Bahaya Bid’ah Dalam Islam

 

بسم الله الرحمن الرحيم



Bahaya Bid’ah Dalam Islam

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut pembahasan tentang bahaya Bid'ah dalam Islam, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Ta'rif (definisi) bid'ah

Bid'ah secara bahasa artinya sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun secara syara', bid'ah artinya sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa dasar dalil.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma salaful ummah berupaka akidah dan ibadah.

Perintah melakukan ittiba (mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam) dan larangan berbuat bid’ah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)

Al Hasan Al Bashriy rahimahullah berkata, “Sebagian orang menganggap bahwa mereka cinta kepada Allah, maka Allah uji mereka dengan ayat ini, Dia berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku.”

Kita semua tentu cinta kepada Allah Azza wa Jalla, maka di ayat tersebut Allah menguji kita, yakni jika kita betul-betul cinta kepada Allah, maka buktikan kecintaan itu dengan mengikuti Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Kalian harus berpegang dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatan petunjuk. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 2549)

Hadits ini memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan mengikuti jalan atau cara beragama para sahabat radhiyallahu anhum, dimana jalan mereka adalah ittiba (mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam) dan menjauhi ibtida (berbuat bid’ah). Di dalamnya juga terdapat larangan berbuat bid’ah dalam agama.

Perlu kita ketahui, bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini, dan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam telah menyampaikan seluruhnya tanpa ada yang Beliau sembunyikan. Kewajiban kita adalah mengikuti Beliau dan melaksanakan apa yang Beliau sampaikan. Imam Az Zuhri rahimahullah berkata, “Risalah dari Allah, kewajiban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan, dan kewajiban kita adalah tunduk dan menerima.”

Jika kita mengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang Beliau bawa, maka hal ini sama saja kita menganggap bahwa Beliau belum menyampaikannya secara sempurna dan menganggap bahwa agama Islam masih belum sempurna sehingga perlu ditambah dan disempurnakan, padahal Allah Azza wa Jalla berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah: 3)

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

مَنِ ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ محمداً - صلى الله عليه وآله وسلمخَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} [المائدة: ٣ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْناً

“Barang siapa yang mengadakan bid’ah dalam Islam yang dipandangnya baik, maka sama saja dia menyangka bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah mengkhianati risalahnya, karena Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” Oleh karena itu, pada saat itu tidak termasuk bagian agama, sekarang pun sama tidak termasuk bagian agama.” (Al I’tisham 1/54)

Relakah kita jika menganggap agama Islam belum sempurna dan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam belum menyampaikan risalahnya secara sempurna sehingga perlu ditambah-tambah? Seperti inilah pada hakikatnya berbuat bid’ah dalam agama. Dari sini kita ketahui buruk dan bahayanya bid’ah dalam agama.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Yahudi yang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat yang kalian baca dalam kitab kalian, jika seandainya turun kepada kami kaum Yahudi tentu kami jadikan hari itu sebagai hari raya.” Umar bertanya, “Ayat apa itu?” Ia menjawab,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah: 3)

Maka Umar berkata, “Kami ingat hari itu dan tempat turunnya ayat itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu ketika Beliau berdiri di Arafah pada hari Jumat.”

Perhatikanlah! Allah Azza wa Jalla menerangkan kepada kita bahwa agama Islam telah sempurna. Orang-orang Yahudi ingin sekali kalau sekiranya ayat itu turun kepada mereka sehingga mereka menjadikannya hari raya, karena mereka tahu akan besarnya nikmat ini, yakni nikmat disempurnakan agama; tidak butuh lagi penambahan. Akan tetapi anehnya sebagian kaum muslimin menolak kesempurnaan agama ini, sehingga mereka menambah-nambah dalam agama ini dan mereka mengira bahwa hal itu dapat menambah kebaikan mereka serta semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah Azza wa Jalla. Padahal jalan Allah begitu jelas, yaitu yang telah disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Inilah jalan yang mendekatkan kita kepada Allah Azza wa Jalla, selain jalan itu tidak mendekatkan diri kita kepada-Nya, termasuk di dalamnya jalan yang dibuat-buat dalam agama ini yang tidak diterangkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Hukum Berbuat Bid’ah

Berbuat bid’ah dalam agama hukumnya haram, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 2549)

Adakah bid’ah Hasanah (yang baik)?

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» وَلِلنَّسَائِيِّ: - وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي اَلنَّارِ -

“Amma ba’du (adapun selanjutnya), sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu alaihi was allam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Muslim. Dalam riwayat Nasa’i ditambahkan, “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”)

Hadits ini menunjukkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, tidak ada yang hasanah (baik). Bid’ah yang sesat ini adalah dalam urusan agama sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ»

“Barang siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan darinya, maka sesuatu yang diadakan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Mas'ud berkata, "Ikutilah dan jangan mengada-ada. Kalian telah dicukupi, dan setiap bid'ah adalah sesat."

Abdullah bin Umar berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

"Setiap bid'ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik."

Adapun dalam urusan dunia, maka silahkan seseorang berkreasi, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»

“Kalian lebih tahu tentang urusan duniamu.” (Hr. Muslim)

Beliau juga bersabda,

«إِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ، فَشَأْنُكُمْ بِهِ، وَإِنْ كَانَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ، فَإِلَيَّ»

“Jika terkait urusan duniamu, maka itu urusan kalian, tetapi jika terkait urusan agama, maka dikembalikan kepadaku.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Imam baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Sa’id bin Musayyib melihat ada seorang yang melakukan shalat dalam jumlah rakaat yang banyak setelah azan Subuh, dimana dia mengira bahwa dengan melakukan banyak rakaat dapat menambah kebaikannya, maka Sa’id bin Musayyib melarangnya, tetapi dia balik berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena shalat ini?!” Sa’id bin Musayyib menjawab, “Tidak. Akan tetapi Allah akan mengazabmu karena telah menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya)

Dua kaidah dalam beragama dan syarat diterimanya amal

Ada dua kaidah penting dalam beragama yang perlu kita ingat, yaitu:

Pertama,

اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ وَالْحِلُّ

Asal dalam urusan duniawi adalah boleh dan halal.

Berdasarkan kaidah ini, maka dalam perkara duniawi, kita tidak perlu tanyakan mana dalil akan kehalalalannya karena pada dasarnya adalah halal.

Dalil kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah yang menciptakan untuk kamu semua yang ada di muka bumi.” (Qs. Al Baqarah: 29)

Kedua,

اَلْأَصْلُ فِى فِى الْعِبَادَةِ الْحَرَامِ وَالْمَنْعُ

Asal dalam urusan agama adalah haram dan terlarang.

Berdasarkan kaidah ini, maka dalam urusan agama atau ibadah, kita harus tanyakan dalil disyariatkannya karena hukum asalnya adalah haram.

Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mengadakan dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan darinya, maka sesuatu yang diadakan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini juga menunjukkan, bahwa amal yang tidak didasari dalil atau amalan bid’ah adalah tertolak, karena syarat diterimanya amal ada dua, yaitu: Ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dalil ikhlas adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

«إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amal yang ikhlas karena-Nya dan mencari keridhaan-Nya.” (Hr. Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)

Sedangkan dalil mengikuti tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah sabda Beliau,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak.” (Hr. Muslim)

Dengan demikian apabila seseorang mengerjakan suatu amal atau ibadah meskipun banyak dan memakan waktu yang lama serta bersusah payah di dalamnya serta bermaksud mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan amalnya itu, namun jika tidak ada tuntunannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka amal ini akan sia-sia.

Bahaya Bid’ah

Para ulama memperingatkan bid’ah karena bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat.

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,

اْلبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ.  الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا "

"Bid'ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Terhadap Maksiat, pelakunya mau bertaubat daripadanya. Namun terhadap bid'ah, maka pelakunya tidak mau bertaubat daripadanya (karena merasa di atas kebenaran)."

(Syarh Ushulus Sunnah karya Al Lalikai 1/149)

Perbuatan maksiat sudah diketahui keburukannya sehingga banyak orang yang bertaubat daripadanya. Berbeda dengan bid’ah, para pelakunya merasa bahwa dirinya berada di atas kebenaran, sehingga mereka tetap berada di atasnya dan tidak mau bertaubat.

Di dalam bid’ah juga terdapat bentuk menentang syariat, menganggap agama Islam belum sempurna, menganggap Nabi shallallahu alaihi wa sallam belum menyampaikan syariat secara sempurna, menganggap bahwa ajaran yang dibuatnya lebih baik daripada syariat Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Bagaimana cara menjauhi bid’ah?

Setelah kita mengetahui bahaya bid’ah, maka bagaimana cara menjauhi bid’ah?

Sebelum seseorang beramal, maka hendaknya dia memperhatikan dua hal:

Pertama, hatinya. Maksudnya adalah apa niatnya melakukan suatu amal? Apakah karena Allah atau karena manusia, apakah karena mencari keridhaan Allah atau karena mencari dunia. Jika karena Allah, karena mencari keridhaan-Nya, agar semakin dekat dengan-Nya, dan ingin mendapatkan pahala dari-Nya, maka berarti niatnya sudah benar. Tetapi jika niatnya karena manusia, ingin mendapatkan pujian mereka, atau karena dunia yang ia inginkan, maka amalnya akan sia-sia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal tergantung niat, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Kedua, amalnya.  Maksudnya adalah adakah dalil bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan atau melakukannya? Jika ada dalilnya, maka lakukan. Jika tidak ada, maka jangan lakukan, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak.” (Hr. Muslim)

Bagaimana jika ragu-ragu atau belum jelas? Jawabnya ‘tunggu dulu sampai yakin dan jelas hukumnya’. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اَلْحَلَالَ بَيِّنٌ, وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ, وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ, لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ, فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada masalah-masalah yang samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menjaga dirinya dari syubhat, maka sungguh ia telah memelihara agama dan kehormatannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini seseorang bisa bertanya kepada Ahli Ilmu atau ulama. Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada Ahli Ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)

Imam Al Ghazali rahimahullah berkata, “Jika engkau memang yakin bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah utusan Allah, maka pasang telingamu di hadapan lisannya dan jangan dengar (ikut) yang lain, serta lihat oleh matamu pribadi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, inilah keselamatan.”

Maksudnya adalah jika kita ingin keselamatan, maka dengarlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan lihatlah perbuatan Beliau. Dengan cara ini pula kita dapat menjauhi bid’ah.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”

Ia juga berkata, "Kaum muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena pendapat seseorang."

Pembagian bid'ah dari segi tingkatannya

Bid’ah dari sisi tingkatannya ada dua, yaitu:

1.     Bid’ah Mukaffirah, yaitu bid’ah yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Contohnya, bid’ah kaum Syi’ah Rafidhah, bid’ahnya orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, dsb.

2.     Bid’ah Mufassiqah, yaitu bid’ah yang menyebabkan pelakunya berdosa namun tidak keluar dari Islam. Contoh: Bid’ahnya dzikr secara jama’i dan bid’ahnya mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban untuk beribadah.

Pembagian dan Bentuk Bid’ah

Bid’ah terbagi dua:

Pertama, Bid’ah Qauliyyah I’tiqadiyyah (yang terkait pernyataan dan akidah). Misalnya bid’ah kaum Syi’ah Rafidhah, Khawarij, Jahmiyyah, Qadariyyah, Mu’tazilah, Murji’ah, dsb.

Bid’ah besar ini (terkait akidah) dahulu muncul dari empat wilayah, yaitu Kufah[i], Basrah[ii], Syam[iii], dan Khurasan[iv].

Dari Kufah muncul bid’ah Syi’ah Rafidhah (yang mengkafirkan sebagian besar para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam), Murji’ah (yang mengeluarkan perbuatan dari cakupan iman), dan lainnya.

Dari Basrah muncul bid’ah Qadariyyah (yang mengingkari takdir), Mu’tazilah (yang mendahulukan akal di atas wahyu, mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengatakan Al Qur'an se’agai makhluk), dan lainnya.

Dari Syam muncul bid’ah Nawashib (yang memusuhi Ahlul Bait) dan lainnya.

Dari Khurasan muncul bid’ah Jahmiyyah (yang mengatakan Al Qur’an sebagai makhluk dan meniadakan nama-nama dan sifat Allah Azza wa Jalla), dan semisalnya.

Adapun Madinah, maka tidak muncul di sana bid’ah terkait Ushul atau akidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun Madinah Nabawiyyah, maka selamat dari muncunya bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun ada orang yang melakukannya namun menyembunyikannya sehingga keadaannya menjadi terhina dan tercela.”

Kedua, Bid’ah fil Ibadat (bid’ah terkait ibadah). Bid’ah terkait ibadah sangat banyak bentuknya, di antaranya:

1. Mengadakan ibadah yang baru. Misalnya mengadakan shalat atau puasa tertentu.

2. Menambah pada ibadah yang ada dasarnya, seperti melakukan shalat Isya lima rakaat.

3. Melakukan ibadah dengan kaifiyat atau sifat yang baru. Misalnya membaca dzikir dengan cara menggoyang-goyang kepala.

4. Mengkhususkan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak didasari dalil, atau mengkhususkan suatu ibadah pada waktu tertentu. Misalnya mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah.

Wallahu a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji': Muhadharah Syaikh Ahmad Nafi, dan dari berbagai sumber lainnya, termasuk di antaranya risalah dari website ini: https://www.alukah.net/sharia/0/151466/%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%AF%D8%B9%D8%A9-%D9%85%D9%81%D9%87%D9%88%D9%85%D9%87%D8%A7-%D8%A3%D9%86%D9%88%D8%A7%D8%B9%D9%87%D8%A7-%D9%88%D8%AD%D9%83%D9%85%D9%87%D8%A7/ dan ini: https://www.alukah.net/sharia/0/106049/%D8%AE%D8%B7%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%AF%D8%B9%D8%A9/ .


[i] Kota di Irak.

[ii] Kota di Irak.

[iii] Syam meliputi Suriah, Libanon, Yordania, dan Palestina.

[iv] Khurasan meliputi Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger