Syarat-Syarat Shalat (3)

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫شروط الصلاة‬‎
Syarat-Syarat Shalat (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang syarat-syarat shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pakaian yang wajib dan yang dianjurkan bagi seseorang
Pakaian yang wajib adalah yang menutupi aurat. Tetapi jika kain yang dipakai tipis memperlihatkan warna kulit di baliknya sehingga diketahui warnanya putih atau merah kulitnya, maka tidak boleh dipakai untuk shalat.
Di samping kewajiban menutupi aurat, bagi laki-laki juga ketika akan shalat hendaknya tertutup kedua pundaknya. Hal ini berdasarkan hadits berikut,
«لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ»
“Janganlah salah seorang di antara kamu shalat dengan satu kain yang di atas pundaknya tidak ada penutupnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang yang shalat juga wajib menutup bagian badannya yang bukan termasuk aurat, yaitu bagian atasnya, jika ia mampu menutupnya. Jumhur ulama berpendapat, bahwa larangan dalam hadits di atas menunjukkan makruh, akan tetapi menurut Imam Ahmad, tidak sah shalat seseorang yang mampu menutupnya tetapi malah ditinggalkan, dalam riwayat lain Imam Ahmad, ia berkata, “Sah, namun berdosa.”
Dan dianjurkan bagi seseorang untuk shalat memakai dua kain atau lebih, serta berhias semampunya. Hal ini berdasarkan riwayat-riwayat berikut,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ، فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ ثَوْبَانِ فَلْيَتَّزِرْ إِذَا صَلَّى، وَلَا يَشْتَمِلْ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ اشْتِمَالَ الْيَهُودِ»
Dari Ibnu Umar ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaklah ia pakai kedua kainnya. Yang demikian adalah karena Allah lebih berhak untuk berhias diri kepada-Nya. Barang siapa yang tidak memiliki dua kain, maka jadikanlah kain itu sebagai kain sarung ketika shalat, dan janganlah ia berselimut ketika shalat seperti orang-orang Yahudi.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Abdurrazzaq meriwayatkan, bahwa Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud berselisih. Ubay berkata, “Shalat mengenakan satu kain tidak makruh.” Ibnu Mas’ud berkata, “Hal itu (tidak makruh) hanyalah ketika kain masih sedikit.” Maka Umar berdiri di atas mimbar dan berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat Ubay, dan Ibnu Mas’ud tidaklah meremehkan. Jika Allah melapangkan kalian, maka bersikap lapanglah, yaitu seseorang mengumpulkan kainnya, misalnya seseorang shalat memakai kain sarung dan selendang, memakai kain sarung dan gamis, memakai kain sarung dan qaba’ (sejenis pakaian luar), memakai celana panjang dan selendang, memakai celana panjang dan gamis, memakai celana panjang dan qaba’, memakai tubban (celana) dan qaba’, memakai tubban dan gamis,” Perawi berkata, ”Menurutku pula, beliau berkata, “Dan memakai tubban serta selendang.” (Atsar ini ada dalam Shahih Bukhari, namun tidak disebutkan sebabnya).
عَنْ بُرَيْدَةَ، قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ فِي لِحَافٍ لَا يَتَوَشَّحُ بِهِ، وَالْآخَرُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي سَرَاوِيلَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ رِدَاءٌ»
Dari Buraidah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dengan satu kain yang ia tidak menutupi badannya dengannya, demikian pula melarang engkau shalat memakai celana tanpa ada selendang (yang menutupi bagian atas badanmu).” (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani).
Dari Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia apabila hendak shalat memakai pakaian yang terbaik miliknya, lalu ia ditanya tentang sikapnya itu, maka ia menjawab, “Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan. Aku berhias untuk Tuhanku, karena Dia berfirman, “Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” (Terj. QS. Al A’raaf: 31).
5.       Menghadap kiblat
Para ulama sepakat tentang wajibnya menghadap ke Masjidilharam ketika shalat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Demikian pula berdasarkan hadits Al Barra’ berikut, ia berkata,
«صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ صُرِفْنَا نَحْوَ الْكَعْبَةِ»
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, kemudian kami dipindahkan arahnya ke Ka’bah.” (HR. Muslim)
Tentang orang yang menyaksikan Ka’bah dan orang yang tidak menyaksikan Ka’bah
Orang yang menyaksikan Ka’bah wajib menghadap Ka’bah itu sendiri, sedangkan orang yang tidak sanggup menyaksikannya, maka wajib menghadap ke arahnya, karena inilah yang memungkinkan baginya, dan Allah tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuannya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara timur dan barat itu kiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hasan shahih,” dan diakui oleh Bukhari).
Hal ini tentunya bagi penduduk Madinah dan yang semisal dengan mereka, seperti penduduk Syam, Al Jazirah, dan Irak. Adapun bagi penduduk Mesir, maka kiblat mereka adalah antara Timur dan Selatan. Bagi penduduk Yaman, maka bagian Timur di sebelah kanan orang yang sedang shalat, sedangkan bagian kirinya adalah Barat. Bagi penduduk India, bagian Timur berada  di belakang orang yang shalat, sedangkan bagian Barat berada di hadapannya, dst.
Bagaimana Kiblat dapat diketahui?
Setiap negeri memiliki tanda untuk mengetahui arah Kiblat, di antaranya adalah dengan memperhatikan mihrab yang dibuat kaum muslimin di masjid, demikian pula dengan menggunakan kompas.
Hukum orang yang samar baginya arah Kiblat
Orang yang samar baginya tanda-tanda Kiblat, misalnya karena suasana mendung atau gelap, maka ia wajib bertanya kepada orang yang dapat menunjukkannya. Jika ia tidak menemukan orang yang dapat menunjukkannya arah Kiblat, maka ia berijtihad dan melakukan shalat ke arah hasil ijtihadnya, dan shalatnya dipandang sah tanpa perlu mengulangi meskipun setelah shalat ternyata ia salah menghadap. Kecuali jika salah menghadapnya diketahui ketika sedang shalat, maka ia harus beralih ke arah Kiblat tanpa perlu memutuskan shalatnya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ»
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Ketika manusia sedang shalat Subuh di Quba, tiba-tiba ada seorang yang datang berkata, “Sesungguhnya semalam ayat Al Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Beliau diperintahkan menghadap Ka’bah, maka menghadaplah ke arahnya!” Ketika itu wajah mereka menghadap ke arah Syam, kemudian mereka berputar ke arah Ka’bah.” (Muttafaq ‘alaih)
Jika seseorang shalat berdasarkan ijtihadnya ke sebuah arah, lalu ia hendak shalat lagi yang lain, maka ia harus berijtihad lagi. Jika hasil ijtihadnya berubah; tidak seperti arah yang pertama, maka ia gunakan ijtihad yang kedua, dan ia tidak perlu mengulangi shalat yang sebelumnya.
Kapankah menghadap ke kiblat gugur?
Menghadap ke Kiblat hukumnya wajib, dan tidak gugur kecuali dalam beberapa keadaan berikut:
a.       Ketika shalat sunah di kendaraan
Bagi pengendara diperbolehkan melakukan shalat sunah di atas kendaraannya, ia bisa berisyarat ketika ruku dan sujudnya. Ketika itu sujudnya lebih rendah daripada rukunya, dan arah Kiblatnya ke arah kendaraannya menghadap.
Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya sesuai kendaraannya menghadap.” (HR. Bukhari dan Muslim. Bukhari menambahkan, “Beliau berisyarat (dengan kepala dalam ruku dan sujudnya).” Tirmidzi menambahkan, “Dan Beliau tidak lakukan hal itu dalam shalat fardhu.”)
Dalam riwayat Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas hewan kendaraannya dari Mekkah menuju Madinah mengikuti hewan kendaraannya menghadap. Berkenaan dengan hal itu, turun firman Allah Ta’ala, “Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah....” (artinya: ke arah mana saja kamu menghadap, maka di sanalah Wajah Allah) (QS. Al Baqarah: 115)
Dari Ibrahim An Nakha’iy, ia berkata, “Mereka (para sahabat) shalat di atas kendaraan dan hewan mereka ke mana saja hewan mereka menghadap.”
Ibnu Hazm berkata, “Ini merupakan kisah tentang keadaan para sahabat dan tabi’in, dan secara umum baik ketika tidak safar maupun ketika safar.”
b.       Shalat orang yang dipaksa, sakit, dan sedang dalam kondisi ketakutan
Orang yang dipaksa, orang yang sakit, dan orang yang sedang dalam kondisi ketakutan boleh melakukan shalat dengan tidak menghadap Kiblat jika mereka tidak sanggup, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah: 239)
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Baik menghadap Kiblat maupun tidak.” (HR. Bukhari).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Tamamul Minnah (Syaikh Al Albani), Mausu’ah Haditsiyyah Mushghgharah dan Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’ani was Sunnah), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger