بسم
الله الرحمن الرحيم
Ringkasan Musthalah Hadits (4)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan
ringkasan Musthalah Hadits merujuk kepada kitab At Ta’liqaat Al
Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali
Abdul Hamid dan lain-lain, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Hadits
Maqlub
Maqlub
artinya terbalik. Maqlub terbagi dua:
1.
Terbaliknya lafaz dengan yang lain,
Hal ini
bisa terjadi dalam sanad hadits dari sisi para perawinya. Contohnya adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, lalu rawi terbalik sehingga
mengatakan dari Murrah bin Ka’ab.
Demikian
pula bisa terjadi dalam matan hadits dari sisi lafaz. Contohnya adalah hadits
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang tujuh golongan orang yang mendapatkan
naungan Allah di bawah naungan ‘Arsyi-Nya pada hari yang tidak ada naungan
kecuali naungan-Nya, di sana disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا
تَعْلَمَ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan
seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga
tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kirinya.”
Hal ini
termasuk maqlub yang terjadi oleh sebagian rawi, karena yang sahih adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا
تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan
seorang yang yang menyedekahkan suatu sedekah, lalu ia sembunyikan sehingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”
2.
Terbaliknya isnad matan dengan isnad matan yang lain, dan digantinya isnad
matan ini dengan isnad pertama dengan tujuan menguji atau lainnya.
Contohnya
adalah apa yang dilakukan oleh ulama Baghdad terhadap Imam Bukhari rahimahullah,
ketika mereka merubah seratus hadits kepadanya dan mereka bertanya tentangnya
untuk menguji hafalannya, lalu ia mengembalikkannya seperti ketika sebelum
diganti dan tidak keliru satu pun. Hal ini menunjukkan kuatnya hafalan Imam
Bukhari, encer akalnya, teliti, dan dalamnya pandangan beliau.
Hadits
Fard
Fard
artinya sendiri. Fard terbagi dua:
1. Fard
Mutlak,
yaitu hadits yang diriwayatkan sendiri oleh orang yang tsiqah, yakni tidak ada
orang tsiqah yang meriwayatkan selain dia. Contohnya adalah hadits Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertanya kepada Abu Waqid Al Laitsi
tentang surat yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baca dalam shalat
Idul Adh-ha dan Idul Fitri? Maka ia menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ ( ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ ) وَ (
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ )
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kedua shalat itu membaca Qaaf wal
Qur’aanil Majiid (surat Qaaf) dan Iqtarabatis saa’atu wan syaqqal qamar
(surat Al Qamar). (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’I, dan Ibnu Majah)
Al
Hafizh Al ‘Iraqiy (At Tabshirah wat Tadzkirah 1/220) berkata, “Hadits
ini datang dari riwayat Dhamrah bin Sa’id Al Maazinniy dari Abdullah bin Abdullah
bin Abi Waqid Al Laitsi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini
tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkannya selain Dhamrah, dan telah
diriwayatkan dari jalan-jalan yang lain yang dha’if.”
2. Fard
Muqayyad.
Ia terbagi dua:
a. Apabila
penduduk suatu negeri yang meriwayatkannya, yakni tidak ada yang
meriwayatkannya selain penduduk negeri ini atau itu.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari Aisyah
radhiyallahu 'anha ia berkata:
وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ .
“Demi
Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan dua
anak Baidha’ di Masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.”
Hakim
dalam Ma’rifatu Ulumil Hadits hal. 97 berkata, “Penduduk Madinah
meriwayatkannya sendiri, para perawinya semuanya adalah Madaniyyun (orang-orang
Madinah), dan telah diriwayatkan dengan isnad yang lain dari Musa bin ‘Uqbah
dari Abdul Wahid bin Hamzah dari Abdullah bin Az Zubair dari Aisyah, dan
semuanya adalah Madaniyyun, tanpa ada orang lain yang ikut serta (di luar
penduduk Madinah).”
b. Apabila
seorang rawi tertentu meriwayatkannya, yakni tidak ada yang meriwayatkan dari
fulan selain fulan, meskipun hadits itu diriwayatkan dari beberapa jalan dari
selainnya.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya (1059), Abu Dawud
dalam Sunannya (3744) dari jalan Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud
dari anaknya Bakr bin Wa’il dari Az Zuhriy dari Anas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ بِسَوِيقٍ
وَتَمْرٍ
“Bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah terhadap Shafiyyah binti
Huyay dengan sawiq (tepung) dan kurma.”
Tirmidzi
berkata, “Hadits ini gharib.”
Ibnu
Thahir dalam Athraful Gharaa’ib berkata, “Gharib dari hadits Bakr bin
Wa’il, Wa’il bin Dawud meriwayatkan secara sendiri, dan tidak ada yang
meriwayatkan darinya selain Sufyan bin ‘Uyaynah.”
Hadits
Mu’allal
Hadits
Mu’allal adalah hadits yang tampak dalam sanadnya atau matannya ‘illat (cacat)
yang mencemarkan kesahihannya, padahal di luarnya tampak tidak ada cacat.
Imam
Hakim dalam Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hal. 119 menyebutkan sepuluh jenis
‘illat dan memberikan contohnya, di akhir ia berkata, “Kami telah menyebutkan
beberapa ‘illat hadits dengan sepuluh jenisnya, dan masih ada jenis-jenis
lainnya yang belum kami sebutkan.”
Di sini
akan diterangkan dua jenis saja, yaitu; illat pada sanad berikut
contohnya, dan illat pada matan berikut contohnya.
Faedah/Catatan:
Cara
mengetahui hadits Mu’allal adalah dengan mengumpulkan semua jalan hadits
tersebut serta memperhatikan perbedaan perawinya, menimbang dhabit dan itqan
(kuatnya), lalu menghukumi riwayat yang ma’lul tersebut.
Contoh
Hadits Mu’allal pada sanad:
Hadits
Ya’la bin ‘Ubaid dari Ats Tsauriy dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar secara
marfu’, “Al Bayyi’aani bil khiyar…dst[i].”
(Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar…dst). Ya’la keliru dalam mengira
(wahm) terhadap Sufyan Ats Tsauriy pada perkataannya, “Amr bin Dinar,” padahal
sebenarnya Abdullah bin Dinar. Maka sanad hadits ini mu’allal (ber’illat)
meskipun matannya shahih[ii].
Contoh
Hadits Mu’allal pada matan adalah penafian membaca basmalah dalam shalat, yang
diriwayatkan dari Anas, yaitu pada riwayat dimana Muslim meriwayatkannya secara
sendiri dalam Shahihnya dari jalan Al Walid bin Muslim. Banyak para imam
seperti Syafi’i, Daruquthni, Baihaqi dan lainnya yang mencacatkan riwayat ini,
yang di sana ditegaskan penafian basmalah, bahwa rawi di antara para perawi
hadits tersebut ketika mendengar perkataan Anas radhiyallahu 'anhu:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ{
الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
“Aku
shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan
Utsman, mereka memulai dengan Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.”
Maka
rawi ini mengira tidak membaca basmalah, sehingga ia meriwayatkan hadits sesuai
yang ia pahami tetapi keliru, akibatnya ia berkata di akhir hadits, “Mereka
tidak menyebutkan Bismillahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di
akhirnya.” Padahal riwayat yang banyak yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
adalah tidak adanya penegasan ini. Ini adalah ‘illat yang tersembunyi yang
diketahui para ulama besar yang berpandangan dalam dan teliti.
Hadits Mudhtharib
Hadits
Mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari arah seorang rawi atau beberapa
orang rawi dengan keadaan yang berbeda-beda padahal sama kuatnya, dan tidak
mungkin ditarjih (dikuatkan salah satunya) maupun digabungkan.
Perbedaan
yang terjadi ini menunjukkan tidak dhabit (kuat ingatan) rawi maupun beberapa
orang rawi, sedangkan untuk diterimanya hadits disyaratkan rawi tersebut harus
dhabit sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Pada
umumnya mudhtharib terjadi pada sanad, namun terkadang terjadi pada matan.
Contoh
mudtharib pada sanad adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ
شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا
فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
“Apabila
salah seorang di antara kamu shalat, maka hendaknya ia adakan di depannya
sesuatu. Jika ia tidak mendapatkan, maka hendaknya ia tegakkan tongkat, dan
jika tidak ada tongkat, maka hendaknya ia buat sebuah garis, selanjutnya tidak
mengapa baginya ketika ada yang lewat di depannya[iii].”
Hadits
ini diperselisihkan terhadap rawinya, yaitu Isma’il bin Umayyah dengan
perselisihan yang banyak:
Disebutkan,
darinya (Isma’il bin Umayyah), dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin Huraits dari
kakeknya Huraits dari Abu Hurairah.
Disebutkan
pula, darinya, dari Abu ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya
Huraits bin Sulaim dari Abu Hurairah.
Disebutkan
pula dari ini, itu, dst. sampai lebih dari sepuluh jalan. Oleh karena itulah, lebih
dari seorang hafizh seperti An Nawawi dalam Al Khulashah, Ibnu ‘Abdil
Hadiy dan lainnya dari kalangan ulama mutaakhirin menghukumi mudhthraibnya
sanad ini[iv].
Contoh
mudhtarib pada matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi[v]
dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy Sya’biy dari Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang zakat, maka Beliau
menjawab,
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya
pada harta ada hak selain zakat.”
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah[vi] dari jalan ini pula dengan lafaz,
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak
ada hak dalam harta selain zakat.”
Al
Hafizh Al ‘Iraqiy berkata: Ini adalah mudhtharib yang tidak mengandung (butuh)
ta’wil…dst.”
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al
Baiquuniyyah (Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid Al Atsari), Silsilatul Ahadits Ash Shahihah (M.
Nashiruddin Al Albani), Musthalah Hadits Muyassar (Dr. Imad Ali
Jum’ah) dll.
[i] Matan
hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (2108), Muslim (1531), Abu Dawud (3454),
Nasa’i (7/248), Tirmidzi (1245), Ibnu Majah (2181) dan Ahmad (2/73) dari
beberapa jalan dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Demikian pula diriwayatkan oleh
Bukhari (2113), Muslim (1531) (46), Nasa’i (7/220), Al Humaidiy (655),
‘Abdurrazzaq (14265), Baihaqi (5/269) dari beberapa jalan dari Abdullah bin
Dinar dari Ibnu Umar.
[ii] Tadriburrawi
(1/254), Irsyad Thullabil Haqaa’iq (1/243), dan lihat Irwaa’ul Ghalil
(no. 1310/1).
Catatan: Dalam Sunan Nasa’i (4477)
disebutkan dari jalan Makhlad dari Sufyan dari ‘Amr bin Dinar dari Umar, ini
adalah tahrif (terjadi perubahan), yang benar adalah dari Abdullah bin Dinar
sebagaimana dalam As Sunanul Kubra (6069) dan Tuhfatul Asyraf
(7155).
[iii] Hadits
riwayat Ahmad (2/249), Abu Dawud (690), Ibnu Majah (923), Ibnu Khuzaimah (811),
Baihaqi (2/271), Ibnu Hibban (2361) dari jalan Sufyan bin ‘Uyaynah dari Isma’il
bin Umayyah dari Abu Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dari kakeknya dari Abu
Hurairah. Hadits ini juga memiliki jalan-jalan lagi yang lain dalam jumlah
banyak yang berbenturan, terlebih Abu Muhammad bin ‘Amr dan kakeknya adalah
majhul. Lihat At Talkhishul Habir (1/286), Syarhul Musnad (7386),
Nashburraayah (2/80) dan ‘Ilal Ibni Abi Hatim (534). Adapun
hadits-hadits yang memerintahkan sutrah, maka ada dari jalan-jalan yang lain
yang shahih, lihat Misykaatul Mashaabih (1/241) dan Shifat Shalatin
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal. 72 oleh Syaikh Al Albani.
Yang tidak shahih dari riwayat di atas
adalah perintah membuat garis, wallallahu
a’lam (lihat At Ta’liqqat Al Atsariyyah oleh Syaikh Ali bin
Hasan hal. 62).
[iv] Lihat
Fat-hul Mughits bisyarh Alfiyyatil Hadits (1/222) oleh Al Hafizh As
Sakhawiy.
[v] No.
659, Daruquthni (2/125), Thabari (2/57), Darimiy (1/385), Ibnu ‘Addi (4/1328),
dan Thabrani dalam Al Kabir (32024). Syarik adalah seorang yang buruk
hapalannya, sedangkan Abu Hamzah adalah seorang yang dha’if.
[vi] No.
1789. Hadits ini juga dha’if seperti sebelumnya, karena sanadnya sama, lihat At
Talkhishul Habir 2/160, dan Ithafussaadatil Muttaqiin 4/105.
0 komentar:
Posting Komentar