بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf Dalam Menjaga Waktu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam menjaga waktu yang kami ambil dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis
Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam menjaga waktu
Al A’masy
meriwayatkan dari sesesorang yang bercerita kepadanya, bahwa Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Kalau sekiranya aku sempat menghina anjing, aku sangat takut jika aku seperti
anjing. Aku juga paling benci melihat orang yang menganggur; tidak beramal
untuk akhirat dan tidak bekerja untuk dunia.” (Siyar A’lamin Nubala
1/496)
Ungkapan Al Hasan
Al Bashri
Dari Al Hasan Al
Bashri rahimahullah ia berkata, “Wahai anak cucu Adam, engkau hanyalah
kumpulan hari-hari. Setiap kali hari berlalu, maka sebagian dirimu telah
hilang.” (Siyar A’lamin Nubala 4/585)
Al Hasan juga
berkata, “Aku menemui beberapa orang, dimana masing-masing mereka lebih pelit
dengan waktunya daripada dengan dirhamnya.” (Syarhus Sunnah karya Al
Baghawi 14/225)
Al Hasan pernah
menasihati kawan-kawannya untuk membuat mereka zuhud terhadap dunia dan cinta
kepada akhirat,
“Janganlah
perhiasan yang sedikit dan sementara ini (dunia) membuatmu lalai. Jangan pula
menunda-nunda, karena dunia cepat sekali mengurangi usiamu. Datangilah ajalmu
dan jangan katakan “Nanti dan nanti” karena engkau tidak tahu kapan engkau
kembali kepada Allah.” (Hilyatul Awliya 2/140)
Al Hasan juga
pernah mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang di
antara isinya, “Aku akan menerangkan kepadamu tentang dunia. Ia berada di
antara dua waktu; waktu yang telah berlalu dan waktu yang akan datang,
sedangkan yang satu lagi adalah waktu dimana engkau sedang menjalaninya. Waktu
yang telah berlalu dan yang akan datang, maka engkau belum merasakan nikmatnya
istirahat dan pedihnya cobaan pada keduanya. Sedangkan dunia ini adalah waktu dimana
engkau sedang menjalaninya. Waktu inilah yang sering kali membuatmu terpedaya
hingga lupa terhadap surga dan malah membawamu ke neraka. Jika engkau berfikir,
engkau akan tahu, bahwa hari itu seperti tamu yang datang kepadamu yang kemudian akan pergi.
Jika engkau memberinya
penginapan dan pelayanan yang baik, ia akan menjadi saksi untuk membelamu dan
akan memujimu,
serta
akan berkata jujur terhadap dirimu. Tetapi jika engkau tidak baik dalam
menjamunya, maka ia akan terus terbayang di pelupuk matamu. Hari ini dan hari
esok seperti dua orang yang bersaudara yang masing-masing bertamu kepadamu
secara bergantian. Jika yang satu datang dan engkau berbuat buruk kepadanya
serta tidak baik dalam menjamunya, lalu datang yang kedua setelahnya sambil berkata,
“Aku datang kepadamu setelah saudaraku. Jika engkau berbuat baik kepadaku, maka sikapmu ini akan menghapuskan
sikapmu yang buruk kepadanya dan memaafkan kesalahanmu. Engkau cukup memberikan
pelayanan yang baik kepadaku ketika aku singgah dan datang kepadamu setelah
kepergian saudaraku, dan berarti engkau telah mendapatkan keberuntungan sebagai
gantinya. Oleh karena itu, kejarlah apa yang telah engkau sia-siakan.”
Kalau yang kedua datang, dan engkau perlakukan seperti yang pertama, maka
alangkah celakanya dirimu karena keduanya akan bersaksi terhadap keburukanmu.
Sesungguhnya usia yang masih tersisa tidak ternilai harganya dan tidak ada
gantinya. Jika engkau mengumpulkan semua isi dunia, maka ia tidak dapat
menggantikan satu hari pun dari usia seseorang, maka janganlah menjual hari ini
dan hari lainnya di dunia ini tanpa ada bayaran yang pantas. Jangan sampai
orang yang telah dikubur lebih menghargai kepemilikanmu daripada dirimu
sendiri.
Demi Allah, apabila orang yang telah dikubur ditawarkan kepadanya, “Dunia
ini dari yang awal sampai yang akhir engkau berikan untuk anakmu atau engkau
memilih satu hari yang engkau isi dengan beramal, tentu engkau akan memilih
satu hari itu. Tidak ada sesuatu yang diperbandingkan dengan satu hari itu,
melainkan ia pasti akan memilih hari itu karena cinta kepadanya dan
menghargainya. Bahkan sekalipun ia diberi pilihan hanya satu jam saja untuk
diperbandingkan dengan berkali-kali lipat untuk orang lain (tentu ia akan
memilh satu jam itu). Kalau pun ia diberi pilihan antara satu kata yang diberi
pahala dengan berkali-kali lipat dengan yang sudah terucapkan, pasti dia akan
memilih satu kata itu.
Maka mulai hari ini, cermatilah hari-harimu untuk kemaslahatan dirimu.
Cermatilah meskipun hanya satu jam dan hargailah meskipun satu kata.
Berhati-hatilah terhadap penyesalan di saat tiba Sakratul maut. Dan jangan
engkau merasa aman dari hujah ucapan ini. Semoga Allah memberikan manfaat kepada
kami dan engkau terhadap nasihat ini dan semoga Dia mengaruniakan kepada kita
kesudahan yang baik, was salamu
alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” (Hilyatul Awliya 2/139)
Ibnu Abi Hatim
dalam menjaga waktu
Ar Raqqam berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abdurrahman (Ibnu Abi Hatim)
tentang keberuntungan dirinya karena dapat banyak menyimak dan bertanya kepada
ayahnya, ia menjawab, “Mungkin karena ketika ayahku makan, aku membacakan
untuknya. Ketika ia berjalan, aku membacakan untuknya, ketika ia hendak masuk
jamban, aku membacakan untuknya, dan ketika ia masuk ke rumah mencari sesuatu,
maka aku membacakan untuknya.” (Siyar A’lamin Nubala 13/251)
Ar Raziy berkata, “Aku mendengar Ali bin Ahmad Al Khuwarazmi berkata, “Aku
mendengar Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, “Kami pernah berada di Mesir
selama tujuh bulan, di sana kami tidak mengkonsumsi makanan berkuah. Siang hari
kami bagi untuk menghadiri majlis beberapa syaikh, sedangkan di malam hari,
kami menyalin dan mencocokkan kembali. Suatu ketika aku dan temanku mendatangi
seorang syaikh, namun orang-orang bilang, bahwa beliau sedang sakit.
Di tengah perjalanan pulang, kami melihat ikan yang sangat menggiurkan, lalu
kami membelinya. Ketika kami telah kembali ke rumah, tibalah saatnya menghadiri
majlis seorang syaikh sehingga kami belum sempat memasaknya, lalu kami
berangkat mendatanginya. Kami dalam keadaan seperti itu hingga berlalu tiga
hari dan hampir
saja ikan itu basi, maka kami pun memakannya dalam keadaan masih mentah. Kami
juga tidak punya waktu untuk menyerahkannya kepada orang yang siap
memanggangnya.” Ia (Ibnu Abi Hatim) juga berkata, “Ilmu itu tidak bisa diperoleh dengan jasad yang santai.”
(Siyar A’lamin Nubala 13/266)
Al Qasim bin
Asakir pernah berkata tentang Sulaim bin Ayyub, “Aku pernah mendengar tentang
dirinya, bahwa ia senantiasa mengintrospeksi dirinya di setiap desahan
nafasnya. Ia tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa faedah, terkadang ia
menyalin, mengajar, atau membaca. Aku juga mendengar, bahwa ia selalu
menggerakkan bibirnya sekalipun sedang meruncingkan pena.” (Siyar A’lamin Nubala 17/646)
Abul Wafa Ali bin Aqil pernah menceritakan tentang dirinya, “Aku tidak
membolehkan menyia-nyiakan waktu meskipun sebentar. Ketika lisanku tidak
sanggup memurojaah dan berdiskusi, demikian pula ketika penglihatanku tidak
mampu melanjutkan untuk memperhatikan, maka aku aktifkan fkiranku ketika aku
istirahat sambil berbaring. Ketika bangun, telah terlintas di benakku apa yang
hendak kutulis. Bahkan aku merasakan semangat belajar pada usia delapan puluhan
melebihi ketika masih berusia dua puluhan,” (Al Muntazhim karya Ibnul
Jauzi 9/214)
Ia juga berkata, “Dengan segenap kemampuanku aku berusaha memendekkan waktu
makanku sehingga aku memilih memakan kue dan merendamkannya ke dalam air
daripada makan roti karena perbedaan antara keduanya dalam keringanan mengunyah
agar aku dapat lebih banyak membaca atau menulis faedah yang belum kutulis.” (Dzail
Thabaqatil Hanabilah 1/177)
Semoga Allah merahmati guru Ibnul Jauzi yaitu Yahya bin Muhammad bin Hubairah
ketika ia berkata,
وَالْوَقْتُ
أَنْفَسُ مَا عُنِيَتْ بِحِفْظِهِ
وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يَضِيْعُ
“Waktu itu semakin berharga ketika dijaga dengan baik, namun aku
lihat keadaannya lebih mudah disia-siakan.” (Dzail Thabaqatil Hanabilah
1/281)
Ibnun Nafis rahimahullah seorang guru besar kedokteran di zamannya
apabila hendak menulis, maka beliau telah menyiapkan pena-pena yang telah
diruncingkannya, menatap ke dinding, lalu menulis apa yang diingatnya. Beliau
menulis seperti aliran air ketika menurun. Ketika penanya telah tumpul dan
tidak jelas, maka ia buang pena itu dan mengambil yang lain agar waktu tidak
berlalu dengan disibukkan meruncingkan pena. Suatu ketika Syaikh Alauddin yakni
Ibnun Nafis masuk ke toilet yang berada di pintu Az Zahumah. Ketika sedang
mandi, beliau beranjak ke tempat melepas baju, beliau meminta dibawakan tinta,
penah, dan kertas dan mulai menulis tentang denyut nadi sampai selesai, lalu
kembali ke kamar mandi dan melanjutkan mandinya.” (Raudhatul Jannat
karya Al Khawnsari 5/90-93)
Ibnul Jauziy pernah bercerita tentang dirinya, “Aku melihat banyak orang
yang berjalan-jalan bersamaku untuk saling mengunjungi sebagaimana yang biasa
dilakukan orang-orang. Mereka menyebut kegiatan itu dengan khidmat (melayani
manusia). Mereka juga biasanya mencari tempat duduk dan melakukan obrolan yang
tidak ada gunanya yang disela-selahi ghibah. Kebiasaan semacam ini banyak
dilakukan oleh manusia di zaman sekarang. Bahkan acara kunjung-mengunjungi
menjadi tuntutan yang digandrungi dan seseorang tidak nyaman dengan
kesendirian, apalagi pada hari raya dan ied. Engkau lihat satu sama lain saling
mengunjungi dan tidak cukup mengucapkan selamat dan salam, bahkan mereka
tambahkan dengan kegiatan yang menyia-nyiakan waktu.
Ketika kulihat waktu adalah sesuatu yang paling berharga yang wajib diisi
dengan kebaikan, aku pun membenci sikap itu, dan sikapku terhadap mereka di
antara dua pilihan; jika aku mengingkarinya, maka dapat berakibat memecah
hubungan persaudaraan, namun jika aku ikut bersama mereka, maka waktuku menjadi
sia-sia. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tidak bertemu semampuku. Apabila
terpaksa bertemu, aku sedikit bicara supaya aku bisa segera pergi. Kemudian aku
melakukan berbagai aktifitas yang bisa aku lakukan sambil melakukan obrolan dengan
mereka ketika bertemu agar waktu tidak berlalu sia-sia begitu saja, sehingga
yang kusiapkan ketika bertemu dengan mereka adalah memotong kertas dan
meruncingkan pena serta menyiapkan alat tulis, karena itu semua harus; tidak
perlu berfikir dan fokus. Aku siapkan itu pada saat terjadi pertemuan dengan
mereka agar tidak sia-sia waktuku.” (Shaidul Khathir hal. 184-185).
Wallahu a’lam shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa
shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis salaf oleh Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar