بسم
الله الرحمن الرحيم
Bahaya Bid’ah Dalam Islam
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
pembahasan tentang bahaya Bid'ah dalam Islam, semoga Allah Azza wa Jalla
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Ta'rif (definisi) bid'ah
Bid'ah
secara bahasa artinya sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun
secara syara', bid'ah artinya sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa
dasar dalil.
Menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bid’ah adalah sesuatu yang
menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma salaful ummah berupaka akidah dan
ibadah.
Perintah melakukan ittiba (mengikuti
Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam) dan larangan berbuat bid’ah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Qs. Ali Imran: 31)
Al
Hasan Al Bashriy rahimahullah berkata, “Sebagian orang menganggap bahwa mereka
cinta kepada Allah, maka Allah uji mereka dengan ayat ini, Dia berfirman, “Katakanlah
(Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku.”
Kita semua tentu cinta kepada Allah Azza wa
Jalla, maka di ayat tersebut Allah menguji kita, yakni jika kita betul-betul
cinta kepada Allah, maka buktikan kecintaan itu dengan mengikuti Nabi-Nya
shallallahu alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ،
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Kalian harus berpegang dengan Sunnahku dan
sunnah para khalifah yang mendapatan petunjuk. Berpeganglah dengannya dan
gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakakan,
karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(Hr. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dishahihkan oleh Al
Albani dalam Shahihul Jami no. 2549)
Hadits ini memerintahkan kita untuk
mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan mengikuti jalan
atau cara beragama para sahabat radhiyallahu anhum, dimana jalan mereka adalah
ittiba (mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam) dan menjauhi ibtida
(berbuat bid’ah). Di dalamnya juga terdapat larangan berbuat bid’ah dalam agama.
Perlu kita ketahui, bahwa Allah Azza wa
Jalla telah menyempurnakan agama ini, dan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam
telah menyampaikan seluruhnya tanpa ada yang Beliau sembunyikan. Kewajiban kita
adalah mengikuti Beliau dan melaksanakan apa yang Beliau sampaikan. Imam Az
Zuhri rahimahullah berkata, “Risalah dari Allah, kewajiban Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan, dan kewajiban kita adalah tunduk dan
menerima.”
Jika kita mengadakan sesuatu yang baru
dalam agama yang Beliau bawa, maka hal ini sama saja kita menganggap bahwa
Beliau belum menyampaikannya secara sempurna dan menganggap bahwa agama Islam
masih belum sempurna sehingga perlu ditambah dan disempurnakan, padahal Allah
Azza wa Jalla berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah: 3)
Imam Malik bin Anas rahimahullah
berkata,
مَنِ ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا
حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ محمداً - صلى الله عليه وآله وسلم - خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} [المائدة: ٣ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلاَ يَكُوْنُ
الْيَوْمَ دِيْناً
“Barang siapa yang mengadakan bid’ah dalam
Islam yang dipandangnya baik, maka sama saja dia menyangka bahwa Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam telah mengkhianati risalahnya, karena Allah Ta’ala
berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” Oleh
karena itu, pada saat itu tidak termasuk bagian agama, sekarang pun sama tidak
termasuk bagian agama.” (Al I’tisham 1/54)
Relakah kita jika menganggap agama Islam
belum sempurna dan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam belum
menyampaikan risalahnya secara sempurna sehingga perlu ditambah-tambah? Seperti
inilah pada hakikatnya berbuat bid’ah dalam agama. Dari sini kita ketahui buruk
dan bahayanya bid’ah dalam agama.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan
sanadnya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Yahudi
yang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat yang kalian
baca dalam kitab kalian, jika seandainya turun kepada kami kaum Yahudi tentu
kami jadikan hari itu sebagai hari raya.” Umar bertanya, “Ayat apa itu?” Ia
menjawab,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah: 3)
Maka Umar berkata, “Kami ingat hari itu dan
tempat turunnya ayat itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu ketika
Beliau berdiri di Arafah pada hari Jumat.”
Perhatikanlah! Allah Azza wa Jalla
menerangkan kepada kita bahwa agama Islam telah sempurna. Orang-orang Yahudi
ingin sekali kalau sekiranya ayat itu turun kepada mereka sehingga mereka
menjadikannya hari raya, karena mereka tahu akan besarnya nikmat ini, yakni
nikmat disempurnakan agama; tidak butuh lagi penambahan. Akan tetapi anehnya
sebagian kaum muslimin menolak kesempurnaan agama ini, sehingga mereka
menambah-nambah dalam agama ini dan mereka mengira bahwa hal itu dapat menambah
kebaikan mereka serta semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah Azza wa
Jalla. Padahal jalan Allah begitu jelas, yaitu yang telah disebutkan dalam Al
Qur’an dan As Sunnah. Inilah jalan yang mendekatkan kita kepada Allah Azza wa
Jalla, selain jalan itu tidak mendekatkan diri kita kepada-Nya, termasuk di
dalamnya jalan yang dibuat-buat dalam agama ini yang tidak diterangkan Allah
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Hukum Berbuat Bid’ah
Berbuat bid’ah dalam agama hukumnya haram,
karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah oleh kalian perkara yang
diada-adakakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 2549)
Adakah bid’ah Hasanah (yang baik)?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» وَلِلنَّسَائِيِّ: - وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي اَلنَّارِ
-
“Amma ba’du (adapun selanjutnya), sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Nabi Muhammad shallallahu alaihi was allam. Seburuk-buruk perkara adalah yang
diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Muslim. Dalam riwayat
Nasa’i ditambahkan, “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”)
Hadits ini menunjukkan bahwa semua bid’ah
adalah sesat, tidak ada yang hasanah (baik). Bid’ah yang sesat ini adalah dalam
urusan agama sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang siapa yang mengadakan dalam urusan
agama kami sesuatu yang bukan darinya, maka sesuatu yang diadakan itu
tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas'ud berkata,
"Ikutilah dan jangan mengada-ada. Kalian telah dicukupi, dan setiap bid'ah
adalah sesat."
Abdullah bin Umar berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
"Setiap bid'ah adalah sesat meskipun
manusia menganggapnya baik."
Adapun dalam urusan dunia, maka silahkan
seseorang berkreasi, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
“Kalian lebih tahu tentang urusan duniamu.”
(Hr. Muslim)
Beliau juga bersabda,
«إِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ،
فَشَأْنُكُمْ بِهِ، وَإِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ، فَإِلَيَّ»
“Jika terkait urusan duniamu, maka itu
urusan kalian, tetapi jika terkait urusan agama, maka dikembalikan kepadaku.”
(Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Imam baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang
shahih bahwa Sa’id bin Musayyib melihat ada seorang yang melakukan shalat dalam
jumlah rakaat yang banyak setelah azan Subuh, dimana dia mengira bahwa dengan
melakukan banyak rakaat dapat menambah kebaikannya, maka Sa’id bin Musayyib
melarangnya, tetapi dia balik berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan
mengazabku karena shalat ini?!” Sa’id bin Musayyib menjawab, “Tidak. Akan
tetapi Allah akan mengazabmu karena telah menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya)
Dua kaidah dalam beragama dan syarat
diterimanya amal
Ada dua kaidah penting dalam beragama yang
perlu kita ingat, yaitu:
Pertama,
اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ
وَالْحِلُّ
Asal dalam urusan duniawi adalah
boleh dan halal.
Berdasarkan kaidah ini, maka dalam perkara
duniawi, kita tidak perlu tanyakan mana dalil akan kehalalalannya karena pada
dasarnya adalah halal.
Dalil kaidah ini adalah firman Allah
Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah yang menciptakan untuk kamu semua
yang ada di muka bumi.” (Qs. Al Baqarah: 29)
Kedua,
اَلْأَصْلُ فِى فِى الْعِبَادَةِ
الْحَرَامِ وَالْمَنْعُ
Asal dalam urusan agama adalah haram
dan terlarang.
Berdasarkan kaidah ini, maka dalam urusan
agama atau ibadah, kita harus tanyakan dalil disyariatkannya karena hukum
asalnya adalah haram.
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mengadakan dalam urusan
agama kami sesuatu yang bukan darinya, maka sesuatu yang diadakan itu
tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa amal
yang tidak didasari dalil atau amalan bid’ah adalah tertolak, karena syarat
diterimanya amal ada dua, yaitu: Ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.
Dalil ikhlas adalah sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam,
«إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ
إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»
“Sesungguhnya Allah hanya menerima amal
yang ikhlas karena-Nya dan mencari keridhaan-Nya.” (Hr. Nasa’i, dishahihkan
oleh Al Albani)
Sedangkan dalil mengikuti tuntunan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam adalah sabda Beliau,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang
tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak.” (Hr. Muslim)
Dengan demikian apabila seseorang
mengerjakan suatu amal atau ibadah meskipun banyak dan memakan waktu yang lama serta
bersusah payah di dalamnya serta bermaksud mendekatkan diri kepada Allah Azza
wa Jalla dengan amalnya itu, namun jika tidak ada tuntunannya dalam Al Qur’an dan
As Sunnah, maka amal ini akan sia-sia.
Bahaya Bid’ah
Para ulama memperingatkan bid’ah karena bid’ah
lebih berbahaya daripada maksiat.
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,
اْلبِدْعَةُ
أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ. الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ
يُتَابُ مِنْهَا "
"Bid'ah lebih disukai Iblis daripada
maksiat. Terhadap Maksiat, pelakunya mau bertaubat daripadanya. Namun terhadap
bid'ah, maka pelakunya tidak mau bertaubat daripadanya (karena merasa di atas
kebenaran)."
(Syarh Ushulus Sunnah karya Al
Lalikai 1/149)
Perbuatan maksiat sudah diketahui
keburukannya sehingga banyak orang yang bertaubat daripadanya. Berbeda dengan
bid’ah, para pelakunya merasa bahwa dirinya berada di atas kebenaran, sehingga
mereka tetap berada di atasnya dan tidak mau bertaubat.
Di dalam bid’ah juga terdapat bentuk
menentang syariat, menganggap agama Islam belum sempurna, menganggap Nabi
shallallahu alaihi wa sallam belum menyampaikan syariat secara sempurna, menganggap
bahwa ajaran yang dibuatnya lebih baik daripada syariat Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Bagaimana cara menjauhi bid’ah?
Setelah kita mengetahui bahaya bid’ah, maka
bagaimana cara menjauhi bid’ah?
Sebelum seseorang beramal, maka hendaknya
dia memperhatikan dua hal:
Pertama, hatinya.
Maksudnya adalah apa niatnya melakukan suatu amal? Apakah karena Allah atau
karena manusia, apakah karena mencari keridhaan Allah atau karena mencari
dunia. Jika karena Allah, karena mencari keridhaan-Nya, agar semakin dekat
dengan-Nya, dan ingin mendapatkan pahala dari-Nya, maka berarti niatnya sudah
benar. Tetapi jika niatnya karena manusia, ingin mendapatkan pujian mereka,
atau karena dunia yang ia inginkan, maka amalnya akan sia-sia. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى
“Sesungguhnya amal tergantung niat, dan
seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Kedua, amalnya.
Maksudnya adalah adakah dalil bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan atau melakukannya? Jika ada
dalilnya, maka lakukan. Jika tidak ada, maka jangan lakukan, karena Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan amalan
yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak.” (Hr. Muslim)
Bagaimana jika ragu-ragu atau belum jelas?
Jawabnya ‘tunggu dulu sampai yakin dan jelas hukumnya’. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
اَلْحَلَالَ بَيِّنٌ, وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ, وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ,
لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ, فَقَدِ
اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada
masalah-masalah yang samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang
siapa yang menjaga dirinya dari syubhat, maka sungguh ia telah memelihara agama
dan kehormatannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam
hal ini seseorang bisa bertanya kepada Ahli Ilmu atau ulama. Allah Azza wa
Jalla berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka
bertanyalah kepada Ahli Ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)
Imam Al Ghazali rahimahullah berkata, “Jika
engkau memang yakin bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah
utusan Allah, maka pasang telingamu di hadapan lisannya dan jangan dengar
(ikut) yang lain, serta lihat oleh matamu pribadi Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, inilah keselamatan.”
Maksudnya adalah jika kita ingin
keselamatan, maka dengarlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan
lihatlah perbuatan Beliau. Dengan cara ini pula kita dapat menjauhi bid’ah.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
“Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”
Ia juga berkata, "Kaum
muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena
pendapat seseorang."
Pembagian bid'ah dari segi tingkatannya
Bid’ah dari sisi tingkatannya ada dua,
yaitu:
1.
Bid’ah Mukaffirah, yaitu bid’ah yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari
Islam. Contohnya, bid’ah kaum Syi’ah Rafidhah, bid’ahnya orang-orang yang
menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, dsb.
2.
Bid’ah
Mufassiqah, yaitu bid’ah yang menyebabkan
pelakunya berdosa namun tidak keluar dari Islam. Contoh: Bid’ahnya dzikr secara
jama’i dan bid’ahnya mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban untuk beribadah.
Pembagian dan Bentuk Bid’ah
Bid’ah terbagi dua:
Pertama, Bid’ah
Qauliyyah I’tiqadiyyah (yang terkait pernyataan dan akidah). Misalnya
bid’ah kaum Syi’ah Rafidhah, Khawarij, Jahmiyyah, Qadariyyah, Mu’tazilah,
Murji’ah, dsb.
Bid’ah besar ini (terkait akidah) dahulu
muncul dari empat wilayah, yaitu Kufah[i],
Basrah[ii],
Syam[iii],
dan Khurasan[iv].
Dari Kufah muncul bid’ah Syi’ah
Rafidhah (yang mengkafirkan sebagian besar para sahabat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam), Murji’ah (yang mengeluarkan
perbuatan dari cakupan iman), dan lainnya.
Dari Basrah muncul bid’ah Qadariyyah
(yang mengingkari takdir), Mu’tazilah (yang mendahulukan akal di
atas wahyu, mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengatakan Al Qur'an se’agai
makhluk), dan lainnya.
Dari Syam muncul bid’ah Nawashib
(yang memusuhi Ahlul Bait) dan lainnya.
Dari Khurasan muncul bid’ah Jahmiyyah
(yang mengatakan Al Qur’an sebagai makhluk dan meniadakan nama-nama dan sifat
Allah Azza wa Jalla), dan semisalnya.
Adapun Madinah, maka tidak muncul di sana
bid’ah terkait Ushul atau akidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun
Madinah Nabawiyyah, maka selamat dari muncunya bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun
ada orang yang melakukannya namun menyembunyikannya sehingga keadaannya menjadi
terhina dan tercela.”
Kedua, Bid’ah
fil Ibadat (bid’ah terkait ibadah). Bid’ah terkait ibadah sangat banyak
bentuknya, di antaranya:
1. Mengadakan ibadah yang baru. Misalnya
mengadakan shalat atau puasa tertentu.
2. Menambah pada ibadah yang ada dasarnya,
seperti melakukan shalat Isya lima rakaat.
3. Melakukan ibadah dengan kaifiyat atau
sifat yang baru. Misalnya membaca dzikir dengan cara menggoyang-goyang kepala.
4. Mengkhususkan waktu tertentu dengan
ibadah yang tidak didasari dalil, atau mengkhususkan suatu ibadah pada waktu
tertentu. Misalnya mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah.
Wallahu a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar