بسم الله الرحمن الرحيم
Syarat-Syarat
Shalat (1)
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang syarat-syarat shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif
syarat dan rukun
Syarat
dan rukun sama-sama menentukan sah-tidaknya suatu ibadah, hanyasaja syarat
tidak termasuk (di luar) ibadah itu, sedangkan rukun termasuk (di dalam) ibadah
itu. Jika syarat atau rukun ditinggalkan, maka ibadah seseorang menjadi batal.
Syarat-syarat
shalat
Berikut
ini syarat-syarat shalat, yaitu:
1. Mengetahui
masuknya waktu shalat.
Untuk
mengetahui masuknya waktu shalat cukup berdasarkan perkiraan yang kuat. Oleh
karena itu, barang siapa yang yakin atau menurut perkiraannya yang kuat bahwa
waktu shalat telah masuk, maka dibolehkan baginya melakukan shalat. Dan sama
saja dalam hal ini, baik berdasarkan perkiraan orang yang tsiqah (terpercaya),
azan yang dilakukan muazin yang amanah, ijtihad seseorang atau sebab apa saja
yang membuahkan pengetahuan telah masuknya waktu shalat.
2. Suci
dari hadats kecil dan hadats besar.
Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ
بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (QS. Al Ma’idah: 6)
Demikian
juga berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا
يَقْبَلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ، وَلَا صَلَاةً بِغَيْرِ
طُهُورٍ»
“Allah
Azza wa Jalla tidak menerima sedekah dari hasil ghulul, dan tidak menerima
shalat tanpa bersuci.” (HR. Jamaah selain Bukhari)
Ghulul
artinya mencuri ghanimah sebelum dibagikan.
3. Sucinya
badan, pakaian, dan tempat shalat dari najis ketika mampu.
Jika
ternyata tidak mampu menghilangkannya, maka ia tetap shalat dan tidak perlu
diulangi.
Adapun
dalil tentang keharusan suci badannya dari najis adalah berdasarkan hadits-hadits
berikut,
Dari
Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابَ الْقَبْرِ مِنْهُ
“Bersucilah dari buang air kecil, karena pada
umumnya azab kubur itu terjadi disebabkan olehnya.” (HR. Daruquthni dan ia
menghasankannya. Dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
no. 3002).
Dari
Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku adalah seorang yang sering keluar
madzi, lalu aku suruh seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena keadaan puterinya (yang menjadi istriku sehingga aku mali). Orang
itu bertanya kepada Beliau, maka Beliau bersabda, “Berwudhulah dan basuhlah
kemaluanmu.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Imam
Bukhari juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang terkena darah
istihadhah,
اغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
“Cucilah
darah itu, lalu shalatlah.”
Adapun
dalil keharusan sucinya pakaian adalah firman Allah Ta’ala,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan
pakaianmu bersihkanlah,”
(QS. Al Muddatstsir: 4)
Demikian
pula berdasarkan hadits berikut,
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أُصَلِّي فِي ثَوْبِي الَّذِي آتِي
فِيهِ أَهْلِي؟ قَالَ: " نَعَمْ، إِلَّا أَنْ تَرَى فِيهِ شَيْئًا
فَتَغْسِلَهُ
Dari
Jabir bin Samurah, ia berkata, “Aku mendengar seseorang bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bolehkah aku shalat menggunakan pakaian yang
kugunakan untuk menggauli istriku?” Beliau bersabda, “Ya (boleh). Kecuali jika
engkau melihat sesuatu (kotoran), maka kamu cuci (terlebih dahulu).” (HR.
Ahmad. Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah berkata, “Isnadnya kuat,
namun diperselisihkan antara marfu’ dan mauqufnya.”)
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّهُ سَأَلَ أُخْتَهُ
أُمَّ حَبِيبَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، هَلْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي الثَّوْبِ الَّذِي
يُجَامِعُ فِيهِ؟ قَالَتْ: «نَعَمْ، إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ أَذًى»
Dari
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwa ia pernah bertanya kepada saudarinya, yaitu
Ummu Habibah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam melakukan shalat mengenakan pakaian yang Beliau gunakan untuk
menggauli istrinya?” Ummu Habibah menjawab, “Ya, jika tidak terdapat kotoran
padanya.” (HR. Ahmad dan para pemilik kitab Sunan selain Tirmidzi, dan
dishahihkan oleh Al Albani).
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ
فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا
نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاتَهُ، قَالَ: «مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ» ، قَالُوا:
رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا - أَوْ قَالَ:
أَذًى - " وَقَالَ: " إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ
فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ
وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا "
Dari
Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat mengimami para sahabatnya, tiba-tiba Beliau melepaskan kedua sandalnya
dan menaruhnya di sebelah kirinya. Saat para sahabat melihat hal itu, maka
mereka ikut melepaskan sandal mereka. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam selesai melaksanakan shalat, maka Beliau bersabda, “Apa yang mendorong
kalian melepas sandal kalian?” Para sahabat menjawab, “Kami melihat engkau
melepas sandalmu, maka kami pun melepas sandal kami.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Jibril alaihis salam
datang kepadaku dan memberitahukan, bahwa pada kedua sandal itu ada kotoran.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila salah seorang di
antara kamu datang ke masjid, maka hendaknya ia perhatikan (sandalnya); jika
dilihatnya ada kotoran, maka usaplah (ke tanah) dan silahkah shalat memakai
kedua sandal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah. Ia juga menshahihkannya).
Hadits
ini menunjukkan, bahwa apabila seseorang telah masuk ke dalam ibadah shalat
dalam keadaan ada najis yang menempel dengannya sedangkan ia tidak mengetahui
atau lupa terhadapnya, lalu ia mengetahuinya ketika sedang shalat, maka ia
wajib menyingkirkan najis itu dan meneruskan shalatnya tanpa perlu mengulangi.
Adapun
dalil keharusan sucinya tempat yang dipakai shalat adalah berdasarkan hadits
Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang Arab badui pernah buang air kecil di masjid,
lalu para sahabat bangkit untuk menghukumnya, tetapi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعُوهُ، وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ
سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ»
“Biarkanlah
dia! Tuangkanlah ke atas air kencingnya seember atau setimba air, karena kalian
diutus untuk memudahkan; bukan untuk menyusahkan.” (HR. Jamaah Ahli Hadits
selain Muslim)
Imam
Syaukani setelah mengkritik alasan mereka yang mensyaratkan sucinya pakaian
berkata, “Jika telah mantap bagimu dalil-dalil yang kami sebutkan beserta
maknanya, maka ketahuilah, bahwa hukumnya tidak kurang dari wajibnya pakaian
itu suci. Oleh karena itu, barang siapa yang shalat sedangkan di pakaiannya
terdapat najis, maka berarti ia telah meninggalkan kewajiban, adapun tentang
batalnya shalat yang ia lakukan –sebagaimana jika tidak dilakukan syarat
shalat- maka tidaklah demikian.”
Dalam
Ar Raudhah An Nadiyyah disebutkan, “Jumhur ulama berpendapat wajibnya
menyucikan tiga hal sebelum shalat, yaitu: badan, pakaian, dan tempat shalat.
Sejumlah ulama berpendapat bahwa hal itu termasuk syarat sahnya shalat,
sedangkan yang lain berpendapat bahwa hal itu hanya sunah. Yang benar, bahwa
hal itu hukumnya wajib. Oleh karena itu, barang siapa yang shalat memakai
sesuatu yang terkena najis, maka ia telah meninggalkan kewajiban, namun shalatnya
sah.”
Wallahu
a’lam.
4. Menutup
aurat
Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai
anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.” (QS. Al A’raaf: 31)
Yang
dimaksud dengan “ziinah” (pakaian yang indah) di ayat ini adalah yang
menutupi aurat. Sedangkan kata “masjid” maksudnya adalah shalat, yakni
tutuplah aurat kalian setiap kali hendak shalat.
Dalam
hadits disebutkan, dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus shalat memakai gamis?” Beliau
menjawab,
نَعَمْ زَرِّرْهُ وَلَوْ بِشَوْكَةٍ
“Ya.
Satukanlah gamis itu (agar tidak terbuka) meskipun dengan duri.” (HR. Bukhari
dalam At Tarikh, dan selainnya)
Bersambung....
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (S.
Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqh, KSA), Tamamul Minnah (Syaikh
Al Albani), Mausu’ah Haditsiyyah Mushghgharah dan Mausu’ah Ruwathil
Hadits (Markaz Nurul Islam Li abhatsil Qur’ani was Sunnah), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar