بسم الله الرحمن الرحيم
Fardhu-Fardhu
Shalat (1)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang fardhu-fardhu shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Fardhu-fardhu
shalat
Shalat memiliki
fardhu-fardhu dan rukun-rukun yang daripadanya terwujud hakikat shalat, dimana
jika salah satunya ditinggalkan, maka shalat tidak terwujud dan belum dianggap
secara syara’.
1.
Niat[i]
Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَاالْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ ينكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya
amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.
Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka berarti hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya (dan ia akan beruntung), dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia yang hendak diperolehnya atau karena wanita yang hendak
dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai niat hijrahnya (hijrahnya sangat hina).”
(HR. Bukhari)
Tentang
melafazkan niat
Ibnul
Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan berkata, “Niat artinya bermaksud dan
berazam melakukan sesuatu. Tempatnya di hati; tidak ada kaitannya dengan lisan
sama sekali. Oleh karenanya, tidak ada nukilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat. Lafaz niat yang
diada-adakan ketika hendak memulai bersuci dan shalat telah dijadikan
kesempatan oleh setan untuk menundukkan orang-orang yang was-was, dimana setan
berhasil menahan mereka dan membuat mereka tersiksa karenanya, bahkan membuat
mereka berusaha memperbaiki dalam melafazkannya. Oleh karenanya engkau melihat salah seorang di antara mereka
mengulang-ulangnya dan memaksa jiwanya untuk melafazkanya, padahal itu bukan
bagian shalat sedikit pun.”
2.
Takbiratul Ihram
Hal
ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
«مِفْتَاحُ
الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا
التَّسْلِيمُ»
“Kunci
shalat adalah bersuci, dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam.” (HR.
Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Ini
adalah hadits yang paling shahih dan paling baik dalam masalah ini.” Hadits ini
dishahihkan pula oleh Hakim dan Ibnus Sakan).
Lafaznya
adalah “Allahu akbar,” berdasarkan hadits Abu Humaid, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat berdiri lurus dan mengangkat
kedua tangannya, lalu mengucapkan, “Allahu akbar.” (HR. Ibnu Majah, dan
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Al
Bazzar juga meriwayatkan dengan isnad yang shahih sesuai syarat Muslim, dari
Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berdiri shalat mengucapkan “Allahu akbar.”
Dan
dalam hadits orang yang shalatnya keliru dalam riwayat Thabrani disebutkan,
“(Hendaknya) ia mengucapkan, “Allahu akbar.”
3.
Berdiri dalam shalat fardhu.
Hukumnya
wajib berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ bagi yang mampu berdiri.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ
لِلّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah
semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu'.”
(QS. Al Baqarah: 238)
Dari
Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku terkena bawasir, lalu
aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat (ketika
terkena penyakit itu), maka Beliau bersabda,
«صَلِّ
قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ»
“Shalatlah
sambil berdiri. Jika tidak sanggup, maka sambil duduk, dan jika tidak sanggup,
maka sambil berbaring.” (HR. Bukhari)
Demikianlah
kesepakatan ulama, sebagaimana mereka juga bersepakat menganjurkan untuk merenggangkan
dua kaki saat berdiri.
Faedah:
Adapun
dalam shalat sunah, maka diperbolehkan shalat sambil duduk meskipun mampu
berdiri, hanyasaja pahala orang yang shalat sunah sambil berdiri lebih sempurna
daripada orang yang shalat sambil duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ
“Shalat
yang dilakukan seseorang sambil duduk adalah separuh shalat orang yang
berdiri.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr)
Dan
jika seseorang tidak sanggup berdiri dalam shalat fardhu, maka ia tetap shalat
semampunya, karena Allah tidaklah membebani kecuali sesuai kemampuannya. Ia
juga memperoleh pahala sempurna tanpa dikurangi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
«إِذَا
مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا
صَحِيحًا»
“Jika
seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya pahala seperti
yang ia lakukan ketika mukim dan sehat.” (HR. Bukhari dari Abu Musa)
4.
Membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat, baik pada
shalat fardhu maupun shalat sunah
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ»
“Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Jamaah dari Ubadah
bin Ash Shamit)
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ
خِدَاجٌ
“Barang
siapa yang shalat namun tidak membaca Ummul Qur’an, maka shalat itu kurang.”
(HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah)
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak
sah shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Daruquthni dengan
isnad yang shahih)
Abu
Sa’id berkata, “Kami diperintahkan membaca Fatihatul kitab (Al Fatihah) dan
surat yang mudah.” (HR. Abu Dawud. Al Hafizh dan Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Isnadnya
shahih.”)
Dalam
hadits orang yang keliru shalatnya disebutkan, “Kemudian bacalah Ummul
Qur’an...dst.” hingga Beliau bersabda, “Lakukanlah hal itu pada setiap rakaat.”
Oleh
karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam senantiasa membaca surat Al
Fatihah pada setiap rakaat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Dan
prinsip dalam masalah ibadah adalah ittiba’ (mengikuti contoh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah
sebagaimana kalian lihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Faedah:
Para
ulama sepakat, bahwa basmalah adalah bagian dari ayat di surat An Naml, namun
mereka berbeda pendapat tentang basmalah yang terletak di awal surat hingga
menjadi tiga pendapat yang masyhur, yaitu:
Pertama, bahwa basmalah termasuk al fatihah, dan termasuk bagian
surat yang lain. Oleh karena itu, membaca basmalah wajib pada surat Al Fatihah,
hukum membacanya sama seperti hukum membaca surat Al Fatihah baik pada shalat
sir (dipelankan bacaannya) maupun jahar (dikeraskan bacaannya). Dalil terkuat
pendapat ini adalah hadits Nu’aim Al Mujmir, ia berkata, “Aku shalat di
belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca “Bismillahirrahmaanirrahim,”
kemudian membaca Ummul Qur’an...dst.” Di akhir hadits disebutkan, bahwa Abu
Hurairah berkata, “Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, sesungguhnya aku
adalah orang yang paling mirip di antara kalian shalatnya dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.
Al Hafizh dalam Al Fath berkata, “Ia adalah hadits yang paling shahih
yang berkenaan dengan menjaharkan basmalah.”)
Kedua, basmalah adalah ayat tersendiri yang diturunkan untuk
keberkahan dan memisahkan antara beberapa surat, dan bahwa membaca basmalah
pada surat Al Fatihah hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, tetapi tidak
disunahkan menjaharkannya. Pendapat ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka tidak menjaharkan Bismillahirrahmanirrahim.”
(HR. Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thahawi dengan isnad yang sesuai syarat Bukhari
dan Muslim).
Ketiga, Basmalah bukan termasuk surat Al Fatihah dan bukan
termasuk surat-surat yang lain, sehingga makruh dibaca baik ketika sir maupun
jahar, dan baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Namun pendapat ini
tidak kuat.
Ibnul
Qayyim menggabung antara pendapat pertama dan kedua dengan mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menjaharkan Bismillahirrahmaanirrahim,
namun mensirkannya lebih sering Beliau lakukan daripada menjaharkannya. Tidak
diragukan lagi, bahwa Beliau tidak selalu menjaharkannya di siang dan malam
hari lima kali, baik ketika mukim maupun safar. Beliau juga menyembunyikan
bacaan basmalah di hadapan para khulafa’urrasyidin, di hadapan mayoritas
sahabat, dan penduduk kotanya di masa-masa yang utama.”
Jika
tidak bisa membaca Al Fatihah
Al
Khaththabiy berkata, “Hukum asalnya, shalat tidaklah sah tanpa membaca Al
Fatihah. Namun sudah maklum, bahwa surat Al Fatihah diwajibkan atas orang yang
mampu membacanya, bukan kepada yang tidak mampu. Jika seorang yang shalat tidak
mampu membaca surat Al Fatihah, namun mampu membaca surat yang lain, maka ia
harus membaca surat yang mampu itu sebanyak tujuh ayat, karena dzikr yanag
paling utama setelah surat Al Fatihah adalah ayat Al Qur’an yang semisalnya.
Jika ternyata tidak mampu mempelajari sedikit pun ayat Al Qur’an karena ada
kekurangan pada tabiat dirinya, buruknya hapalan, atau berat pada lisannya, atau
musibah yang menimpanya, maka dzikr yang plaing utama setelah Al Qur’an adalah
yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan, yaitu tasbih (ucapan
Subhaanallah), tahmid (ucapan alhamdulillah), dan tahlil (ucapan
Laailaahaillallah).”
Pernyataan
Al Khaththabiy di atas dikuatkan oleh hadits Rifa’ah bin Rafi’, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan shalat kepada seseorang, lalu
Beliau bersabda,
فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ، وَإِلَّا فَاحْمَدِ
اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ
“Jika kamu memiliki hapalan Al Qur’an, maka
bacalah. Jika tidak, maka pujilah Allah (tahmid), besarkanlah Dia (takbir), dan
esakanlah Dia (tahlil).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia menghasankannya. Dan
diriwayatkan pula oleh Nasa’i dan Baihaqi,
dan dishahihkan oleh Al Albani).
5.
Ruku’
Tentang
kewajiban ruku telah disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Ruku dan sujudlah kalian...dst.” (QS. Al Hajj: 77)
Ruku
terwujud dengan membungkukkan badan dengan menyentuhkan kedua tangan ke kedua
lutut, dan harus dilakukan dengan thuma’ninah, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tsummarka’ hatta tathma’inna raaki’an,”
(Kemudian rukulah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " " أَسْوَأُ النَّاسِ
سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ " ". قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟ قَالَ: " " لَا يُتِمُّ
رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا " " أَوْ قَالَ: " " لَا يُقِيمُ
صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ "
Dari
Abdullah bin Abu Qatadah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia paling buruk melakukan pencurian adalah
orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Beliau menjawab, “Dia tidak
menyempurnakan ruku dan sujudnya,” atau Beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan
tulang punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu
Khuzaimah, dan Hakim, ia berkata, “Shahih isnadnya,” dan dishahihkan oleh
Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ
فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ»
Dari
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang
punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Lima Imam Ahli Hadits, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban, Thabrani, dan Baihaqi. Baihaqi berkata, “Isnadnya shahih.”
Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.”)
Hudzaifah
radhiyallahu ‘anhu pernah melihat seorang yang tidak sempurna ruku dan
sujudnya, maka ia berkata, “Engkau belum shalat. Kalau sekiranya engkau
mati, maka engkau mati tidak di atas fitrah (agama) yang Allah menciptakan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atasnya.” (HR. Bukhari)
Bersambung...
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S.
Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), dll.
0 komentar:
Posting Komentar