Fiqih Zakat (8)


بسم الله الرحمن الرحيم
Hasil gambar untuk ‫زكاة الزروع‬‎
Fiqih Zakat (8)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang fiqih zakat yang banyak merujuk kepada kitab Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Nishab Zakat Pertanian
Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat, bahwa zakat tidak wajib pada tanaman atau buah-buahan sampai mencapai 5 wasaq (300 sha’, 1 sha’ = 2,04 kg, sehingga 300 sha’ = 612 kg) setelah dibersihkan dari jerami dan kulitnya. Jika tidak dibersihkan, yakni dibiarkan bersama kulitnya (seperti beras yang masih ada kulitnya/gabah), maka nishabnya 10 wasaq.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Hasil pertanian yang kurang dari 5 wasaq tidak kena zakat.” (Hr. Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang jayyid)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا صَدَقَةَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ التَّمْرِ
“Tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari 5 wasaq.” (Hr. Ahmad, dan dishahihkan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Abu Hanifah dan Mujahid berpendapat wajibnya zakat pada hasil tanaman baik banyak maupun sedikit karena keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا العُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ العُشْرِ
“Tanaman yang mendapatkan siraman hujan, mata air, atau menyerap air dengan akarnya (karena dekat dengan sumber air) maka zakatnya sepersepuluh (10 %), dan yang disirami dengan tenaga, maka zakatnya seperduapuluh (5 %).” (Hr. Muslim)
Di samping itu, karena tidak adanya haul sehingga tidak ada nishabnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengkritik pendapat Abu Hanifah tersebut dengan menyatakan, bahwa telah datang Sunnah yang shahih dan tegas lagi jelas terkait ukuran nishab zakat pertanian yaitu 5 wasaq, kemudian ada hadits lagi yang tidak tegas berbunyi,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ العُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ العُشْرِ
“Tanaman yang mendapatkan siraman hujan zakatnya sepersepuluh, dan yang disirami dengan tenaga/biaya, maka zakatnya seperduapuluh.”
Lalu mereka menyatakan, bahwa hadits ini mencakup kepada hasil tanaman sedikit atau banyak, maka bertentangan dengan hadits yang lebih khusus tadi (yang menyebutkan nishab). Kandungan yang umum memang pasti sebagaimana yang khusus, dan jika keduanya berbenturan, maka didahulukan yang lebih hati-hati, yaitu wajib zakat secara umum, baik hasil pertanian sedikit maupun banyak. Jawaban terhadap pernyataan ini adalah wajib mengamalkan kedua hadits itu, dan tidak boleh dipertentangkan yang satu dengan yang lain dan membatalkan salah satunya secara keseluruhan, karena menaati Rasul shallallahu alaihi wa sallam wajib baik dalam hal ini dan dalam hal itu, dan keduanya tidak saling bertentangan dari berbagai sisi walhamdulillah, karena sabda Beliau, “Tanaman  yang disirami air hujan zakatnya sepersepuluh” maksudnya adalah untuk membedakan antara yang wajib sepersepuluh dan yang seperduapuluh, sehingga disebutkan kedua macam itu untuk membedakan kadar yang wajib dikeluarkan. Adapun ukuran nishab yang tidak disebutkan dalam hadits tersebut, namun disebutkan dalam hadits yang lain, maka bagaimana kita bisa pindah dari nash yang shahih tegas dan jelas; yang tidak bisa ditakwil lain kepada yang masih samar yang ujungnya adalah berpegang dengan keumuman lafaz? Mereka (yang berpegang dengan keumuman lafaz) juga tidak mau menerangkan keumuman itu dengan penjelasan yang ada dalam hadits yang lebih khusus yang jelas dan terang sebagaimana dijelaskannya perkara umum lainnya dengan nash-nash yang khusus?”
Ibnu Qudamah berkata,
“Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq.” (Telah disepakati keshahihannya)
Hadits ini khusus, dan harus didahulukan, serta mentakhshis keumuman hadits yang mereka sebutkan, sebagaimana kita mentakhshis sabda Beliau,
فِي كُلِّ سَائِمَةٍ مِنَ الْإِبِلِ الزَّكَاةُ
“Pada setiap unta yang digembalakan ada zakat,”
dengan sabda Beliau,
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor.”
Demikian pula ditakhshis sabda Beliau,
فِي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْرِ
“Pada perak zakatnya seperempatpuluh (2.5 %).”
dengan sabda Beliau,
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 uqiyah.”
(1 Uqiyyah= 40 dirham, sehingga 5 Uqiyyah= 200 dirham atau 595 gram perak)
Hal itu karena hasil pertanian termasuk harta yang wajib dizakati, dan tidak wajib jika sedikit seperti pada harta zakat lainnya. Tidak dipakai haul (pada zakat pertanian) adalah karena hasilnya secara sempurna pada saat panennya; tidak dengan langgengnya.
Sedangkan dipakai haul pada harta lainnnya adalah karena dengan haul harta lainnya dipandang telah sempurna. Adapun ukuran nishab (ukuran wajib zakat) dipakai adalah agar tercapai batas yang memungkinkan untuk berbagi sehingga diperhatikan nishabnya.
Ditambah lagi, bahwa zakat hanyalah wajib pada orang-orang kaya, dan kaya tidaklah tercapai kecuali dengan memiliki harta sejumlah nishab seperti pada harta yang terkena zakat lainnya.
Abu Yusuf berkata, “Jika hasil pertanian bukan jenis yang ditakar, maka tidak wajib zakat kecuali jika mencapai nishab yang paling rendah dari tanaman yang ditakar.”
Oleh karena itu, tidak wajib zakat pada kapas kecuali jika nilainya mencapai 5 wasaq dari nishab terendah tanaman yang bisa ditakar seperti gandum dan sebagainya. Yang demikian adalah karena hasil tanaman tersebut tidak bisa dinilai sendiri sehingga menggunakan yang lain seperti barang perniagaan yang dinilai dengan nishab harga yang paling rendah (antara perak dan emas).
Muhammad (bin Al Hanafiyyah) berkata, “Hasil tanaman itu harus dihitung berdasarkan jenis hitungan yang paling tepat dan paling besar, sehingga untuk kapas tidak wajib zakat ketika mencapai 5 qinthar, karena menentukan memakai wasaq merupakan hitungan yang paling besar yang dipergunakan untuk menilai kapas.”
Kadar Wajib Zakat
Ukuran yang harus dikeluarkan berbeda tergantung bentuk penyiramannya. Jika disiram tanpa menggunakan alat tertentu, maka zakatnya sepersepuluh (10 %), tetapi jika disiram menggunakan alat atau dengan air yang dibeli, maka zakatnya seperduapuluh (5 %).
Dari Mu’adz radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْبَعْلُ وَالسَّيْلُ الْعُشْرُ، وَفِيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
 “Tanaman yang mendapatkan siraman hujan, penyerapan akar, dan aliran air zakatnya sepersepuluh, dan yang disirami dengan tenaga,  maka zakatnya seperduapuluh.” (Hr. Baihaqi dan Hakim, ia menshahihkannya)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا العُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ العُشْرِ
“Tanaman yang mendapatkan siraman hujan, mata air, atau menyerap air melalui akarnya (karena dekat dengan aliran air), maka zakatnya sepersepuluh, dan yang disirami dengan tenaga/biaya maka zakatnya seperduapuluh.” (Hr. Bukhari dan lainnya)
Jika tanaman mendapatkan siraman dengan bantuan alat dan pada saat yang lain tanpa bantuan alat (alami). Jika kedua-duanya sama, maka zakatnya adalah 3/40 (7.5 %).
Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”
Jika salah satunya lebih banyak daripada yang lain, maka yang sedikit mengikuti yang banyak. Demikian menurut Abu Hanifah, Ahmad, Ats Tsauri, dan salah satu pendapat Imam Syafi’i.
Biaya yang dipergunakan untuk tanaman seperti biaya untuk memanen, mengangkutnya, membersihkan kulit, dan menjaganya diambil dari harta pemilik dan tidak dimasukkan ke dalam harta zakat.
Adapun menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, bahwa pinjaman yang diperuntukkan untuk membiayai kebutuhan tanaman dan buahnya bisa diambil dari harta zakat.
Dari Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma tentang seorang yang meminjam untuk membiayai tanaman dan keluarganya, maka ia (Jabir) berkata, “Ibnu Umar berkata, “Ia memulai dengan utangnya, yakni ia bayar, lalu mengeluarkan zakat pada sisanya.”
Jabir juga berkata, “Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Ia bayarkan (dari hasil tanaman) biaya pengeluaran terhadap buahnya, lalu ia keluarkan zakat pada sisanya[1]. (Diriwayatkan oleh Yahya bin Adam dalam Al Kharaj)
Ibnu Hazm menyebutkan dari Atha, bahwa ia mengambil biaya dari hasil panen. Jika masih ada sisanya yang mencapai nishab, maka ia keluarkan zakatnya. Jika tidak mencapa nishab, maka ia tidak keluarkan.
Wallahu a’lam.
Bersambung...
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.


[1] Ibnu Abbas dan Ibnu Umar sepakat tentang membayarkan biaya untuk tanaman, namun mereka berselisih terkait membayarkan biaya kebutuhan keluarganya.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger