بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (51)
Memohon Sesuatu
Dengan Menyebut Wajah Allah, dan Tentang Ucapan ‘Seandainya’
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At
Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab: Memohon Sesuatu Dengan
Menyebut Wajah Allah
Dari Jabir bin Abdullah
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«لَا يُسْأَلُ
بِوَجْهِ اللَّهِ، إِلَّا الْجَنَّةُ»
“Tidak dimohonkan
sesuatu dengan menyebut wajah Allah kecuali surga.” (Hr. Abu Dawud)
Penjelasan:
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1671, namun didhaifkan oleh Syaikh Al Albani.
Di dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin Qarm bin Mu’adz seorang yang dha’if.
Oleh karena nama-nama
Allah dan sifat-Nya harus dimuliakan, maka tidak diminta untuk urusan dunia
yang rendah menggunakan wajah-Nya yang mulia, bahkan disebut Wajah-Nya yang
mulia untuk perkara-perkara agung dan harapan yang besar seperti surga.
Dalam hadits di atas kita
dilarang meminta dengan menyebut wajah Allah terhadap perkara-perkara yang
rendah untuk mengagungkan dan membesarkan-Nya, dan disebut wajah-Nya adalah untuk
perkara yang agung yaitu surga.
Kesimpulan:
1. Menetapkan wajah
bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai yang layak dengan kebesaran-Nya
sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain.
2. Wajibnya
mengagungkan Allah dan memuliakan nama-nama dan sifat-Nya.
3. Bolehnya meminta
surga dan perkara-peraka yang mengantarkan kepadanya dengan menyebut Wajah
Allah.
**********
Bab: Ucapan ‘Seandainya’
Firman Allah Azza wa
Jalla,
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ
لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى
مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Mereka berkata,
"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." Katakanlah,
"Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah
ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh."
Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran: 154)
Penjelasan:
Di antara penyempurna
tauhid adalah ketika seseorang tunduk, pasrah, dan menerima takdir Allah Azza
wa Jalla, dan bahwa ucapan ‘seandainya’ tidak ada faedahnya apa-apa, dimana
ucapan tersebut menunjukkan tidak ridha terhadap takdir Allah Azza wa Jalla dan
dapat mencacatkan tauhidnya.
Dalam ayat di atas Allah
Subhanahu wa Ta’ala menerangkan apa yang disembunyikan kaum munafik pada saat
terjadi perang Uhud berupa sikap protes dan tidak ridha terhadap takdir yang
terjadi. Mereka berkata, “Jika sekiranya ada hak memilih dan bermusyawarah dengan kami, tentu kami tidak
akan berangkat berperang dan tentu kami akan selamat dari kekalahan ini,” maka
Allah membantah mereka bahwa yang terjadi itu merupakan takdir Allah Azza wa
Jalla, dimana berdiam di rumah juga tidak dapat lolos dari takdir-Nya, dan
bahwa menyesal dan mengucapkan ‘seandainya’ tidak berfaedah apa-apa.
Kesimpulan:
1. Larangan
mengucapkan ‘seandainya’ terhadap hal-hal yang telah ditakdirkan, karena hal
itu menunjukkan keluh-kesah terhadap takdir dan menambah kesedihan di hati,
akan tetapi ucapan ‘seandainya’ jika sebagai bentuk penyesalan terhadap
ketaatan yang terlewatkan maka tidak mengapa, karena hal itu menunjukkan
keinginannya berbuat kebaikan.
2. Perintah
menyerahkan diri, pasrah, dan ridha terhadap takdir Allah Azza wa Jalla.
3. Sikap hati-hati
tidak dapat meloloskan diri dari takdir.
4. Siapa saja yang
telah ditetapkan akan meninggal dunia di suatu tempat, maka pasti ia akan pergi
mendatanginya meskipun berusaha menolaknya.
**********
Firman Allah Ta’ala,
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ
فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Orang-orang yang
mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang,
"Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh".
Katakanlah, "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang
benar." (Qs. Ali Imran: 168)
Penjelasan:
Dalam ayat di atas Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingkari kaum munafik yang tidak menerima takdir ketika
mengatakan kepada kaum mukmin yang berperang bersama Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam pada perang Uhud, “Kalau sekiranya mereka mendengar usulan
kami untuk tetap tinggal dan tidak berangkat berperang, tentu mereka tidak akan
terbunuh,“ maka Allah membantah mereka, bahwa jika mereka mampu menghindarkan
kematian dari orang yang telah ditetapkan tiba ajalnya, maka cobalah mereka
tolak kematian itu dari diri mereka sendiri, maka jika mereka tidak mampu
menolak kematian dari diri mereka, apalagi menolak kematian yang menimpa orang
lain.
Catatan:
Mengucapkan seandainya ini ada 4 hukum:
1. Berdosa, apabila sebagai sikap
tidak menerima takdir Allah Ta’ala.
2.
Berdosa, apabila bertujuan untuk mengerjakan
maksiat, seperti mengatakan, “Seandainya
saya mempunyai harta, saya ingin membeli minuman keras.” Hal ini sebagaimana dalam hadits berikut bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا
نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ
عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ
إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا
وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ
نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ
وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ
الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ
صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ
فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا
وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا
يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ
حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا
وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ
فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ *
“Harta seorang hamba tidaklah berkurang
karena bersekah, tidaklah seorang hamba dizalimi dengan suatu kezaliman lalu ia
bersabar kecuali Allah akan tambahkan kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba
membuka pintu meminta-minta kecuali Allah akan bukakan pintu kemiskinan. Dan
aku akan sampaikan kepadamu satu hadits maka hapalkanlah, “Sesungguhnya dunia
ini diperuntukkan untuk 4 orang; (1) seorang hamba yang Allah karuniakan harta
dan ilmu (ilmu agama), ia pun gunakan untuk bertakwa kepada Tuhannya, menyambung
tali silaturrahim dan ia mengetahui hak Allah di situ, ini adalah orang yang
paling utama kedudukannya. (2) seorang hamba yang dikaruniakan Allah ilmu namun
tidak dikaruniakan harta, ia jujur dalam niatnya, seraya mengatakan, “Kalau
seandainya aku mempunyai harta, aku ingin menggunakan seperti yang digunakan si
fulan (yang pertama),” maka dia karena niatnya mendapat pahala yang sama. (3), seorang
hamba yang dikaruniakan harta namun tidak dikaruniakan ilmu, ia pun habiskan hartanya
itu bukan untuk ketakwaan kepada Tuhannya, ia tidak sambung tali silaturrahim
dan tidak mengetahui hak Allah di situ, ini adalah orang yang paling buruk
keadaannya, dan (4) seorang hamba yang tidak diberi harta dan tidak diberi
ilmu, ia mengatakan, “Kalau seandainya saya mempunyai harta, saya ingin
melakukan seperti yang dilakukan si fulan (yang ketiga)”, ia sama niatnya maka
dosanya pun sama.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih.”)
3.
Berpahala, jika bermaksud mengerjakan amal saleh, seperti,
“Kalau seandainya saya punya harta, saya ingin bersedekah.” Hal ini sebagaimana
dalam hadits di atas.
4. Mubah, yaitu jika lepas
dari hal-hal di atas, seperti berkata, “Jalan ke arah masjid lewat sini, namun
kalau seandainya kamu lewat sana, maka lebih jauh.”
Kesimpulan:
1. Mengucapkan
‘seandainya’ terhadap perkara yang telah ditakdirkan sebagai keluh-kesah termasuk
ciri orang munafik.
2. Peringatan agar
tidak mengucapkan ‘seandainya’ sebagai bentuk tidak menerima takdir dan
menyesal terhadap musibah yang terjadi.
3. Konsekwensi iman
menghendaki untuk menerima qadha dan qadar Allah, dan bahwa menolaknya
merupakan sifat orang-orang munafik.
4. Disyariatkan
mendebat kaum munafik dan orang-orang yang berada di atas kebatilan lainnya
untuk membatalkan syubhat mereka.
**********
Dalam kitab Shahih
dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
احْرِصْ
عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ
شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ
قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Berusahalah
untuk mengerjakan hal yang memberikan manfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah bersikap lemah, jika
kamu tertimpa sesuatu maka jangan katakan, “Kalau seandainya aku mengerjakan ini dan itu, tentu akan terjadi begini dan begitu,” tetapi katakalah, “Allah telah takdirkan dan
apa yang dikehendaki-Nya Dia perbuat,” karena kata “Seandainya,” membuka pintu amal setan.”
Penjelasan:
Hadits ini disebutkan
dalam Shahih Muslim no. 2664 dan Musnad Ahmad no. 8791.
Dalam hadits tersebut
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk berusaha melakukan
perbuatan yang bermanfaat sambil memohon pertolongan kepada Allah Azza wa
Jalla, dan melarang bersikap lemah. Di samping itu, karena manusia siap
mendapatkan musibah dalam kehidupan dunia ini, maka Beliau memerintahkan untuk
bersabar, siap memikul cobaan itu dan tidak menyesal atau kecewa seraya
mengatakan ‘kalau sekiranya saya lakukan ini dan itu, tentu akan terjadi
begini dan begitu’ karena hal itu tidak ada faedahnya apa-apa, bahkan hanya
membuka celah bagi setan untuk membuatnya bertambah sedih.
Kesimpulan:
1. Dorongan
bersungguh-sungguh mengejar hal yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat
dengan melakukan sebab-sebabnya sambil memohon pertolongan kepada Allah Azza wa
Jalla, dan tidak bersandar kepada kemampuan diri sendiri
2. Larangan
bersikap lemah, diam tidak berbuat, dan tidak mau menjalankan sebab.
3. Menetapkan
akidah qadha dan qadar, dan bahwa beriman kepadanya tidak menafikan menjalankan
sebab.
4. Wajibnya
bersabar terhadap musibah
5. Larangan
mengucapkan ‘seandainya’ karena keluh-kesah terhadap musibah.
6. Berhati-hati
terhadap tipu daya setan.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa
shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al
Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr.
Shalih Al Fauzan), Untaian Mutiara Hadits (penulis), dll.
0 komentar:
Posting Komentar