisihkan. Allah Ta’ala berfirman,
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al Baqarah: 213)
(Majmu Fatawa juz 3 hal. 245)
Ia juga berkata, “Terkadang fikiranku terhenti terhadap suatu masalah atau ada suatu keadaan yang samar bagiku, lalu aku meminta ampun kepada Allah Ta’ala seribu kali, lebih dari itu atau kurang dari itu hingga dadaku lapang dan kesamaran yang ada pun hilang. Ketika itu akau berada di pasar atau masjid, atau di jalan, atau di tempat mengajar. Itu semua tidak menghalangiku dari berdzikir dan berstighfar hingga aku mencapai harapanku.” (Al ‘Uqud Ad Durriyyah hal. 21)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Aku belum pernah melihat Ibnu Taimiyah mendoakan keburukan untuk salah seorang pun dari musuh-musuhnya. Bahkan beliau mendoakan kebaikan untuk mereka.” (Madarijus Salikin juz 2 hal. 328)
Situasi dan kondisi yang terjadi di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Situasi politik
Dari sisi politik, di masa beliau terjadi tiga gejolak berikut:
1. Penyerangan bangsa Tartar ke dunia Islam
2. Penyerangan banga Frank ke dunia Islam
3. Gejolak dalam negeri, terutama antara dinasti Mamluk, Tartar, dan kaum muslimin
Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan menerangkan kondisi politik di zamannya, bahwa ketika itu Islam dan kaum muslimin mendapatkan cobaan besar yang tidak dialami umat-umat yang lain, di antaranya:
Pasukan Tartar yang datang dari timur melakukan berbagai kerusakan yang begitu dahsyat jika kita mendengarnya.
Tampilnya bangsa Frank dari barat ke Syam menuju Mesir hingga menguasai perbatasannya, yaitu Dimyath, dan hampir saja mereka menguasai Mesir dan negeri lainnya kalau bukan karena kelembutan Allah dan pertolongan-Nya kepada kaum muslimin.
Demikian juga terjadinya perseteruan dalam negeri.
Adapun bangsa Tartar, maka ia merupakan musibah besar terhadap Islam dan kaum muslimin yang terjadi pada abad ke-7 H ketika Bagdad jatuh sehingga hilanglah kekhalifahan Bani Abbasiyyah pada tahun 656 H. Hal ini terjadi beberapa tahun sebelum kelahiran Ibnu Taimiyah, sehingga beliau menyaksikan sisa-sisa penyerangan tersebut dan mendengar beritanya secara rinci dari orang-orang yang masih hidup yang menyaksikannya. Keadaan ini tentu membuat terbakar jiwa seseorang dan berusaha untuk bangkit membela kaum muslimin. Dan demikianlah keadaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Sedangkan tampilnya bangsa Frank atau terjadinya perang salib, maka Syaikhul Islam lahir di awal tahap ke-4 perang tersebut, dimana kondisi bangsa Frank sudah semakin lemah dan kaum muslimin semakin kuat karena berhasil merebut kembali kota-kota besar di Syam dan mengusir bangsa Frank dari negeri-negeri Islam.
Sedangkan gejolak dalam negeri adalah apa yang terjadi antara dinasti Mamalik dan perebutan kekuasaan di antara mereka, demikian juga gejolak yang terjadi antara mereka dengan orang-orang Tartar yang muslim. Ketika itu, Syaikhul Islam ikut andil dalam menyelesaikan sebagian gejolak ini, bahkan Syaikhul Islam sempat mengingatkan pemimpin terakhir dinasti Mamalik untuk menjaga darah kaum muslimin, menjaga keturunan dan kehormatan mereka.
Gejolak sosial
Ketika itu kaum muslimin menyatu dengan berbagai golongan yang berbeda karena polemik politik yang kacau.
Saat itu, bangsa Tartar yang datang dari ujung timur membawa budaya dan akhlak mereka yang asing ke tengah-tenngah kaum muslimin di negeri Islam yang lebih dekat dengan ajaran Islam baik akidah maupun akhlak dibanding bangsa Tartar.
Sisi lainnya adalah para tawanan perang bangsa Frank dan Turki yang memiliki aturan pada sebagian perundang-undangan yang terkait sosial kemasyarakatan dan mengokohkan sebagian adat yang buruk, serta pengaruh bahasa secara umum terhadap komunitas muslim.
Di samping terjadinya percampuran penduduk beberapa negeri Islam antara yang satu dengan yang lain disebabkan perang besar dari bangsa Tartar dan lainnya, sehingga penduduk Irak lari ke Syam, dan penduduk Damaskus lari ke Mesir, Maghribi, dsb.
Ini semua membuat terbentuknya suasana sosial yang tidak teratur dan menimbulkan budaya-budaya jelek yang tidak dibenarkan Islam, di samping memunculkan bid’ah-bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga Syaikhul Islam memiliki peranan besar dalam menerangkan kekeliruan dan memberikan nasihat kepada umat serta memberantas bid’ah.
Kondisi keilmuan
Di masa Syaikhul Islam minim sekali ilmu yang dihasilkan, pintu ijtihad ditutup, dan dikuasai oleh taqlid dan jumud, bahkan kemampuan maksimal ulama ketika itu hanyalah mengumpulkan dan memahami pendapat tanpa melakukan pengkajian dan penelitian, memang disusun kitab-kitab besar dan ringkas, akan tetapi tidak ada pengaruh untuk pembaharuan. Demikianlah masa-masa ini adalah masa-masa lemah yang kelebihannya hanya bisa mengumpulkan dan memperkaya materi, namun kurang dalam hal pengkajian dan hasilnya.
Kelemahan itu mengakibatkan orang-orang Turki dan Mamalik berkuasa sehingga jiwa, akal, dan bahasa menjadi asing ditambah dengan musibah yang menimpa kaum muslimin, sehingga tidak ada keadaan yang membuat mereka dapat mengkaji dan berfikir lebih jauh.
Memang ada beberapa ulama yang menonjol dalam hal ilmu, namun sangat sedkit sekali. Di samping itu, pada masa Ibnu Taimiah telah lengkap perpustakaan Islam dengan berbagai ensiklopedi yang besar terkait ilmu syar’i seperti tafsir, hadits, fiqih,  dan lain-lain.
Saat itu Sunnah sudah dikumpulkan, kitab-kitab madzhab telah dibukukan, sehingga tidaklah mudah membatasi kitab-kitab yang telah dibacanya dan membuat dirinya terpengaruh dengannya.
Cobaan yang menimpa Syaikhul Islam
Syaikhul Islam mendapat cobaan berkali-kali karena hasad sebagian tokoh ketika itu. Ketika kedudukan Syaikhul Islam di Syam begitu tinggi baik di kalangan pemimpin maupun rakyat, maka orang-orang yang berjiwa lemah memfitnah beliau di hadapan pemerintah di Mesir. Mereka tidak menemukan cela selain mencacatkan akidahnya, sehingga ia diminta datang ke Mesir dan berangkat ke sana pada tahun 705 H setelah diadakan beberapa majlis berdebat dengan beliau di Damaskus dimana ketika itu orang-orang yang menyelisihi tidak memiliki hujjah.
Sesampainya di Mesir, maka  mereka mengadakan persidangan yang sebelumnya Syaikhul Islam mengira sebagai perdebatan biasa, maka ia pun menolak datang setelah tahu bahwa lawannya dan pemerintahnya telah bersekongkol.
Beliau tetap dalam penjara sampai pada bulan Shafar 707 H karena ketika itu ada delegasi dari Syam yang meminta agar beliau dikeluarkan, lalu beliau keluar dan lebih memilih tinggal di Mesir padahal delegasi tersebut memintanya untuk pergi bersama mereka ke Damaskus.
Pada akhir tahun dimana beliau telah dikeluarkan dari penjara, ada seruan kaum Shufi di Mesir dan meminta Syaikhul Islam berdiam diri terhadap mereka. Ketika itu Syaikhul Islam diberi pilihan antara pergi ke Damaskus, ke Iskandariyah, atau tetap di penjara, dan ternyata beliau memilih di penjara.
Hanyasaja murid-muridnya meminta beliau untuk pergi bersama mereka ke Damaskus, maka beliau melakukannya karena memenuhi harapan mereka.
Saat rombongan yang membawa Syaikhul Islam dari Kairo ke ke Damaskus beliau ditemui oleh delegasi dari penguasa untuk mengembalikan beliau ke Mesir dan memberitahukan, bahwa negara tidak ridha selain memenjarakan beliau.
Namun itu terjadi hanya sebentar saja hingga beliau dikeluarkan dari penjara dan kembali mengajar dan manusia pun mengambil ilmunya.
Pada tahun 709 H, beliau diasingkan dari Kairo ke Iskandariyah. Ini merupakan kebaikan untuk penduduk Iskandariyah agar mereka dapat menuntut ilmu dari beliau dan mendapatkan nasihat-nasihat beliau dan mengikuti manhajnya. Akan tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama, setelah enam bulan An Nashir Muhammad bin Qalawun memintanya kembali ke Mesir setelah jelas baginya masalahnya, dan ia termasuk pembela Ibnu Taimiyah, dan beliau pun kembali mengajar di Kairo.
Kisah Perang Syaqhab
Sultan An Nashir Muhammad bin Qalawun dalam perang Syaqhab melawan pasukan Tartar meminta Syaikhul Islam berdiri bersamanya, lalu Ibnu Taimiyah berkata, “Sunnahnya, seseorang berdiri di bawah bendera kaumnya, dan kami termasuk pasukan Syam, sehingga kami tidak berdiri kecuali bersama mereka,” maka beliau memberikan semangat kepada sultan An Nashir untuk berperang dan memberinya kabar gembira dengan kemenangan. Beliau juga bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, bahwa mereka akan ditolong pada kesempatan itu, maka para komandan berkata, “Katakanlah ‘Insya Allah’, Syaikhul Islam menjawab, “Insya Allah yang akan terwujud bukan terkatung-katung.” Ketika itu beliau berfatwa agar pasukan berbuka saat berperang, beliau juga berbuka. Ketika itu beliau berkeliling di antara pasukan dan para komandan, ia makan makanan yang ada di tangannya untuk memberitahukan mereka bahwa berbuka untuk menguatkan mereka dalam perang lebih utama, maka pasukan pun ikut makan. Beliau mengamalkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Kalian akan bertemu musuh besok, dan berbuka itu lebih menguatkan kalian.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud) Maka kaum muslim pun berhasil menang dalam melawan Tartar pada hari itu, walhamdulillah.” (Lihat Al Bidayah wan Nihayah Juz 14 hal. 25-26)
Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendapatkan cobaan lagi karena fatwanya terkait talak, sampai ia diminta menahan fatwanya itu, namun ia menolak sehingga beliau dijebloskan lagi di penjara Qal’ah di Damaskus atas perintah wakil sultan pada tahun 720-721 H selama 5 bulan beberapa hari.
Orang-orang yang mendengkinya juga mencari-cari kesalahan beliau untuk memfitnah beliau di hadapan para penguasa, lalu mereka membuat pernyataan dusta terkait beliau soal ziarah kubur. Mereka mengatakan, bahwa beliau melarang ziarah kubur termasuk kubur Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka wakil sultan di Damaskus mengirim surat ke sultan di Mesir. Mereka melihat fatwa tanpa bertanya kepada beliau tentang kebenarannya dan pandangan beliau terhadapnya, sehingga ada keputusan terhadap beliau pada bulan Sya’ban tahun 726 H untuk memindahkan beliau ke penjara Qal’ah di Damaskus berikut para pengikutnya, dan cobaan kepada beliau meningkat pada tahun 728 H saat dikeluarkan dari penjara apa saja yang ada pada beliau seperti kitab, lembaran, pena, dan beliau juga dilarang bertemu dengan manusia, serta dilarang menulis dan menyusun buku.
Keadaan beliau saat di penjara
Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata, "Saat Syaikhul Islam masuk ke penjara, beliau mendapatkan para tahanan sibuk dengan permainan seperti catur, dadu, menyia-nyiakan shalat dan sebagainya, maka Syaikhul Islam mengingkari mereka dengan tegas, lalu beliau memerintahkan mereka menjaga shalat, mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amal saleh, bertasbih, beristighfar, berdoa, mengajarkan mereka Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mereka butuhkan, dan mendorong mereka mengerjakan amal saleh, sehingga penjara itu dipenuhi ilmu dan amal, bahkan menjadi lebih baik dari ruang-ruang dzikr dan madrasah,  selain itu para tahanan saat dibebaskan lebih memilih tinggal di dekat Beliau dan sering mengunjungi Beliau, sehingga penjara pun penuh karena kunjungan mereka.” (Al Uqud Ad Durriyyah fii Dzikri Manaqib Syaikhil Islam Ibni Taimiyah hal. 330, 331)
Wafatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Pada malam Senin bulan Dzulqa’dah tahun 728 H Syaikhul Islam wafat di penjara Qal’ah Damaskus. Saat itu, manusia diizinkan masuk menemuinya. Ia pun dimandikan. Ketika itu manusia berkumpul di Qal’ah sampai jalan menuju masjid Jami Damaskus, sedangkan para tentara menjaganya karena ramainya manusia yang menghadiri jenazahnya. Kemudian ia dishalatkan seusai shalat Zhuhur, lalu diangkat jenazahnya di tengah keramaian. Ketika itu manusia menutup tokonya dan semua hadir selain segelintir orang atau orang yang tidak bisa hadir karena padatnya suasana. Ketika itu, manusia keluar dari masjid jami dari semua pintunya dalam keadaan berdesakan.
Guru-guru Syaikhul Islam
Guru-guru beliau sangat banyak, di antaranya Ibnu Abdid Daim, Ibnu Abil Yusr, Syamsuddin Al Hanbali, Syamsuddin bin Atha Al Hanafi, Jamaluddin bin Ash Shairafi, Majduddin bin Asakir, Jamaluddin Al Bagdadi, Najib bin Miqdad, bnu Abil Khair, Ibnu ‘Allan, Ibnu Abi Bakar Al Harawi, dan lain-lain (Lihat Al Bidayah wan Nihayah juz 14 hal. 142)
Muhammad bin Abdul Hadi berkata, “Guru-guru Ibnu Taimiyah yang ia mendengar ilmu dari mereka lebih dari dua ratus orang syaikh.” (Al ‘Uqud Ad Durriyyah hal. 14).
Murid-murid Syaikhul Islam
Murid-murid beliau sangat banyak, di antaranya:
1. Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi
2. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
3. Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi
4. Muhammad bin Muflih Al Hanbali
5. Ibnu Katsir
6. Umar bin Ali Al Bazzar
7. Ahmad bin Hasan bin Qudamah
8. Muhammad bin Syakir Al Katbi
9. Sulaiman Ash Sharshari
10. Umar bin Muzhaffar Al Wardi
11. Muhammad bin Sayidinnas
12. Yusuf bin Abdurrahman Al Qadha’i
13. Muhammad bin Al Manja At Tanukhi
14. Al Qasim bin Muhammad Al Barzali
15. Shalahuddin Ash Shafdi
16. Dan lain-lain
(Lihat Mu’jam Ash-hab ibni Taimiyah, karya Walid Badwi)
Karya-karya Syaikhul Islam
Al Hafizh Al Bazzar rahimahullah (w. 749) berkata, “Adapun karya tulisnya, maka aku tidak sanggup menghitungnya atau teringat olehku semua judulnya, bahkan biasanya tidak sanggup dijumlahkan oleh seseorang, karena banyak sekali, ada yang besar dan ada yang kecil, atau tersebar di berbagai negeri, dimana tidak ada negeri yang aku singgahi melainkan aku lihat sebagian karyanya.”
Demikian juga yang diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali (w. 795).
Ibnu Abdil Hadiy (w. 744) menyebutkan tentang jawaban-jawaban Syaikhul Islam terhadap permasalahan yang diajukan kepadanya, bahwa sangat sulit dijumlahkan jawab-jawaban tersebut karena banyak tulisannya, cepat, disamping ia tulis  melalui hafalan tanpa menukil ke kitab lain, bahkan ia tidak butuh tempat tertentu untuk menulis.
Beliau pernah ditanya tentang sesuatu, lalu ia menjawab, “Saya pernah menulis tentang masalah ini.” Namun tidak diketahui di mana tulisan itu, lalu ia berkata kepada kawan-kawannya, “Bawa kemarin tulisanku!” Dan mereka memperlihatkannya agar beliau dapat menukilnya, dan karena senangnya mereka terhadap tulisan itu, mereka tidak mau mengembalikan kepada beliau, dan karena kelemahan mereka, mereka tidak menukilnya, sehingga di antara tulisan itu hilang tidak diketahui judulnya.
Di antara karya tulis beliau yang menonjol adalah:
1. Al Istiqamah, yang sudah ditahqiq oleh Dr. Muhammad Rasyad Salim, dicetak dalam dua juz.
2. Iqtidha As Shirathil Mustaqim Li Mukhalafati As-habil Jahim, tahqiq Dr. Nashir Al Aql, dicetak dalam dua juz.
3. Bayan Talbisil Jahmiyyah, ditahqiq dalam delapan tesis doktoral diberi pengantar oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi.
4. Al Jawabush Shahih Liman Baddala Dinal Masih, tahqiq Dr. Ali bin Hasan bin Nashir, Abdul Aziz Al Askar, dan Hamdan Al Hamdan.
5. Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naql,  tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim dalam 10 juz, sedangkan juz 11 untuk daftar isi.
6. Ash Shafdiyyah, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, dicetak dalam dua juz.
7. Minhajus Sunnah An Nabawiyyah fi Naqdhi Kalamisy Syi’ah Al Qadariyyah, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, dicetak dalam delapan juz.
8. An Nubuwwat,
9. Dll.
Beliau jjuga memiliki kitab-kitab dan risalah yang sangat banyak, dimana di antaranya ada yang sudah dicetak secara terpisah, dan ada pula yang disatukan dalam kumpulan (majmu), dan ada yang berupa tulisan tangan, ada yang masih tersimpan dan ada yang sudah hilang.
Ada yang menyebutkan, bahwa karya beliau hampir mencapai 500 jilid (Lihat Syadzaratudz Dzahab karya Ibnul Imad Al Hanbali juz 8 hal. 147)
Pujian para ulama terhadap beliau
Kamaluddin bin Zamlakani (w. 727) berkata, “Beliau ketika ditanya tentang salah satu bidang ilmu, maka orang yang melihat atau mendengarnya mengira bawa beliau pakar bidang ilmu tersebut, dan seakan-akan tidak ada yang mengetahui seperti itu selain Beliau. Para fuqaha (Ahli Fiqih) dari berbagai madzhab apabila duduk bersamanya mengambil faedah untuk madzhab mereka hal-hal yang belum mereka ketahui sebelumnya, dan saat beliau berdiskusi dengan orang lain, tidak pernah beliau terdiam (kalah), dan beliau tidaklah berbicara tentang salah satu disiplin ilmu baik ilmu syara maupun lainnya melainkan beliau unggul daripada yang lain, dan dinisbatkan kepadanya. Ia memiliki kemampuan yang besar dalam menyusun, menulis, mengurutkan, membagi, dan menerangkan.”
Az Zamlakani juga berkata, “Semua syarat-syarat ijtihad berkumpul pada diri beliau.”
Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah berkata, “Ketika aku bersama Ibnu Taimiyah, maka aku tidak pernah melihat seseorang seperti beliau yang berbagai ilmu ada di hadapannya; ia dapat mengambil daripadanya apa yang ia mau dan ia tinggalkan apa yang ia mau.”
Abul Baqa As Subki berkata, “Demi Allah, wahai fulan, tidak ada yang membenci Ibnu Taimiyah selain orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu. Orang jahil tidak mengetahui apa yang diucapkannya, sedangkan pengikut hawa nafsu dihalangi hawa nafsunya dari mengikuti kebenaran setelah mengetahuinya.”
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Beliau seorang syaikh, imam, ulama, ahli tafsir, ahli fiqih, mujtahid, hafizh, muhaddits, Syaikhul Islam, jarang tandingannya di masa itu, pemilik karya-karya besar, dan cerdas luas biasa.”
Ia juga berkata, “Ia juga memperhatikan para perawi dan illat-illat, ia pun menjadi imam di bidang jarh dan termasuk ulama ahli hadits dengan keadaan agama yang begitu baik dan mulia, selalu berdzikir dan menjaga diri, lalu ia mendatangi fiqih, hal yang rumit di dalamnya, kaidah-kaidahnya, hujjah-hujjahnya dan ijma serta khilafnya, ia pun melakukan hal yang menakjubkan terhadapnya. Ketika menyebutkan masalah khilaf, ia berdalih, mentarjih, dan berijtihad, dan memang beliau berhak terhadapnya karena syarat-syarat ijtihad telah berkumpul padanya. Aku belum pernah melihat seorang yang cepat mengambil ayat yang menunjukkan suatu masalah dan lebih mampu menghadirkan matan hadits, menyandarkannya kepada kiitab shahih, musnad, atau sunan melebih beliau seakan-akan Al Qur’an dan As Sunnah ada di depan matanya dan di ujung lisannnya, lalu beliau menghadirkannya dengan uraian yang jelas, mata terbuka, dan membungkam lawan debatnya.”
Ia juga berkata, “Ini semua di samping kedermawanannya yang belum pernah aku saksikan semisalnya, keberanian yang luar biasa sehingga dijadikan sebagai perumpamaan, serta meninggalkan kelezatan jasmani berupa pakaian indah, makanan yang enak, dan kenikmatan duniawi.”    
Imam Syaukani rahimahullah berkata, “Beliau adalah imamnya para imam dan mujtahid mutlak.”
(Dinukil dari kitab Da’awa Munaawiin Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah karya Dr. Abdullah Al Ghushn cet. Dar Ibnil Jauzi hal. 139-161)
Khatimah
Ibnul Qayyim berkata, “Allah mengetahui bahwa saya sama sekali tidak pernah melihat seorang pun yang lebih baik kehidupannya dibandingkan beliau (Ibnu Taimiyah), meskipun beliau mengalami kesempitan, kesulitan, serta sangat jauh dari kemewahan dan berbagai kenikmatan dunia. Bahkan sebaliknya, beliau dipenjara, diancam, dan dianiaya. Walaupun demikian, beliau termasuk manusia yang paling baik kehidupannya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya, paling senang jiwanya, sampai-sampai kesenangan dan kenikmatan hidup tersebut memancar dari wajah beliau.” (Al Wabilush Shayyib 1/48)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’:  Maktabah Syamilah versi 3.45,  tarjamah mujazah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah (Dr. Abdullah bin Shalih bin Abdul Aziz Al Ghushn) https://www.saaid.net/monawein/taimiah/1.htm, https://www.alukah.net/culture/0/127655/, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger