Waktu-Waktu Shalat (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Waktu-Waktu Shalat (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan mengenai waktu-waktu shalat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Waktu Maghrib
Waktu shalat Maghrib dimulai dari sejak tenggelam matahari hingga hilangnya syafaq (cahaya merah di ufuk langit yang terlihat setelah tenggelam matahari). Dan dianjurkan pelaksanaannya di awal waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ» - أَوْ قَالَ: عَلَى الْفِطْرَةِ - مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ "
“Umatku akan senantiasa berada dalam kebaikan –atau bersabda, “Di atas fitrah- selama mereka tidak menunda waktu Maghrib sampai bintang-bintang berhamburan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim, ia menshahihkannya sesuai syarat Muslim, dan disepakati oleh Adz Dzahabi).
Rafi’ bin Khudaij berkata, “Kami pernah shalat Maghrib bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu salah seorang dari kami pulang dan ia masih bisa melihat tempat jatuh panahnya (karena masih terang).”
Tetapi bagi jamaah haji saat bermalam di Muzdalifah, maka dianjurkan ditunda shalat Maghribnya hingga dilakukan bersama shalat Isya dengan jama ta’khir.
Waktu Isya
Waktu Isya dimulai dari sejak hilangnya syafaq merah hingga tengah malam[i]. Menurut sebagian ulama, bahwa tengah malam dapat diketahui dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.  
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) melakukan shalat Isya antara tenggelam syafaq sampai sepertiga malam pertama (HR. Bukhari).
Dianjurkan pelaksanaannya ditunda sampai akhir waktu pilihan selama tidak menyusahkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا العِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Kalau bukan karena aku khawatir menyusahkan umatku, tentu aku suruh mereka menunda shalat Isya sampai sepertiga malam atau separuhnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dishahihkan oleh Tirmidzi dan Al Albani)
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, “Kami pernah shalat Isya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Beliau belum juga keluar sehingga berlalu hampir separuh malam, lalu Beliau (datang) dan bersabda,
«خُذُوا مَقَاعِدَكُمْ»
“Buatlah barisan untuk shalat.”
Maka kami membuat barisan, lalu Beliau bersabda,
«إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا وَأَخَذُوا مَضَاجِعَهُمْ وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلَاةَ وَلَوْلَا ضَعْفُ الضَّعِيفِ وَسَقَمُ السَّقِيمِ لَأَخَّرْتُ هَذِهِ الصَّلَاةَ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ»
“Sesungguhnya sebagian manusia telah shalat dan telah mendatangi tempat tidur mereka, namun kalian senantiasa berada dalam shaat ketika menunggu pelaksanaan shalat. Kalau bukan karena orang yang lemah dan orang yang sakit, tentu aku tunda shalat sampai separuh malam.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Ibnu Khuzaimah. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Pada suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda shalat Isya hingga sebagian besar malam berlalu (sebelum tengah malam), sampai membuat orang yang berada di masjid tertidur, kemudian Beliau keluar dan melakukan shalat, Beliau kemudian bersabda,
إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
“Sesungguhnya inilah waktunya jika aku tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat diketahui, bahwa pelaksanaan shalat Isya lebih utama dita’khirkan, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak rutin melakukannya adalah karena khawatir memberatkan umatnya, karena Beliau memperhatikan keadaan para makmum; terkadang Beliau menyegerakan dan terkadang menunda. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالهَاجِرَةِ، وَالعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ، وَالمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ، وَالعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا، إِذَا رَآهُمُ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَؤُوا أَخَّرَ، وَالصُّبْحَ كَانُوا - أَوْ كَانَ - النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Zhuhur di saat terik matahari menyengat (setelah tergelincirnya matahari), melakukan shalat Ashar sedangkan matahari dalam keadaan bersih (belum menguning), melakukan shalat Maghrib ketika matahari tenggelam, dan melakukan shalat Isya terkadang segera dan terkadang menunda. Ketika Beliau melihat para sahabat telah berkumpul, maka Beliau menyegerakan, dan ketika Beliau melihat mereka menundanya, maka Beliau menunda pelaksanaannya, dan mereka (para sahabat) atau Nabi shallallahu ‘laihi wa sallam melaksanakan shalat Subuh ketika gelapnya malam masih tersisa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dimakruhkan tidur sebelum shalat Isya serta melakukan obrolan setelahnya yang tidak ada maslahat. Hal ini berdasarkan hadits Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka tidur sebelum shalat Isya dan tidak suka melakukan obrolan setelahnya. (HR. Bukhari dan Muslim) dan berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukan obrolan setelah Isya.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)
Sebab dimakruhkannya tidur sebelum shalat Isya dan melakukan obrolan setelahnya adalah karena tidur terkadang membuat seseorang tertinggal dari melakukan shalat pada waktu yang dianjurkan atau tertinggal dari shalat Jamaah, sebagaimana melakukan obrolan dapat membuat tidak tidur di malam hari sehingga dapat membuat hilangnya berbagai faedah. Tetapi jika seorang ingin tidur (sebelum Isya) dan di dekatnya ada orang yang akan membangunkannya, atau pembicaraannya berisi kebaikan, maka tidak makruh. Hal ini berdasarkan hadits berikut,
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam pernah melakukan obrolan bersama Abu Bakar membahas salah satu urusan kaum muslimin, dan aku ikut menyertainya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan ia menghasankannya).
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Pada suatu malam aku pernah tidur di rumah Maimunah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sisinya. Hal itu kulakukan untuk melihat bagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan obrolan dengan istrinya sesaat (beberapa lama), kemudian tidur.” (HR. Muslim)
Waktu Subuh
Waktu Subuh dimulai dari terbit fajar hingga terbit matahari (syuruq), dan dianjurkan di awal waktu ketika fajar telah benar-benar menyingsing.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Mas’ud Al Anshari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika shalat Subuh ketika suasana masih gelap, pada kesempatan yang lain Beliau melakukan shalat Subuh ketika pagi semakin terang, namun selanjutnya Beliau biasa melakukan shalat ketika suasana masih gelap hingga wafat, dan tidak mengulangi lagi melakukan shalat ketika Subuh mulai terang. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Mereka kaum wanita mukminah hadir shalat Subuh bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan pakaian mereka, dan mereka pulang ke rumah setelah shalat ditunaikan, namun tidak ada seorang pun yang mengenali mereka karena gelap.” (HR. Jamaah)
Adapun hadits Rafi’ bin Khudaij yang menerangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَصْبِحُوْا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُوْرِكُمْ ، وفي رواية: أَسْفِرُوْا بِاْلفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ.
“Berpagi-pagilah melakukan shalat Subuh, karena yang demikian dapat membesarkan pahala kalian.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Lakukanlah shalat Subuh ketika suasana telah terang, karena hal itu dapat membesarkan pahala.” (HR. Lima orang Ahli Hadits dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
maka maksudnya adalah agar selesai shalatnya ketika suasana telah terang, bukan mulainya, yaitu dengan cara melamakan bacaannya sehingga selesai shalat suasana sudah semakin terang sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau membaca pada shalat Subuh 60 sampai 100 ayat. Atau bisa juga maksudnya, melakukan shalat Subuh ketika fajar telah benar-benar menyingsing dan tidak  melakukannya hanya bersandar pada perkiraan saja.
Mendapatkan satu rakaat dari waktu shalat
Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat sebelum habisnya waktu, maka dia telah mendapatkan shalat itu. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ»
“Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat dari suatu shalat, maka dia telah mendapatkan shalat.” (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Hal ini mencakup semua shalat. Dalam Shahih Bukhari disebutkan,
«إِذَا أَدْرَكَ أَحَدُكُمْ سَجْدَةً مِنْ صَلاَةِ العَصْرِ، قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَلْيُتِمَّ صَلاَتَهُ، وَإِذَا أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَلْيُتِمَّ صَلاَتَهُ»
“Jika salah seorang di antara kamu mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari tenggelam, maka sempurnakanlah shalatnya. Dan jika ia mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka sempurnakanlah shalatnya.”
Zhahir hadits-hadits tersebut menunjukkan, bahwa barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Subuh atau Ashar, maka tidak makruh baginya melakukan shalat baik ketika matahari terbit maupun ketika matahari tenggelam meskipun kedua waktu itu adalah waktu makruh, dan bahwa shalat terebut dianggap bentuk adaa (pelaksanaan bukan qadha) ketika mendapatkan satu rakaat secara sempurna. Meskipun demikian, tidak boleh sengaja menunda shalat sampai waktu ini.
Ketiduran dari shalat atau lupa
Barang siapa yang tertidur dari shalat atau lupa, maka waktunya adalah saat ia ingat. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qatadah, ia berkata, “Para sahabat menyebutkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tertidurnya mereka sampai belum shalat, maka Beliau bersabda,
«إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي اليَقَظَةِ، فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
“Sesungguhnya tidur itu tidak termasuk meremehkan. Sesungguhnya meremehkan terjadi ketika sadar. Jika salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah saat ia ingat.” (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, ia menshahihkannya)
Disebutkan pula dari Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ»
“Barang siapa yang lupa shalat, maka hendaklah ia shalat saat ingat. Tidak ada penebusnya selain itu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dari Imran bin Hushain ia berkata, “Kami pernah berjalan di malam hari bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallan. Saat berada di akhir malam kami berhenti sejenak untuk istirahat, ternyata kami bangun saat terkena panas matahari, sehingga salah seorang di antara kami bangun dalam keadaan terkejut dan langsung mendatangi air untuk bersuci. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk diam sejenak lalu berangkat lagi. Kami pun berangkat, dan ketika matahari telah meninggi, Beliau berwudhu dan memerintahkan Bilal untuk azan, lalu shalat dua rakaat sebelum Fajar, kemudian Bilal iqamat, maka Beliau shalat mengimami kami.” (HR. Ahmad dan lain-lain)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, wa akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil ’alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhussunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[i] Menurut penyusun Fiqhussunnah, waktu boleh dan darurat terus berlangsung sampai terbit fajar. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qatadah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى
“Ketahuilah, sesungguhnya tertidur tidaklah termasuk meremehkan. Orang yang meremehkan adalah orang yang tidak shalat hingga tiba waktu shalat berikutnya.” (HR. Muslim)
Hadits yang telah disebutkan tentang waktu-waktu shalat menunjukkan, bahwa waktu masing-masing shalat berlangsung hingga masuk waktu shalat berikutnya, selain shalat Subuh, maka tidak berlanjut sampai Zhuhur, karena para ulama sepakat, bahwa waktunya berakhir sampai terbbit matahari.”

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger