Mengupas Tuntas Masalah Dzikr (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Mengupas Tuntas Masalah Dzikr (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini Pembahasan lanjutan tentang masalah dzikr, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Pembagian dzikr
Dzikr terbagi dua; Dzikr Mutlak dan Dzikr Muqayyad. Dzikr Mutlak adalah dzikr yang tidak ditentukan oleh syara’ (Al Qur’an dan As Sunnah) kapan dibacanya, maka boleh dibaca kapan saja. Misalnya mengucapkan Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaahaillallah wallahu akbar, atau mengucapkan subhaanallah wabihamdih-subhaanallahil 'azhiim, dsb.
Dzikr Mutlak dibaca selama tidak pada waktu yang seharusnya dibaca dzikr muqayyad[i]. Sedangkan Dzikr Muqayyad adalah dzikr yang ditentukan oleh syara’ kapan dibacanya seperti dzikr setelah shalat, dzikr ketika masuk masjid dan keluar masjid, dzikr memakai pakaian dan melepasnya, dzikr naik kendaraan, dsb.
Benarkah berdzikr dengan mengucapkan "Allah, Allah, Allah" saja?
Memang kita diperintahkan untuk banyak menyebut nama Allah 'Azza wa Jalla. Dia berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." (Terj. QS. Al Ahzaab: 41)
Tetapi apakah prakteknya dengan mengucapkan "Allah, Allah, Allah" saja?
Jawab: Sesungguhnya tujuan Allah Subhaanahu wa Ta'ala mengutus Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membacakan kitab-Nya kepada manusia dan menerangkan maksudnya, Dia berfirman,
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (Terj. QS. An Nahl: 44)
Jika kita melihat sunnah atau praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdzikr, tentu kita tidak akan menemukan bahwa Beliau dalam berdzikr hanya mengucapkan "Allah, Allah, Allah" saja. Dengan demikian, maksud memperbanyak dzikrullah adalah mengisi hidup di dunia ini dengan banyak berdzikr, dan tentunya mengikuti yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan menunjukkan bahwa cara berdzikr adalah mengucapkan "Allah, Allah, Allah" saja.
Adab Berdzikr
Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman, "Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai." (Terj. QS. Al A'raaf: 205)
Maksud firman-Nya, "dalam dirimu" adalah secara ikhlas dan tersembunyi.
Maksud firman-Nya, "Dengan rendah hati dan rasa takut," yakni takut jika amalmu tidak diterima dan berharap agar diterima, yang tandanya adalah dengan berusaha menyempurnakan amal dan memperbakinya serta melakukannya dengan serius.
Firman-Nya, "dan dengan tidak mengeraskan suara," Yakni di atas sir (pelan) dan di bawah jahr (keras) atau pertengahan antara keduanya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al Asy'ariy radhiyallahu 'anhu ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ»
"Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu safar, lalu orang-orang mengeraskan suara takbir, maka Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai manusia! Kasihanilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli lagi ghaib; sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Mahadekat, dan Dia bersama kamu."
Dari keterangan di atas, kita mengetahui, bahwa hendaknya dalam berdzikr kita tidak terlalu keras suaranya.
Termasuk adab yang perlu diperhatikan dalam berdzikr adalah sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi berikut,
"Sepatutnya orang yang berdzikr dalam keadaan yang paling sempurna, yaitu dalam keadaan duduk di sebuah tempat dengan menghadap kiblat, dan duduknya dengan merendahkan diri, khusyu' dan dengan tenang serta sopan, dan sambil menundukkan kepalanya. Tetapi, jika ia berdzikr tidak seperti itu, maka boleh dan tidak makruh baginya. Akan tetapi, jika tidak ada uzur, maka ia telah meninggalkan yang utama. Dalil tidak makruhnya adalah firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,--(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), "Wahai Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Terj. QS. Ali Imran: 199-191)
Dan telah sah dalam Shahihain dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berbaring di pangkuanku sedangkan aku dalam keadaan haidh, lalu Beliau membaca Al Qur'an."
Tempat yang layak untuk berdzikr
Adapun tempat yang baik untuk berdzikr adalah tempat yang sepi dan bersih, karena hal itu lebih memuliakan dzikr. Oleh karena itu, dipuji berdzikr di masjid-masjid dan tempat-tempat mulia. Adapun keadaan yang tidak layak untuk berdzikr di antaranya adalah ketika buang air, ketika berjima', ketika khatib berkhutbah, dan ketika mengantuk.
Kekeliruan Dalam Berdzikr
1.     Mengucapkan "Allah, Allah, Allah" saja.
2.     Menggoyang-goyang kepala saat berdzikr.
3.     Berdzikr dengan diiringi musik.
4.     Membaca dzikr secara jama'i.
Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Amr bin Yahya ia berkata: Aku mendengar ayahku menceritakan dari ayahnya, ia berkata, "Kami pernah duduk di dekat pintu rumah Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu sebelum shalat Subuh. Apabila ia keluar, maka kami berangkat bersamanya ke masjid, lalu Abu Musa Al Asy'ariy radhiyallahu 'anhu datang kepada kami dan berkata, "Apakah Abu Abdurrahman telah keluar menemui kalian?" Kami menjawab, "Belum." Lalu ia pun duduk bersama kami sehingga ia (Abdullah bin Mas'ud) keluar. Ketika ia keluar, maka kami berdiri mendatanginya, kemudian Abu Musa berkata kepadanya, "Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku melihat di masjid perkara yang aku ingkari. Tetapi Al Hamdulillah, aku tidak melihat selain kebaikan." Ibnu Mas'ud berkata, "Apa itu?" Abu Musa menjawab, "Jika engkau masih hidup, maka engkau akan melihatnya." Abu Musa melanjutkan kata-katanya, "Aku melihat di masjid satu kaum duduk berhalaqah-halaqah, dimana masing-masing halaqah ada seseorang (yang memimpin), sedangkan di tangan mereka ada kerikil, ia (orang yang memimpin) berkata, "Bertakbirlah seratus kali." Maka mereka pun bertakbir seratus kali. Lalu ia berkata, "Bertahlillah seratus kali," maka mereka pun bertahlil seratus kali. Kemudian ia berkata, "Bertasbihlah seratus kali," maka mereka pun bertasbih seratus kali." Ibnu Mas'ud berkata, "Apa yang engkau katakan kepada mereka?" Abu Musa menjawab, "Aku tidak berkata apa-apa kepada mereka karena menunggu pendapatmu dan perintahmu." Ibnu Mas'ud berkata, "Tidakkah engkau menyuruh menghitung kesalahan mereka dan engkau menjamin untuk mereka, bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan." Lalu Ibnu Mas'ud berangkat, dan kami pun ikut berangkat bersamanya sehingga sampailah ia di salah satu halaqah, kemudian ia berdiri di hadapan mereka dan berkata, "Apa yang kalian gunakan ini?" Mereka menjawab, "Wahai Abu Abdirrahman, ini kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih." Ibnu Mas'ud berkata, "Hitunglah kesalahan kalian, saya jamin kebaikan kalian sedikit pun tidak sia-sia. Kasihan sekali kalian wahai umat Muhammad! Sungguh cepat binasa diri kalian, padahal para sahabat Nabi kalian shallallahu 'alaihi wa sallam masih banyak. Ini pakaiannya yang belum usang dan bejananya yang belum pecah. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian ini apakah benar di atas ajaran yang lebih lurus dari ajaran Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam atau malah membuka pintu kesesatan?" Mereka menjawab, "Demi Allah, wahai Abu Abdirrahman, kami tidak menginginkan selain kebaikan." Ibnu Mas'ud berkata,
كَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
"Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tetapi ia tidak mendapatkannya."
5.     Menghitung dzikr dengan tangan kiri.
Abdullah bin Umar berkata, "Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih dengan tangan kanannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
6.     Membaca dzikr-dzikr yang tidak diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti membaca ratib Al Haddad, membaca barzanji, manaqib, membaca shalawat badar dan nariyah, dsb.
Wirid tersebut adalah wirid yang tidak diajarkan Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seseorang mengamalkannya, maka tidak membuahkan pahala, karena syarat diterimanya amal adalah harus ikhlas dan sesuai sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal di dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah terdapat kecukupan, tidak perlu mencari dzikr yang lain, dan sedikit di atas Sunnah masih lebih baik daripada banyak namun diada-adakan. Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata,
اِقْتِصَادٌ فِي سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنِ اجْتْهَادٍ فِي بِدْعَةٍ
"Sederhana di atas Sunnah lebih baik daripada banyak namun di atas bid'ah."
7.     Berdzikr sambil menaik-turunkan nafas.
8.     Berdoa dengan jaah (kedudukan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Al Adzkar, Adz Dzikrul Jama'i bainal ittiba' wal ibtida' (Muhammad Al Khumais), dll.



[i] Termasuk kekeliruan yang sering dilakukan orang adalah membaca dzikr mutlak pada waktu yang seharusnya dibaca adalah dzikr muqayyad. Contohnya setelah shalat, kita sering mendengar mereka membaca surat Al Fatihah atau membaca “Laailaaha illallah” 100, padahal dzikr setelah shalat termasuk dzikr muqaayyad yang sudah diajarkan bacaannya secara khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita bukanlah mengingkari ucapan dzikrnya, tetapi yang kita ingkari adalah penempatannya. Bukan di sana tempatnya. Bagaimana menurut anda jika saya membaca Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaahaillallah wallahu akbar ketika keluar rumah, apakah hal ini dibenarkan?

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger