بسم
الله الرحمن الرحيم
Beberapa Tambahan Pada Lafaz Doa Yang Tidak Ada Asalnya
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang beberapa tambahan pada lafaz doa yang tidak ada asalnya, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Aamin.
Tambahan Pada Doa Yang
Tidak Ada Asalnya
Pertama, doa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ – وَالْأَبْصَارِ-
“Wahai
Allah Yang membolak-balikkan hati dan penglihatan.”
Lafaz
‘wal Abshar’ (artinya: dan penglihatan) merupakan tambahan yang tidak ada
asalnya, karena yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tanpa tambahan
‘wal abshaar’.
Dari
Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam sering
berdoa,
«يَا
مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»
“Wahai
Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Aku
(Anas) berkata, “Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan apa yang engkau
bawa, apakah engkau mengkhawatirkan keadaan kami?”
Beliau
menjawab,
«نَعَمْ،
إِنَّ القُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ»
“Ya.
Sesungguhnya hati manusia di antara dua jari di antara jari-jari Allah, Dia
mudah membalikkannya sesuai kehendak-Nya.”
(Hr.
Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Kedua, doa:
وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ
عَيْنٍ - وَلاَ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ -
“Dan
janganlah Engkau menyerahkan aku kepada diriku meskipun sekejap mata –bahkan
kurang dari itu-.”
Lafaz
‘walaa aqallu min dzaalik’ (artinya: bahkan kurang dari itu) adalah
tambahan yang tidak ada asalnya.
Dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ «اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِي
إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ
Doa
orang yang berduka adalah, “Ya Allah, rahmat-Mu aku harapkan. Janganlah Engkau
serahkan aku kepada diriku sekejap mata pun, dan perbaikilah semua keadaanku,
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (Hr. Abu Dawud, dan
dinyatakan hasan isnadnya oleh Al Albani)
Ketiga, doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ
مَا سَأَلَكَ مِنْهُ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ - وَعِبَادُكَ الصَّالِحُوْنَ -
“Ya
Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan yang diminta oleh hamba dan Nabi-Mu
shallallahu alaihi wa sallam dan diminta pula oleh hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Tambahan
‘wa ibaadukash shaalihuun’ (artinya: dan oleh hamba-hamba-Mu yang saleh)
dalam doa dan ta’awwudz tidak ada riwayatnya dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.
Dari
Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
mengajarkan doa ini kepadanya,
«اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ
وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا
عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا
سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ بِهِ عَبْدُكَ
وَنَبِيُّكَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ
قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ
أَوْ عَمَلٍ، وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا»
“Ya
Allah, aku meminta kepada-Mu semua kebaikan segera atau lambat, yang aku tahu
dan yang tidak aku tahu. Aku berlindung kepada-Mu dari semua keburukan segera
atau lambat, yang aku tahu dan yang tidak aku tahu. Ya Allah, aku meminta
kepada-Mu kebaikan yang diminta hamba dan Nabi-Mu, dan aku berlindung dari
keburukan yang berlindung daripadanya hamba dan Nabi-Mu. Ya Allah, aku meminta
kepada-Mu surga dan segala yang mendekatkan kepadanya baik ucapan maupun perbuatan,
dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala yang mengantarkan kepadanya
baik ucapan maupun perbuatan, dan aku meminta kepada-Mu agar takdir yang Engkau
tetapkan selalu baik untukku.”
(Hr.
Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Keempat, doa:
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ – كَرِيْمٌ
– تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
“Ya
Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Mahamulia, Engkau suka memaafkan,
maka maafkanlah aku.”
Tambahan
‘kariim’ (artinya: Mahamulia) tidak ada dalam hadits. Al Kariim adalah salah
satu nama Allah, akan tetapi tidak disebutkan dalam hadits yang menyebutkan doa
itu sebagaimana diterangkan Syaikh Bakar Abu Zaid dalam kitabnya Tas-hihud
Du’a hal. 506.
Dari
Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukan
kepadaku jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadr, apa yang perlu aku ucapkan?”
Beliau bersabda, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ
عَنِّي
“Ya
Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka maafkanlah aku.”
(Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Kelima, dzikir setelah shalat:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ،
تَبَارَكْتَ –وَتَعَالَيْتَ- يَا ذَا الْجَلاَلِ
وَالْإِكْرَامِ
“Ya
Allah, Engkau adalah Pemberi kesalamatan, dari-Mu keselamatan, Engkau berhak
mendapatkan segala pujian dan Mahatinggi Engkau wahai Yang memiliki kebesaran
dan kemuliaan.”
Tambahan
‘wa Ta’alaita’ setelah ‘Tabarakta’ dalam dzikir di atas tidak ada dalam hadits.
Termasuk
pula tambahan berikut ini:
وَإِلَيْكَ يُرْجَعُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا
بِالسَّلاَمِ وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمَ
Tambahan
ini juga diada-ada atau tidak ada asalnya.
Dari
Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika selesai
shalat beristighfar tiga kali, lalu mengucapkan,
«اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا
الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ»
“Ya
Allah, Engkau adalah Pemberi kesalamatan, dari-Mu keselamatan, Engkau berhak
mendapatkan segala pujian wahai Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.”
Al
Walid (rawi hadits ini) berkata, “Aku pun bertanya kepada Al Auza’i,
“Bagaimanakah istighfar itu?” Ia menjawab, “Engkau ucapkan, “Astaghfirullah-Astaghfirullah.”
(Hr. Muslim)
Keenam, ucapan istighfar:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ مِنْ كُلِّ
ذَنْبٍ عَظِيْمٍ
“Aku
meminta ampun kepada Allah Yang Mahabesar dari setiap dosa besar.”
Dalam
As Sunnah telah disebutkan berbagai shighat (bentuk) istighfar, termasuk
di antaranya sayyidul istighfar, namun tidak ada tambahan atau pembatasan
dengan ‘dzanbin ‘azhiim’ (dosa besar),
bahkan jika seseorang istighfar, maka ia meminta ampunan kepada Allah dari
semua dosa, baik besar maupun kecil.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
berdoa dalam sujudnya,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ،
وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya
Allah, ampunilah dosaku semuanya, kecil maupun besar, awal maupun akhir, yang
terang-terangan maupun yang tersembunyi.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Ketujuh, doa
antara rukun yamani dan hajar aswad,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ - وَأَدْخِلْنَا
الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ يَا عَزِيْزُ يَا غَفَّارُ-
“Wahai
Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan
lindungilah kami dari azab neraka. Masukkanlah kami bersama orang-orang yang
berbakti, wahai Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Tambahan
‘Wa adkhilnal jannata ma’al abraar yaa ‘Aziiz yaa Ghaffar’ sebagaimana
diterangkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Fatawanya
22/332 dan dalam Asy Syarhul Mumti 7/248.
Kedelapan, tambahan ‘Yaa Rabbal ‘aalamiin’ pada
ucapan ‘Aamiin’ yang biasa diucapkan orang-orang.
Ibnu
Rajab Al Hanbali rahimahullah berkata, “Dan tidak dianjurkan menambahkan Aamiin
dengan kalimat lain seperti ‘Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin’. Karena tidak
disebutkan dalam As Sunnah. Demikian pendapat kawan-kawan kami (yang
semadzhab).” (Fathul Bari 4/389)
Kesembilan, tambahan dalam doa setelah mendengar azan:
‘وَالدَّرَجَةَ الرَّفِيْعَةَ ’ dan
‘يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ’
Ibnu
Hajar berkata, “Tidak ada dalam satu jalur hadits pun yang menyebutkan ‘Wad
darajatar rafii’ah’ dan Ar Rafi’i menambahkan di akhirnya dalam Al
Muharrar dengan ‘Yaa Arhamar Raahimiin’ namun tidak ada sama sekali
di salah satu jalurnya.”
Demikian
pula tambahan
‘إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ’
“Sesungguhnya
Engkau tidak pernah mengingkari janji.”
Syaikh
Masyhur bin Hasan menerangkan, bahwa tambahan ini ada dalam Sunan Kubra
karya Baihaqi hanyasaja syadz (menyelisihi rawi lainnya yang lebih kuat) karena
tidak disebutkan dalam semua jalur hadits dari Ali bin Ayyasy, hanyasaja ada
pada riwayat Al Kasymahini terhadap Shahih Bukhari namun menyelisihi yang lain,
sehingga syadz menyelisihi riwayat rawi yang lain terhadap shahih Bukhari,
sehingga Al Hafizh tidak memperhatikannya dan tidak menyebutkannya dalam Al
Fat-h padahal beliau biasa mengumpulkan semua tambahan yang ada dalam jalur
hadits.
Termasuk
pula doa ketika azan Maghrib,
اَللَّهُمَّ
هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ ، وَ إِدْبَارُ نَهَارِكَ …
“Ya
Allah, ini masa kedatangan malam yang Engkau tetapkan dan kepergian siang yang
Engkau tetapkan...dst.”
Doa
ini didasari hadits yang dhaif, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya dari
jalur Abu Katsir maula Ummu Salamah dari Ummu Salamah. Tirmidzi berkata,
“Hadits gharib. Abu Katsir tidak kami kenali.”
Oleh
karena itu Imam Nawawi berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi,
namun dalam isnadnya ada rawi yang majhul.”
Hadits
seperti ini tidak boleh disebarkan ke tengah umat kecuali dengan menerangkan
kedhaifannya.
Termasuk
pula ucapan,
صَدَقْتَ وَ بَرِرْتَ
“Engkau
benar.”
Ketika mendengar ucapan
‘Ash Shalatu khairum minan naum’ dalam azan Subuh. Al Hafizh
berkata tentang, “Tidak ada asalnya.”
Termasuk pula ucapan ‘Marhaban
bidzikrillah’ dan ucapan ‘Marhaban bil qaa’iliina ‘adlaa wa marhaban
bish shalaati ahlaa’.
Hadits yang menyebutkan
demikian juga tidak ada asalnya.
Kesepuluh, ucapan:
أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا
“Semoga
Allah menegakkan dan mengekalkannya.”
Ketika
mendengar ucapan ‘Qad qaamatish shalaah’ saat iqamat.
Doa
ini didasari hadits Abu Umamah dalam riwayat Abu Dawud, dimana dalam sanadnya
terdapat rawi yang majhul dan dua orang yang dhaif. Oleh karenanya didhaifkan
oleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar Al Asqalani.
Oleh
karena itu, yang dianjurkan bagi orang yang mendengar iqamat adalah mengucapkan
seperti yang diucapkannya termasuk pada saat diucapkan ‘Qad Qaamatish shalah’
berdasarkan keumuman hadits 'Idzaa sami’tumul mu’adzdzin faquuluu mitsla maa
yaquulu...dst. (apabila kalian mendengar muazin, maka ucapkanlah seperti
yang diucapkannya).
Kesebelas, tambahan ‘Sayyidinaa’ pada shalawat di
dalam shalat.
Hal
ini juga sama tidak disebutkan dalam lafaz shalawat yang diajarkan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hendaknya tidak menambahkannya
dalam shalawat ketika shalat.
Al
Hafizh Muhammad bin Muhammad Al Gharabiliy (790-853) murid Al Hafizh Ibnu Hajar
Al Asqalani berkata,
“Al
Hafizh –semoga Allah memberikan kenikmatan pada kehidupannya- pernah ditanya
tentang sifat shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat
atau di luar shalat, baik ada yang mengatakan hukumnya wajib atau sunah, yakni
apakah disyaratkan tambahan ‘Sayyidina’
misalnya mengatakan ‘Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad’ atau ‘alaa
Sayyidil khalq’ atau ‘alaa sayyid waladi Adam’? Ataukah cukup
mengucapkan ‘Allahumma shalli ‘alaa Muhammad’? Dan manakah yang lebih
utama, menggunakan ‘Sayyidina’ karena sebagai sifat tetap untuk Beliau
shallallahu alaihi wa sallam atau tanpa menyebutkannya, karena tidak disebutkan
dalam atsar?”
Jawab:
Ya. Mengikuti lafaz-lafaz yang diriwayatkan dalam atsar itulah yang lebih kuat.
Tidak bisa dikatakan, ‘boleh jadi Beliau meninggalkan lafaz itu ‘sayyidina’
karena tawadhu sebagaimana tidak disebutkan ‘sayyidina’ saat disebutkan nama
Beliau ketika bershalawat dengan ucapan ‘shallallahu alaihi wa sallam’
dan umat Beliau dianjurkan mengucapkan hal itu ‘shalawat’ ketika disebut nama
Beliau. Kami mengatakan, bahwa kalau hal itu ‘yakni tambahan ‘Sayyidina’ lebih
kuat tentu ada riwayat dari para sahabat dan tabi’in, namun kami belum
mendapatkan satu atsar pun dari para sahabat dan tabiin yang menyebutkan hal
itu padahal banyak riwayat dari mereka tentang hal itu. Inilah Imam Syafii
–semoga Allah meninggikan derajatnya- dimana Beliau adalah seorang yang sangat
memuliakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun ia berkata di bagian
mukadimah kitabnya yang menjadi pegangan orang-orang yang berada di atas
madzhabnya, ‘Allahumma shalli alaa Muhammad’ dan seterusnya hingga akhir
yang disebutkan oleh ijtihadnya, yaitu pernyataannya ‘setiap kali disebutkan
namanya’ dan ‘setiap kali orang-orang lalai menyebutkannya, yang sepertinya
beliau mengambil istinbath (kesimpulan) dari hadits shahih yang menyebutkan ‘Subhaanallah
‘adada khalqih’ (Mahasuci Allah sesuai jumlah makhluk-Nya). Telah shahih
bahwa Nabi shallallahu alahihi wa sallam bersabda kepada Ummul Mukminin, -yang
dilihat Beliau banyak bertasbih-, “Aku telah mengucapkan setelahmu kalimat
yang jika ditimbang dengan ucapanmu tentu seimbang,” maka Beliau
mengucapkan kalimat tersebut, dan Beliau adalah seorang yang senang dengan
doa-doa yang kandungannya mencakup. Bahkan Al Qadhi Iyadh telah membuat bab
tentang sifat shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam kitab Asy
Syifa, dimana beliau menukil di sana
atsar (riwayat) yang marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa
sallam) dari sejumlah sahabat dan tabiin, yang tidak ada satu pun dari para
sahabat dan lainnya tambahan lafaz ‘Sayyidina’.
Selanjutnya
Al Hafizh berkata, “Masalah ini sudah masyhur dalam kitab-kitab fiqih. Maksud
hal ini adalah bahwa semua Ahli Fiqih yang menyebutkan masalah ini tidak
menyebutkan ‘Sayyidina’, kalau seandainya tambahan ini dianjurkan tentu tidak
akan samar bagi mereka sehingga mereka sampai melalaikannya, dan kebaikan itu
terletak pada ittiba (mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam),
wallahu a’lam.”
(Dari
tulisan tangan Al Hafizh Al Gharabili di Maktabah Zhahiriyyah yang disebutkan
Syaikh Al Albani dalam Shifatush Shalah hal. 172-173).
Khatimah
Menambah
kata atau kalimat pada lafaz dzikir yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam tidak dibenarkan, karena Beliau melarang umatnya untuk mengada-ada dalam
agama yang Beliau bawa, Beliau bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah
perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Yakni
diada-adakan dalam agama yang Beliau bawa berdasarkan sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam,
«مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang
siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang bukan termasuk di
dalamnya, maka tambahan itu tertolak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Di
samping itu, mengada-ada dalam agama yang Beliau bawa dapat merusak agama Beliau
sehingga tidak murni lagi seperti yang Beliau bawa dan di dalamnya meniru
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang suka menambah-nambah dalam beragama
sehingga agama mereka rusak.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Ziyadat Laa Asla Laha Fi Ad’iyah Ma’tsurah (Syaikh
Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr), Al Qaulul Mubin fi Aktha’il
Mushallin (Syaikh Masyhur bin Hasan bin Salman), Qamusul Bida
(Syaikh Masyhur bin Hasan bin Salman), Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar