Kaum Salaf dan Kesabaran Mereka Dalam Menghadapi Musibah

بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫الصبر على البلاء‬‎
Kaum Salaf dan Kesabaran Mereka Dalam Menghadapi Musibah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan contoh keteladanan kaum Salaf dalam kesabaran menghadapi musibah yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf dan lainnya, semoga Allah menjadikan penerjemahan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam bersabar menghadapi musibah
Dari Al A’masy, dari Syahr bin Hausyab, dari Al Harits bin Umairah, ia berkata, “Aku pernah duduk di samping Mu’adz saat ia sekarat, ia pingsan kemudian tersadar, lalu berkata, “Aku tercekik karena kehendak-Mu. Demi kemuliaan-Mu, aku benar-benar mencintai-Mu.” (Siyar A’lamin Nubala 1/460)
*****
Al Mubarrid meriwayatkan, ada seorang yang berkata kepada Al Hasan bin Ali, “Sesungguhnya Abu Dzar pernah berkata, “Kefakiran lebih kusukai daripada kekayaan, dan sakit lebih kusukai daripada sehat,” maka Al Hasan berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Adapun menurutku, barang siapa yang bersandar kepada pilihan Allah yang telah ditetapkan untuknya dan ia tidak mengangan-angankan sesuatu. Inilah cara menyikapi segala takdir dengan keridhaan.” (Siyar A’lamin Nubala 3/262)
*****
Dari Wahb bin Munabbih, bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam pernah berkata kepada kaum Hawariy, “Orang yang paling tersiksa dengan musibah di antara kalian adalah orang yang paling cinta kepada dunia.” (Siyar A’lamin Nubala 4/551)
*****
Dari Asy Sya’bi, Syuraih berkata, “Sesungguhnya ketika aku tertimpa musibah, maka aku memuji Allah sebanyak empat kali: (1) aku memuji Allah karena musibah yang lebih besar ternyata tidak menimpaku, (2) aku memuji-Nya karena telah mengaruniakan kepadaku kesabaran, (3) aku memuji-Nya karena Dia memberiku taufiq untuk mengucapkan istirja’ (ucapan innaa lillahi...dst) yang bisa kuharapkan pahalanya, dan (4) aku memuji-Nya karena musibah itu bukan pada agamaku.” (Siyar A’lamin Nubala 4/105)
*****
Ghassan bin Al Mufadhdhal Al Ghalabiy berkata, “Sebagian sahabat kami menceritakan kepada kami, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Yunus bin Ubaid mengeluhkan kesulitan hidupnya yang membuat dirinya murung karenanya. Yunus menanggapinya dengan bertanya, “Apakah engkau rela jika penglihatanmu dibeli dengan harga seratus ribu dirham?” Ia menjawab, “Tentu tidak.” Yunus bertanya lagi, “Bagaimana jika pendengaramu?” Ia menjawab, “Tentu tidak.” Yunus kembali bertanya, “Bagaimana jika lisanmu?” Ia menjawab, “Tentu tidak.” Yunus bertanya lagi, “Bagaimana jika akalmu?” Ia menjawab, “Tentu tidak.” Kemudian beliau mengingatkan nikmat-nikmat Allah lainnya kepada orang tersebut. Selanjutnya Yunus berkata, “Menurutku, engkau memiliki beratus-ratus ribu dirham, tetapi kamu masih saja mengeluhkan kebutuhanmu.” (Siyar A’lamin Nubala 6/292).
*****
Dari Asy’ats bin Sa’id ia berkata, “Ibnu Aun berkata, “Seorang hamba tidak akan pernah mampu mencapai derajat orang yang ridha, sebelum ia ridha dengan kefakiran sebagaimana ia ridha dengan kekayaan. Apakah pantas kamu meminta keputusan kepada Allah terhadap urusanmu, tetapi kemudian engkau kesal saat keputusan-Nya tidak sesuai dengan selera hawa nafsumu? Padahal mungkin saja yang engkau harapkan itu jika dikabulkan maka akan membuat dirimu binasa. Demikian juga ketika kamu hanya ridha dengan takdir-Nya jika sesuai dengan selera hawa nafsumu. Jika demikian, maka berarti engkau belum bersikap adil terhadap dirimu dan belum mencapai pintu ridha.” (Shifatush Shafwah 3/311).
*****
Dari Ahmad bin Isham ia berkata, “Zuhair bin Nu’aim pernah berkata, “Sesungguhnya agama ini tidak akan sempurna kecuali dengan dua hal; kesabaran dan keyakinan. Jika hanya yakin tanpa disertai kesabaran, maka tidak sempurna, demikian pula jika hanya kesabaran tanpa disertai keyakinan juga tidak sempurna. Abu Darda mengumpamakannya sebagai berikut, “Perumpamaan yakin dan sabar adalah seperti dua orang petani yang menggarap satu lahan tanah. Jika yang satu duduk beristirahat, maka yang lain pun ikut beristirahat.” (Shifatush Shofwah 4/8)
*****
Dari Utsman bin Haitsam ia berkata, “Ada seorang dari Bani Sa’ad di Basrah. Ia termasuk salah seorang komandan perang Ubaidullah bin Ziyad. Suatu ketika ia jatuh dari atap rumahnya hingga kedua kakinya patah, lalu Abu Qilabah datang menemuinya untuk menjenguknya, ia berkata kepadanya, “Saya berharap engkau mendapatkan kebaikan.” Ia menjawab, “Wahai Abu Qilabah, kebaikan apa yang didapatkan dari kedua kakiku yang patah?” Abu Qilabah menjawab, “Dosa-dosamu yang Allah tutupi jauh lebih banyak.” Selang tiga hari kemudian, datang surat dari Ibnu Ziyad yang berisi perintah untuk keluar melawan Al Husain, ia berkata, kepada utusan (yang membawa surat) itu, “(Bukankah) engkau lihat diriku mendapatkan musibah.” Ternyata tidak lebih dari tujuh hari muncul berita bahwa Al Husain terbunuh, maka ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Qilabah, sungguh benar apa yang beliau katakan. Inilah pilihan yang terbaik bagiku (sehingga aku tidak berperang melawan Husain bin Ali).” (Shifatush Shafwah 3/238).
*****
Kisah Abu Qilabah Al Jurmi
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam kitab Ats Tsiqat dari Abdullah bin Muhammad, ia berkata, “Suatu hari aku melakukan ribath (berjaga-jaga di perbatasan) di wilayah Arisy di negeri Mesir, lalu aku melihat sebuah kemah yang kecil, kemudian aku pergi mendatanginya untuk melihat orang yang berada di dalamnya, ternyata kulihat seorang laki-laki yang telah butung kedua tangan dan kakinya, pendengarannya kurang, dan matanya buta, namun yang masih normal hanya lisannya, ia berkata, “Ya Allah, berikanlah dorongan kepadaku untuk mensyukuri nikmat-Mu atasku dan karena Engkau telah melebihkanku di atas sekalian makhluk-Nya dengan sebenar-benarnya.” Abdullah bin Muhammad berkata, “Sungguh aneh sekali. Aku pun mendekatinya dan berkata, “Wahai saudara! Nikmat Allah yang mana yang engkau syukuri?” Ia menjawab, “Wahai saudara, diamlah! Kalau seandainya Allah mengirimkan air laut kepadaku lalu diriku tenggelam atau gunung api lalu membakarku, atau langit yang menimpaku, aku tidak mengatakan apa pun selain rasa syukur.” Abdullah berkata, “Bersyukur atas apa?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Dia telah menganugerahkan kepadaku lisan yang senantiasa berdzikr dan bersyukur. Akan tetapi wahai saudara! Aku punya seorang anak laki-laki yang senantiasa menuntunku untuk shalat, dan dia pula yang biasa menyuapkanku makanan, namun sejak tiga hari aku tidak melihatnya, maka tolong carikan dia di padang pasir.” Abdullah berkata, “Aku pun menyanggupinya dan pergi mencari anaknya di padang pasir, namun kutemukan ternyata anaknya telah tewas dimakan singa,” maka aku berkata kepada diriku, “Bagaimana caranya aku berbicara dengan orang itu dan bagaimana caranya aku menemuinya?” Aku pun datang kepadanya sambil berkata, “Wahai saudara! Sudahkah engkau mendengar kisah Ayyub?” Ia menjawab, “Ya.” Abdullah berkata, “Sesungguhnya Allah menguji dengan menghabiskan hartanya,” Ia berkata, “Ya.” Abdullah berkata, “Apa sikapnya?” Ia berkata, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Abdullah berkata, “Allah juga menguji dengan mewafatkan anak-anaknya,” Ia berkata, “Ya.” Abdullah berkata, “Apa sikapnya?” Ia berkata, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Abdullah berkata, “Allah juga mengujinya dengan penyakit pada jasadnya,” Ia berkata, “Ya.” Abdullah berkata, “Apa sikapnya?” Ia berkata, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Abu Qilabah kemudian berkata, “Sekarang katakan kepadaku, dimana anakku? Aku lapar.” Abdullah balik berkata, “Siapa yang lebih dicintai Allah; engkau ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis salam?” Ia menjawab, “Tentu saja Ayyub.” Abdullah berkata, “Berharaplah pahala terhadap musibahmu, anakmu telah dimakan binatang buas.” Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga dia akan diazab di neraka.” Ia pun menarik nafasnya dengan kuat lalu meninggal dunia. Abdullah melanjutkan kata-katanya, “Orang ini telah wafat sedangkau aku seorang diri, ya Rabbi, siapa yang mau membantuku untuk memandikan dan mengkafankannya. Apa yang haru aku lakukan? Pada saat aku berpikir demikian dan telah kututupi jasadnya dengan mantelku, tiba-tiba ada empat orang yang menunggang kuda yang datang dan berkata, “Wahai saudara! Apa yang terjadi padamu?” Abdullah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membawa kalian ke sini. Bantulah aku untuk memandikan, mengkafankan, dan menyalatkan orang ini.” Mereka berkata, “Siapa orang ini?” Abdullah berkata, “Orang asing yang aku tidak mengenalnya, dia seorang yang miskin dan kondisinya sedang sakit.” Kemudian Abdullah menceritakan keadaan orang tersebut, maka mereka berkata, “Coba buka penutup wajahnya! Mungkin saja kami mengenalinya.” Abdullah pun membuka penutup wajahnya, tiba-tiba mereka tersentak, lalu menciumnya dan menangisinya sambil berkata, “Subhaanallah. Wajah yang telah lama bersujud kepada Allah Azza wa Jalla. Mata yang telah lama menundukkan pandangan dari apa yang dilarang Allah. Tangan yang telah lama diangkat berdoa kepada Allah.” Abdullah balik bertanya, “Apakah kalian mengenal orang ini?” Mereka menjawab, “Apakah engkau tidak tahu?” Abdullah berkata, “Ya.” Mereka menjawab, “Ini adalah Abu Qilabah kawan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Orang ini pernah ditawarkan menjabat hakim oleh khalifah, lalu ia pergi dan meninggalkan jabatan itu.” Abdullah berkata, “Maka kami memandikannya, mengafaninya, menyalatkannya, dan menguburkannya. Dan mereka pun kemudian pergi. Kemudian aku kembali ke perbatasan. Maka ketika aku tidur, aku bermimpi melihat Abu Qibalah berada di surga di sebuah taman dalam keadaan memakai pakaian sutera sambil berjalan dengan terhormat dengan penampilan yanag indah dan berjalan di sana sambil membaca firman Allah Ta’ala dengan suara merdu,
سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“Keselamatan atasmu karena kesabaranmu. Surga itulah tempat yang sebaik-baiknya.” (QS. Ar Ra’d: 24)
Maka aku berkata, “Wahai saudara! Bukankah engkau temanku? Bukankah kami telah menguburmu kemarin malam?” Abu Qilabah menjawab, “Ya. Aku adalah kawanmu.” Aku pun bertanya, “Apa yang menyebabkanmu sampai ke derajat demikian, kenikmatan apa ini, dan dari mana engkau memperolehnya?” Abu Qilabah menjawab, “Sesungguhnya di surga terdapat tingkatan-tingkatan yang tidak dapat dicapai kecuali dengan bersabar ketika mendapatkan musibah dan bersyukur ketika lapang.”
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Marwan bin Musa

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger