Kaum Salaf dan Kehati-Hatian Mereka Dalam Berfatwa

بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf dan Kehati-Hatian Mereka Dalam Berfatwa
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum Salaf dalam kehati-hatian mereka ketika berfatwa yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil dan I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Keteladanan kaum salaf dalam kehati-hatian mereka ketika berfatwa
Imam Malik berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah imamnya kaum muslimin dan pemimpin umat manusia, namun ketika Beliau ditanya tentang sesuatu, maka Beliau tidak langsung menjawabnya sampai datangnya wahyu dari langit.” (Al Adabusy Syar’iyyah 2/58)
Dari Nafi’, bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Ibnu Umar tentang suatu permasalahan, lalu Beliau menundukkan kepalanya dan tidak menjawab, sehingga orang-orang mengira bahwa Beliau tidak mendengar pertanyaan itu, lalu laki-laki itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu, tidakkah engkau mendengar pertanyaanku?” Ibnu Umar menjawab, “Aku sudah mendengar. Akan tetapi kamu mengira bahwa Allah Ta’ala tidak akan mempertanggungjawabkan jawaban kami terhadap pertanyaan yang kamu ajukan. Tinggalkanlah kami, semoga Allah merahmatimu sampai kami dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaanmu jika memang kami memiliki jawaban. Jika tidak, maka kami beritahukan kepadamu, bahwa kami tidak memiliki ilmu terhadap masalah itu.” (Shifatush Shofwah 1/566)
Abdullah bin Al Mubarak berkata, “Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Atha bin As Sa’ib dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata, “Aku menemui 120 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – (Atha bin as Sa’ib berkata): aku melihatnya (Ibnu Abi Laila) berkata di masjid-, namun tidak ada seorang pun dari kalangan mereka yang menyampaikan hadits kecuali ingin kalau saudaranya sudah mewakilinya, dan tidak ada seorang pun dari kalangan mereka yang berfatwa kecuali ingin kalau saudaranya sudah mewakilinya.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/27)
Dari Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memiliki majlis ilmu untuk para jamaah haji. Suatu ketika aku mendatangi majlis Ibnu Abbas, dan pada waktu yang lain aku mendatangi majlis Ibnu Umar. Ibnu Abbas biasa menjawab dan berfatwa terhadap masalah yang diajukan kepadanya, sedangkan Ibnu Umar sering mengelak daripada menjawab pertanyaan.” (Siyar A’lamin Nubala 3/222).
Dari Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhri, telah sampai kepada kami bahwa Zaid bin Tsabit ketika ditanya tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah hal ini terjadi?” Jika orang-orang memberitahukan benar terjadi, maka ia menjawab dengan ilmu yang diketahuinya. Tetapi jika orang-orang memberitahukan belum terjadi, maka Zaid berkata, “Tinggalkanlah pertanyaan itu sampai benar-benar terjadi.” (Siyar A’lamin Nubala 2/438)
Dari Musa bin Ulayya bin Rabaah, dari ayahnya, ia berkata, “Zaid bin Tsabit jika ditanya seseorang tentang suatu permasalahan, maka ia berkata, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah hal ini terjadi?” Jika orang itu mengatakan, “Ya,” maka Zaid menjawab, dan jika orang itu mengatakan “tidak terjadi,” maka Zaid tidak menjawab.” (Siyar A’lamin Nubala 2/438)
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Ilmu itu ada tiga, yaitu kitabullah yang berbicara, sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah berlalu, dan ucapan “Laa adriy” (artinya: saya tidak tahu).” (I’lamul Muwaqqi’in 1/47)
Disebutkan, bahwa Imam Malik pernah ditanya 40 pertanyaan oleh orang yang datang jauh dari Afrika Utara, namun dari 40 pertanyaan itu, hanya 6 pertanyaan saja yang bisa dijawabnya, sedangkan sisanya dijawab, “saya tidak tahu.” Orang yang bertanya pun kecewa dan berkata, “Aku datang kepadamu dari tempat ini dan itu, namun engkau malah mengatakan, “Saya tidak tahu.” Maka Imam Malik pun berkata, “Naikilah tungganganmu dan kembalilah ke kampungmu. Katakanlah kepada orang-orang di sana, “Aku bertanya kepada Malik, tetapi ia menjawab, “Saya tidak tahu.”
Abu Dawud berkata dalam Masa’ilnya, “Aku tidak bisa menghitung berapa kali Imam Ahmad menjawab “Aku tidak tahu,” ketika ditanya tentang berbagai masalah yang diperselisihkan.” Abu Dawud berkata lagi, “Aku juga mendengar Beliau (Imam Ahmad) pernah berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang paling bagus fatwanya daripada Ibnu Uyaynah, namun ia paling ringan mengucapkan, “Saya tidak tahu.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/27)
Abdullah bin Ahmad berkata, “Aku sering mendengar ayahku ketika ditanya berbagai masalah, ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Beliau juga berdiam diri jika masalahnya diperselisihkan, bahkan sering sekali berkata, “Bertanyalah kepada selainku.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/27)
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id, ia berkata, “Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya orang yang selalu berfatwa kepada manusia terhadap semua yang ditanyakan kepadanya adalah orang yang gila.”
Jabir bin Zaid berkata, “Ibnu Umar pernah menemuiku dan berkata, “Wahai Jabir, sesungguhnya engkau termasuk Ahli Fiqh Basrah dan orang yang diminta fatwanya, maka janganlah kamu sekali-kali berfatwa kecuali dengan kitabullah yang berbicara atau sunnah yang telah berlalu.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/47)
Ahmad bin Muhammad bin Al Azhar berkata, “Aku mendengar Utsman bin Sa’id Ad Darimiy berkata, “Muhammad bin Al Husain As Sijzi pernah datang kepadaku. Sebelumnya ia telah mencatat ilmu dari Yazid bin Harun dan Ja’far bin ‘Aun, lalu ia berkata, “Wahai Abu Sa’id! Sesungguhnya  orang-orang berdatangan kepadaku untuk bertanya dan memintaku menjawab pertanyaan mereka, aku khawatir tidak bisa menolak permintaan mereka.” Aku pun bertanya, “Memangnya kenapa?” Ia menjawab, “Yaitu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diikat dengan tali kekang api neraka.”[i]
Aku menanggapi, “Sesungguhnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditujukan untuk orang yang mengetahui suatu ilmu, sementara engkau tidak mengetahuinya.” (Shifatush Shofwah 2/89)
Dari Ayyub, ia berkata, “Aku mendengar Al Qasim pernah ditanya di Mina, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu, aku tidak memiliki ilmu terhadapnya.” Saat mereka banyak membicarakan dirinya, maka Al Qasim berkata, “Demi Allah, kami tidak mengetahui jawaban terhadap semua permasalahan yang kalian sampaikan. Kalau sekiranya kami mengetahui, tentu  kami tidak akan menyembunyikannya kepada kalian dan menyembunyikan itu tidak halal bagi kami.”
Dari Yahya bin Sa’id, ia berkata, “Aku mendengar Al Qasim berkata, “Kami tidak mengetahui setiap permasalahan yang diajukan kepada kami. Sungguh, seseorang hidup dalam keadaan tidak tahu setelah mengetahui hak Allah Ta’ala yang wajib dipenuhinya masih lebih baik daripada berkata tanpa ilmu.” (Shifatush Shofwah 2/89)
Nasihat-Nasihat Suhnun
Suhnun bin Sa’id berkata, “Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling dangkal ilmunya; yaitu ketika di sisinya ada satu ilmu terhadap suatu masalah, lalu ia mengira bahwa kebenaran ada semua ada pada dirinya.”
Suhnun juga berkata, “Sebagian ulama terdahulu ingin menyampaikan sepatah kalimat -yang jika ia sampaikan tentu banyak orang yang dapat mengambil manfaat darinya-, tetapi ia tahan terlebih dahulu dan tidak menyampaikannya karena khawatir membuatnya ujub (bangga diri). Tetapi jika diamnya membuatnya ujub, maka ia akan menyampaikannya. Mereka juga berkata, “Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling dangkal ilmunya.” (Siyar A’lamin Nubala 12/66)
Suhnun pernah ditanya, “Apakah boleh bagi seorang alim mengatakan “saya tidak tahu” dalam masalah yang ia ketahui?” Ia menjawab, “Setiap yang ada dalilnyanya dalam Al Qur’an atau As Sunnah, maka jelas tidak boleh. Tetapi jika timbul dari pendapat semata, maka boleh baginya, karena ia tidak tahu, apakah pendapatnya itu benar atau salah.” (Siyar A’lamin Nubala 12/65)
Disebutkan, bahwa ada seorang gubernur bernama Ziyadatullah mengutus seseorang menemui Suhnun untuk bertanya tentang suatu masalah, tetapi Suhnun tidak menjawabnya, lalu Muhammad bin Ubdus berkata kepadanya, “Keluarlah kamu dari negeri ini! Kemarin kamu pulang shalat bermakmun kepada hakim mereka, dan sekarang kamu tidak menjawab mereka.” Suhnun menanggapi, “Apakah aku perju menjawab orang yang hanya bermaksud bermain-main; ia hanya sekedar mengambil pendapatku dan pendapat selainku. Kalau maksudnya adalah untuk keperluan agama ini, tentu aku akan menjawab.” (Siyar A’lamin Nubala 12/66).
Nasihat Ibnul Qayyim
Ibnul Qayyim berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in (1/53), “Pendapat itu ada tiga, yaitu: (1) pendapat yang batil tanpa diragukan lagi, (2) pendapat yang shahih (benar), (3) pendapat yang masih ada kesamaran. Tiga pendapat ini telah diisyaratkan kaum salaf. Mereka mengutamakan pendapat yang shahih, mengamalkannya, berfatwa dengannya, dan mempersilahkan berpendapat dengannya. Mereka juga mencela pendapat yang batil, melarang untuk mengamalkannya, berfatwa, dan memutuskan dengannya. Bahkan mereka mengarahkan kritikan lisan mereka terhadap pendapat (yang batil) dan orang-orang yang mengutamakannya. Sedangkan pendapat yang ketiga (yang masih samar), maka mereka mempersilahkan untuk diamalkan, berfatwa, dan memutuskan dengannya ketika darurat karena tidak ada yang lain, namun mereka tidak memaksa orang lain mengamalkannya, tidak mengharamkan kebalikannya, serta tidak menganggap orang yang menyelisihinya berarti menyelisihi agama, bahkan kesimpulannya adalah bahwa mereka diberi pilihan antara menerima atau menolaknya.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/53).
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab  Aina Nahnu min Akhlaqis salaf dan I’lamul Muwaqqi’in oleh Marwan bin Musa


[i] HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger