بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (57)
Larangan Bersumpah Mendahului Allah Azza wa Jalla
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh
Muhammad At Tamimi rahimahullah,
yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid
karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab:
Larangan Bersumpah Mendahului Allah Azza wa Jalla
Dari
Jundub bin Abdullah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لِفُلَانٍ، وَإِنَّ
اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ،
فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ، وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ
“Ada
seorang yang berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan,” maka
Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang bersumpah mendahului-Ku bahwa Aku tidak
akan mengampuni si fulan. Sungguh, Aku telah mengampuni si fulan dan
menghapuskan amalmu.” (Hr. Muslim)
Dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan, bahwa orang yang bersumpah
itu adalah seorang Ahli Ibadah.
Abu
Hurairah berkata, “Dia telah mengucapkan kata-kata yang membuat binasa dunia
dan akhiratnya.”
Penjelasan:
Hadits
Jundub di atas disebutkan dalam Shahih Muslim no. 2621.
Hadits Abu Hurairah di
atas disebutkan dalam Sunan Abu Dawud no. 4901 (dishahihkan oleh Al Albani), dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي
إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ، وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ
فِي الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ
فَيَقُولُ: أَقْصِرْ، فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ، فَقَالَ:
خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ
لَكَ، أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ، فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا، فَاجْتَمَعَا
عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا،
أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟ وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ
الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي، وَقَالَ لِلْآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ
“Ada dua orang bersaudara di tengah-tengah bani Israil, yang satu mengerjakan dosa, sedangkan yang satu lagi rajin
beribadah. Orang
yang rajin beribadah ini senantiasa memperhatikan saudaranya yang mengerjakan
dosa sambil berkata, “Berhentilah (melakukan dosa)!”, suatu ketika orang
yang rajin beribadah ini memergoki saudaranya sedang mengerjakan dosa, lalu ia
berkata, “Berhentilah (melakukan dosa)!” Namun saudaranya balik menjawab, “Demi
Tuhanku, biarkanlah diriku, dan memangnya kamu dikirim untuk mengawasiku?” Maka
orang yang rajin beribadah itu berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan
mengampunimu atau tidak akan memasukkanmu ke surga.” Maka Allah mencabut nyawa
keduanya, dan keduanya berkumpul bersama di hadapan Allah. Allah berfirman
kepada orang yang rajin beribadah, “Apakah kamu mengetahui Diriku atau
berkuasa terhadap apa yang Aku lakukan dengan Tangan-Ku?” Maka
Allah berfirman kepada orang yang mengerjakan dosa, “Pergilah dan masuklah
ke surga dengan rahmat-Ku,” sedangkan kepada yang satu lagi Allah
berfirman, “Bawalah dia ke neraka.”
Abu Hurairah yang
meriwayatkan hadits ini berkata, “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya , ia
telah mengucapkan kata-kata yang membuat dirinya binasa dunia dan akhirat.”
Dalam
hadits di atas Nabi shallallahu alahi wa sallam memperingatkan akan bahayanya
lisan dengan menyebutkan tentang seorang yang bersumpah mendahului Allah, bahwa
Allah tidak akan mengampuni si fulan yang berdosa karena merasa ujub dengan
menganggap bahwa dirinya memiliki kemuliaan dan kedudukan di sisi Allah,
sedangkan orang yang berdosa sebagai orang yang hina. Hal ini merupakan adab
yang buruk kepada Allah dan mendahului-Nya sehingga
orang ini memperoleh kerugian.
Hadits
di atas menunjukkan haramnya bersumpah mendahului Allah dan ujub terhadap diri,
dan hal ini merupakan kekurangan dalam tauhidnya.
Kesimpulan:
1.
Haramnya
bersumpah mendahului Allah, kecuali jika bersangka baik atau berharap baik.
2.
Wajibnya
memiliki adab yang baik terhadap Allah.
3.
Bahayanya
lisan dan kewajiban menjaganya.
**********
Bab: Larangan Menjadikan Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluk-Nya
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada seorang Arab
badui datang kepada Rasulullah shallallahu alaih wa sallam dan berkata, “Wahai
Rasulullah, orang-orang telah kehabisan tenaga, anak-istri kelaparan, dan harta
telah habis, maka mintalah kepada Rabbmu diturunkan hujan untuk kami. Sungguh,
kami menjadikan Allah sebagai perantara kepadamu dan menjadikan engkau sebagai
perantara kepada Allah.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Subhanallah (Mahasuci Allah), subhanallah!” Beliau senantiasa bertasbih sampai
tampak pada wajah para sahabat (perasaan takut karena kemarahan Beliau).
Selanjutnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kasihanilah dirimu!
Tahukah engkau siapa Allah? Sesungguhnya kedudukan Allah lebih agung daripada
yang demikian itu. Sesungguhnya tidak dibenarkan menjadikan Allah sebagai
perantara kepada makhluk-Nya...dst.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Penjelasan:
Hadits
di atas disebutkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya no. 4726, namun didhaifkan
oleh Al Albani, ia berkata dalam Zhilalul Jannah Fi takhrij As Sunnah Libni
Abi Ashim, “Isnadnya dhaif, dan para perawinya tsiqah selain Muhammad bin
Ishaq, ia seorang mudallis dan orang semisalnya tidak bisa dipakai hujjah
kecuali menyebutkan dengan tegas kata haddatsana (tidak melakukan
‘an’anah/menyebut kata ‘dari’), dan dari jalur-jalur yang aku tahu, ia (Ibnu
Ishaq) tidak menyebutkan demikian. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Katsir
menganggap gharib sebagaimana dalam tafsirnya terhadap Ayat Kursi seperti yang
telah disebutkan. Di samping itu dalam isnadnya terdapat perselisihan
sebagaimana yang akan disebutkan. Hadits ini disebutkan oleh Abu Dawud 4726,
Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid hal. 69, Al Ajurri dalam Asy Syariah 293
dari beberapa jalur dari Muhammad bin Ishaq, hanyasaja mereka mengatakan, dari
Utbah, dari Jubair bin Muhammad dst. Ini adalah salah satu riwayat di sisi penulis
kitab ini sebagaimana akan disebutkan setelahnya. Abu Dawud berkata setelahnya,
“Abdul A’la, Ibnul Mutsanna, dan Ibnu Basysyar berkata, “Dari Ya’qub bin Utbah
dan Jubair bin Muhammad bin Jubair, dari ayahnya, dari kakeknya. Namun yang
sahih adalah yang diriwayatkan oleh Jamaah Ahli Hadits dari Ibnu Ishaq, dari
Ya’qub bin Utbah, dari Jubair bin Muhammad, ...dst.” (Lihat Zhilalul Jannah
1/252)
Jubair bin Muth’im bin Addiy bin Naufal bin
Abdi Manaf Al Qurasyi adalah salah satu tokoh Quraisy yang masuk Islam sebelum
Fathu Makkah dan wafat pada tahun 57 H, semoga Allah meridhainya.
Hadits di atas menunjukkan haramnya
menjadikan Allah sebagai perantara kepada makhluk-Nya karena sikap tersebut
merupakan adab yang buruk kepada Allah Azza wa Jalla, di samping sama saja
tidak mengagungkan-Nya.
Kesimpulan:
1.
Haramnya
menjadikan Allah sebagai perantara kepada makhluk-Nya karena sama saja
merendahkan keagungan Allah Azza wa Jalla.
2.
Perintah
menyucikan Allah Azza wa Jalla dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya.
3.
Disyariatkan
mengingkari kemungkaran dan mengajarkan orang yang bodoh.
4.
Bolehnya
menjadikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai perantara selama
Beliau masih hidup, yaitu dengan meminta Beliau berdoa kepada Allah Azza wa
Jalla untuk agar Dia memenuhi kebutuhan seseorang ketika itu karena doa Beliau
mustajab. Adapun setelah Beliau wafat, maka kita tidak menjadikan
Beliau sebagai perantara, karena para sahabat radhiyallahu anhum tidak
melakukannya.
5.
Di antara bentuk pengajaran
adalah dengan metode tanya-jawab, dan hal ini bisa lebih diresapi oleh penyimak.
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Maktabah Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar