Kaum Salaf Menghadapi Fitnah Dalam Agama

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫خير الناس قرني‬‎
Kaum Salaf Menghadapi Fitnah Dalam Agama
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf menghadapi fitnah dalam beragama yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas ditulis karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf menghadapi fitnah dalam beragama
Abdul Karim Al Jazari meriwayatkan dari Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir, ia berkata, “Kaum musyrik pernah menangkap Ammar. Mereka tidak mau menghentikan penyiksaan terhadapnya sampai ia mau mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebut baik sesembahan mereka. Ketika ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bertanya, “Apa yang terjadi atas dirimu kemarin?” Ia menjawab, “Keburukan, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak dilepaskan dari penyiksaan sampai aku mencelamu dan menyebut baik sesembahan mereka.” Beliau bertanya, “Bagaimana hatimu?” Ia menjawab, “Tetap tentram dalam keimanan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mereka melakukan hal yang sama, maka lakukanlah hal yang sama.” (Siyar A’lamin Nubala 1/411. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim 2/357, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan dalam Ath Thabaqat 3/189, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 1/140, dan Thabari dalam At Tafsir 14/122)
Dari Syu’bah dan Hisyam, dari Qatadah, dari Yunus bin Jubair, ia berkata, “Kami pernah mengantarkan Jundub, lalu aku berkata kepadanya, “Berilah nasihat kepada kami!” Beliau menjawab, “Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dan agar kalian memperhatikan Al Qur’an (dengan membaca dan mengamalkannya), karena Al Qur’an adalah cahaya di malam yang gelap dan petunjuk di siang hari. Amalkanlah meskipun kamu kelelahan dan kesusahan. Jika ada cobaan, maka korbankanlah hartamu demi mempertahankan agamamu. Apabila cobaan semakin menjadi, maka korbankalah harta dan jiwamu demi mempertahankan agamamu. Sesungguhnya yang hancur adalah orang yang hancur agamanya, yang dirampok adalah orang yang dirampok agamanya. Ketahuilah! Tidak ada kemiskinan lagi setelah masuk surga, dan tidak ada kekayaan setelah masuk neraka.” (Siyar A’lamin Nubala 3/174)
Abu Hisyam Ar Rifa’i berkata, “Abu Bakar bin Iyyasy pernah berkata keada Hasan bin Hasan di Madinah, “Fitnah apa yang masih tertinggal dalam dirimu?” Ia balik bertanya, “Fitnah apa yang engkau lihat pada diriku?” Abu Bakar menjawab, “Aku melihat mereka mencium tanganmu, namun engkau tidak mencegah mereka.” (Siyar A’lamin Nubala 8/500. Abu Bakar bin Iyyasy namanya adalah Syu’bah menurut pendapat yang masyhur. Ia adalah teman seperguruan dengan Hafsh ketika belajar dari Ashim).
Shafwan bin Shalih bnerkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Katsir Ad Dimasyqi Al Qari, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ia berkata, “Kami pernah bersama Raja’ bin Haiwah. Ketika itu kami berbincang-bincang tentang orang-orang yang mensyukuri nikmat, lalu ia berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat mensyukuri nikmat Allah.” Waktu itu, di belakang kami ada seseorang yang kepalanya ditutupi dengan kain. Ia bertanya, “Apakah termasuk juga Amirul Mukminin?” Kami pun berkata, “Kenapa haru menyebut-nyebut Amirul Mukminin di sini? Ia hanyalah manusia biasa.” Setelah itu kami tidak memperhatikan lagi lelaki tersebut. Ketika Raja’ menoleh ke belakang dan tidak melihat lelaki itu, ia berkata, “Kalian akan diciduk akibat laki-laki bertutup kepala tadi. Jika kalian diminta bersumpah, maka bersumpahlah.”
Tanpa kami sadari, ternyata sudah datang pengawal kepadanya, lalu ia dibawa di hadapan  Khalifah. Sang Khalifah berkata, “Apa-apaan ini wahai Raja’? Amirul Mukminin disebut, namun anda tidak membelanya?” Aku pun berkata, “Apa yang anda maksudkan wahai Amirul Mukminin?” Ia menjawab, “Ketika kalian membicarakan tentang syukur nikmat lalu kalian katakan, “Tidak ada seorang pun yang dapat mensyukuri nikmat Allah,” kemudia ketika ada yang berkata, “Bagaimana dengan Amirul Mukminin?” Lalu engkau katakan, bahwa Amirul Mukminin adalah manusia biasa.” Raja’ berkata, “Tidak demikian!” Amirul Mukminin berkata, “Demi Allah?” Aku menjawab, “Demi Allah.” Lalu dipanggil lelaki yang bertutup kepala tadi dan dicambuk sebanyak tujuh puluh kali.” Raja’ pun keluar, sementara lelaki itu berlumuran darah.” Ia berkata, “Inikah yang engkau lakukan padahal engkau Raja’ bin Haiwah?” Aku menjawab, “Tujuh puluh pecutan di punggungmu lebih baik daripada tertumpahnya darah seorang mukmin.” Ibnu Jabir berkata, “Oleh karena itu, Raja’ ketika membuka majlisnya selalu menoleh dan berkata, “Hati-hatilah dengan lelaki bertutup kepala.” (Siyar A’lamin Nubala 4/561. Raja’ melakukan hal ini untuk melindungi orang-orang yang berada di majlisnya agar tidak mendapat bahaya dari para intel yang bisa saja membunuh mereka. Oleh karenanya Beliau menghindarkan bahaya yang lebih besar dengan melakukan perkara yang lebih ringan sebagaimana diterangkan di akhir cerita).
Fitnah pernyataan Al Qur’an adalah makhluk
Hanbal berkata, “Aku pernah mendatangi Abu Abdillah (Imam Ahmad) dan Ibnu Ma’in ketika bersama Affan, setelah beliau dipanggil Ishaq bin Ibrahim untuk diuji. Affan adalah orang yang pertama diuji. Keesokan harinya, Yahya (ibnu Ma’in) bertanya kepada Affan setelah ia diuji. Abu Abdillah ketika itu hadir dan kami bersamanya. Yahya berkata, “Ceritakanlah kami apa yang dikatakan Ishaq kepadamu?” Ia menjawab, “Wahai Abu Zakariya, aku tidak mencoreng wajahmu dan wajah kawan-kawanmu. Aku tidak memenuhi ajakannya (untuk menyatakan Al Qur’an adalah makhluk).” Yahya bertanya, “Bagaimana ceritanya?” Ia menjawab, “Ishaq memanggilku dan membacakan kepadaku surat yang ditulis oleh Al Ma’mun dari Jazirah Arab. Ternyata isinya, “Ujilah Affan dan mintalah ia menyatakan Al Qur’an itu begini dan begitu. Jika ia mau menyatakan itu, maka biarkanlah dia seperti biasa. Tetapi jika ia tidak mau memenuhi ajakanmu seperti yang telah kutulis kepadamu, maka putuskanlah subsidi yang biasa diberikan kepadanya.” Ketika itu, Al Ma’mun biasa memberi subsidi untuk Affan 500 dirham setiap bulan. Seusai dibacakan surat itu kepadaku, Ishaq berkata, “Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?” Maka aku membacakan kepadanya ayat “Qul huwallahu ahad,” sampai selesai (QS. Al Ikhlas: 1-4), kemudian aku balik bertanya, “Apakah ini makhluk atau bukan?” Ishaq menjawab, “Wahai syaikh! Sesungguhnya Amirul Mukminin berkata, “Jika engkau tidak memenuhi permintaannya, maka ia akan memutuskan subsidinya kepadamu,” maka aku menjawab, “Allah berfirman, “Wa fis samaa rizqukum wamaa tuu’aduun, “ (artinya: dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu, dan terdapat pula apa yang dijanjikan kepadamu. QS. Adz Dzariyat: 22). Maka Ishaq pun diam dan aku langsung pergi.” Abu Abdillah dan Yahya pun senang mendengar pernyataan itu.” (Siyar A’lamin Nubala 10/244)
Dari Haitsam bin Khalaf Ad Duriy, bahwa Muhammad bin Suwaid Ath Thahhan bercerita, “Kami pernah berada di dekat Ashim bin Ali. Ketika itu, kami bersama Abu Ubaid, Ibrahim bin Abi Laits, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan Ahmad bin Hanbal disiksa. Maka Ashim berkata, “Adakah orang yang mau pergi bersamaku mendatangi orang ini (Imam Ahmad) dan mengajaknya berbicara?” Tidak ada seorang pun yang menjawab. Kemudian Ibnu Abi Laits berkata, “Wahai Abul Husain, saya akan menemui anak-anak perempuanku dulu untuk memberi wasiat kepada mereka,” kami mengira ia pergi untuk membeli kain kafan dan pengawet mayat, lalu ia datang dan berkata, “Aku baru menemui anak-anakku, ternyata mereka menangis.” Ada pula surat dari dua puteri Ashim dari Wasith yang isinya, “Wahai ayahanda, sesungguhnya telah sampai kabar kepada kami bahwa lelaki itu (Khalifah Al Ma’mun) menangkap Ahmad bin Hanbal dan menyiksanya agar menyatakan Al Qur’an adalah makhluk. Maka bertakwalah kepada Allah dan jangan memenuhi ajakannya. Demi Allah, mendengar kabar kematianmu lebih kami sukai daripada kami mendengar engkau memenuhi permintaannya (khalifah Al Ma’mun).” (Siyar A’lamin Nubala 9/264)
Dari Abu Ja’far Al Anbari ia berkata, “Saat Imam Ahmad dihadapkan ke Al Ma’mun aku diberi kabar, maka aku menyebrangi sungai Eufrat. Tiba-tiba Beliau duduk di penginapan, lalu aku memberinya salam, kemudian ia berkata, “Wahai Abu ja’far, engkau telah bersusah payah (mendatangiku)?” Lalu aku berkata, “Wahai saudara, engkau sekarang sebagai tokoh. Orang-orang mengikutimu di belakang. Demi Allah, jika engkau mau memenuhi ajakannya untuk menyatakan Al Qur’an sebagai makhluk, tentu orang-orang akan mengikutimu pula. Jika engkau menolaknya, maka orang-orang juga akan menolaknya. Meskipun demikian, jika orang itu tidak membunuhmu, maka engkau tetap akan mati. Engkau pasti mati, maka bertakwalah kepada Allah dan jangan penuhi ajakannya.” Maka Imam Ahmad menangis dan berkata, “Masyaa Allah.” Lalu beliau berkata, “Wahai Abu Ja’far! Ulangilah kata-kata itu kepadaku,” maka aku ulangi dan Beliau terus mengucapkan, “Masyaa Allah.” (Siyar A’lamin Nubala 11/239)
Shalih bin Ahmad berkata, “Ayahku (Imam Ahmad) dan Muhammad bin Nuh digiring dari Baghdad dalam keadaan terikat. Kami pun pindah bersama mereka ke Anbar. Kemudian Abu Bakar Al Ahwal bertanya kepada ayahku, “Wahai Abu Abdillah, jika pedang dihadapkan kepadamu, apakah engkau mau memenuhi ajakannya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Lalu keduanya terus digiring. Aku mendengar ayahku berkata, “Kami pindah ke Rahbah (lapangan milik Malik bin Thauq yang terletak antara Baghdad dan Riqqah). Dari sana kami diberangkatkan lagi pada tengah malam. Tiba-tiba lewat di hadapan kami seorang laki-laki dan bertanya, “Siapa di antara kamu berdua yang bernama Ahmad bin Hanbal?” Ada yang menjawab, “Ini orangnya.” Ia pun berkata kepada penuntun untanya, “Pelan-pelan.” Kemudian ia berkata (kepada Imam Ahmad), “Wahai saudara! Tidak masalah engkau dibunuh di sini tetapi engkau masuk surga.” Imam  Ahmad berkata, “Aku titipkan engkau kepada Allah.” Kemudian ia pergi. Aku pun bertanya tentang laki-laki itu. Ada yang mengabarkan, bahwa orang itu adalah orang Arab dari suku Rabi’ah yang biasa membuat wool di padang pasir namanya Jabir bin Amir. Ia dikenal sebagai orang yang baik.” (Siyar A’lamin Nubala 11/241)
Dari Ahmad Al Hawariy, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Abdullah, ia berkata, “Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku belum pernah mendengar kalimat sejak terperangkap dalam masalah ini yang lebih mengena daripada ucapan orang Arab badui yang disampaikannya di lapangan Thauq, ia mengatakan, “Wahai Ahmad! Kalau engkau mati untuk membela kebenaran, maka engkau mati sebagai syahid. Jika engkau masih hidup, maka engkau hidup dalam keadaan terpuji.” Kata-kata itu menguatkan hatiku.” (Siyar A’lamin Nubala 11/242)
Hanbal berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang begitu mudanya dan ilmunya pun tidak seberapa namun lebih konsekwen dengan hukum Allah daripada Muhammad bin Nuh. Aku berharap hidupnya ditutup dengan kebaikan. Suatu ketika ia pernah berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah! Bertakwalah kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya engkau tidak seperti diriku. Engkau adalah orang yang menjadi panutan. Manusia memperhatikan dirimu; melihat apa yang engkau lakukan. Bertakwalah kepada Allah dan tetaplah  di atas perintah Allah.” Atau ia mengucapkan kalimat seperti itu. Ia telah meninggal dunia lalu aku menyalatkannya dan menguburkannya. Seingatku Beliau berkata, “Peristiwa itu terjadi di ‘Anah.” (Siyar A’lamin Nubala 11/242. ‘Anah adalah kota terkenal antara Riqqah dan dataran rendah dekat sungai Eufrat (Tigris). Di sana terdapat benteng yang kokoh).”
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab  Aina Nahnu min Akhlaqis salaf  oleh Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger